Setelah PSI Tak Ada Lagi

Kejatuhan Sukarno tak membuat PSI hidup lagi. Mendapat tekanan keras dari rezim Soeharto, gagasan PSI berkembang biak melalui jejaring intelektual.

OLEH:
Hendaru Tri Hanggoro
.
Setelah PSI Tak Ada LagiSetelah PSI Tak Ada Lagi
cover caption
Keluarga PSI Menteng dan Kebayoran, November 1967. (Dok. Maria Ullfah).

SIDANG tersangka peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 memasuki babak sembilan. Sjahrir, aktivis mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI), kena tuduhan baru. Beberapa saksi di persidangan menyebutnya sebagai orang PSI (Partai Sosialis Indonesia). Mereka beralasan Sjahrir bekas anggota Ikatan Mahasiswa Djakarta (Imada), organisasi simpatisan PSI. 

Melalui pengacaranya, Sjahrir menolak mentah-mentah tuduhan itu. “Padahal waktu PSI dibubarkan usia Sjahrir baru 15 tahun,” kata pengacaranya, dikutip Kompas, 17 Januari 1975. Bantahan itu tak membantu. Sjahrir tetap masuk bui. Bukan cuma karena kasus Malari, tapi juga lantaran cap PSI-nya. Sejak itu, Orde Baru gampang melabeli orang sebagai PSI. 

Menyadari tekanan keras dari Soeharto, orang-orang PSI memilih bergerak melalui jaringan intelektual dan media massa. Bukan jaringan politik lagi. Lepas dari masa tahanan Malari, tokoh-tokoh PSI masih berkesempatan menyebar gagasan mengenai demokrasi dan sosialisme kerakyatan di UI, Universitas Pajajaran (Unpad), dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Soebadio Sastrosatomo bahkan tak kapok mengisi diskusi informal mahasiswa.

SIDANG tersangka peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 memasuki babak sembilan. Sjahrir, aktivis mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI), kena tuduhan baru. Beberapa saksi di persidangan menyebutnya sebagai orang PSI (Partai Sosialis Indonesia). Mereka beralasan Sjahrir bekas anggota Ikatan Mahasiswa Djakarta (Imada), organisasi simpatisan PSI. 

Melalui pengacaranya, Sjahrir menolak mentah-mentah tuduhan itu. “Padahal waktu PSI dibubarkan usia Sjahrir baru 15 tahun,” kata pengacaranya, dikutip Kompas, 17 Januari 1975. Bantahan itu tak membantu. Sjahrir tetap masuk bui. Bukan cuma karena kasus Malari, tapi juga lantaran cap PSI-nya. Sejak itu, Orde Baru gampang melabeli orang sebagai PSI. 

Menyadari tekanan keras dari Soeharto, orang-orang PSI memilih bergerak melalui jaringan intelektual dan media massa. Bukan jaringan politik lagi. Lepas dari masa tahanan Malari, tokoh-tokoh PSI masih berkesempatan menyebar gagasan mengenai demokrasi dan sosialisme kerakyatan di UI, Universitas Pajajaran (Unpad), dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Soebadio Sastrosatomo bahkan tak kapok mengisi diskusi informal mahasiswa. 

Penyebaran gagasan tokoh-tokoh PSI terbantu oleh majalah Prisma terbitan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). “Melihat komposisi para pendirinya, mereka adalah para pendukung Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia yang dibubarkan Sukarno pada tahun 1962,” tulis Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Prisma kerap menampilkan buah pikiran Soedjatmoko dan Sarbini.

Sjahrir, seorang tokoh intelektual sosialis. (Wikimedia Commons).

Fadjroel Rachman, mahasiswa ITB angkatan 1982, tertarik mengikuti buah pikiran intelektual PSI. Dia membaca gagasan Sjahrir dalam buku Sosialisme Pembangunan. “Sosialisme itu jalan tengah antara kediktatoran Kanan, Hitler, dan kediktatoran Kiri, komunis. Sosialisme memperjuangkan demokrasi sekaligus kebebasan individu,” kata Fadjroel kepada Historia.

Fadjroel merasa klop dengan gagasan Sjahrir. “Intelek dan akademis,” ungkap Fadjroel. Dari sini dia berkeinginan menjalin kontak dengan kawan-kawan dekat Sjahrir di PSI. Keinginannya terwujud melalui bantuan seorang kawan. Dia bertemu Soedjatmoko. “Inilah kontak langsung pertama saya dengan orang-orang PSI,” kata Fadjroel. 

Kesan Fadjroel, Soedjatmoko sosok ramah dan sangat menghargai mahasiswa. Dia menerima Fadjroel di rumahnya. “Kami berdiskusi soal ideologi, politik, dan kemahasiswaan. Dari siang sampai sore,” kenang Fadjroel. 

Kontak Fadjroel dengan Soedjatmoko kian dalam. Dia merekomendasikan Fadjroel sebagai delegasi Indonesia ke Forum Pemuda Asia-Pacific di Jepang. Dia juga mulai bercerita seputar jaringan PSI. “Aku baru tahu bahwa mereka punya jaringan kuat di UI dan ITB. PSI Network,” terang Fajdroel. 

Soedjatmoko lalu memperkenalkan Fadjroel dengan habitat PSI. Di sana ada Mochtar Lubis, Soebadio, Sarbini, dan Hariman Siregar yang bekas aktivis mahasiswa UI dan tahanan Malari. “Aku senang berada dalam lingkaran mereka,” tambah Fadjroel. 

Fadjroel Rachman tertarik mengikuti buah pikiran intelektual PSI. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Keran Terbuka

Terdorong kebutuhan mengembalikan demokrasi dan kebebasan individu di Indonesia, Fadjroel dan kawan-kawan melawan Orde Baru. Dia terlibat dalam aksi menolak kunjungan Menteri Dalam Negeri Rudini ke kampus ITB, 5 Agustus 1989. Walhasil Fadjroel beserta lima kawannya dibui. Penangkapan itu tak mengendorkan daya juangnya. 

Sejumlah intelektual sepakat berhimpun dalam Forum Demokrasi pada 1990. “Suatu perkumpulan yang longgar di antara aktivis-aktivis politik liberal,” tulis David Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik di Indonesia 1965–1999. Mereka menilai Orde Baru telah merampas daya kritis rakyat dan prospek demokrasi. “Grup kami juga masuk Forum Demokrasi. Ini jaringan politik,” kata Fadjroel seraya menyebut sejumlah tokoh berhabitat PSI seperti Rahman Tolleng, Marsillam Simanjuntak, dan Todung Mulya Lubis.

Sementara kalangan mahasiswa mengobarkan api perlawanan melalui kelompok diskusi informal kritis. Menurut Robertus Robet, saat itu mahasiswa jurusan sosiologi FISIP UI, mereka saling terhubung karena kesamaan bacaan: Marxisme. “Bacaannya Kiri klasik seperti Karl Marx, Antonio Gramsci, dan Georg Lukacs. Kami menilai kalau kelompok perlawanan tidak Kiri, peran mereka tidak signifikan untuk melawan Soeharto,” kata Robertus Robert, bekas pegiat kelompok studi kritis di UI. 

Kelompok diskusi Robertus jauh dari pengaruh PSI. “Waktu itu ada sentimen dari kami bahwa PSI itu kelompok elitis,” lanjut Robertus. Tapi sentimen itu mulai berubah ketika Soeharto jatuh pada 1998. “Saya secara pribadi mulai berkenalan dengan gagasan Sjahrir. Misalnya tentang kesadaran subjek atau individu jauh lebih penting ketimbang mobilisasi massa. Juga tentang rasionalisme dalam politik,” kenang Robertus. 

Waktu itu ada sentimen bahwa PSI itu kelompok elitis. Tapi sentimen itu mulai berubah ketika Soeharto jatuh.

Gagasan Sjahrir mewujud dalam PSI. Maka Robertus menilai sentimen terhadap PSI sangat tidak tepat. Dia berpikir kejatuhan Soeharto membuka peluang untuk bertumbuhnya kembali gagasan sosialisme kerakyatan. Bersama Fadjroel, dia mendirikan Pemuda Sosialis Jakarta (PSJ) pada 27 Oktober 2000. 

“Dasar pendirian PSJ ada tiga. Pertama, saya melihat sosialisme sudah dikenal dalam tradisi politik Indonesia. Kedua, sosialisme itu evolutif dan ilmiah. Dan ketiga, kita ingin mengubah kehidupan politik secara lebih rasional. Bukan dengan mobilisasi massa, sentimen, atau ikatan primordial,” ungkap Robertus. Gagasan PSJ bersambut di UI, Institut Sains Teknologi Nasional, Unpad, ITB, dan Universitas Katolik Parahyangan. 

Di tempat lain, jalan PSJ tak mulus. Kritik untuk mereka bermunculan. Anehnya kritik lebih berdasar pada stigma dan sentimen ketimbang pada argumen ilmiah. Tapi PSJ berbesar hati. Mereka beroleh dukungan dari intelektual berhabitat PSI. “Mereka senang dengan kehadiran kita,” kata Robertus. PSJ mulai kendur saat Robertus melanjutkan studi master di Inggris pada 2001. 

Kebalikan dari PSJ, organisasi-organisasi pemuda dan mahasiswa sosialis di luar Jakarta justru bertumbuh mekar. Di Jawa Barat berdiri lagi Gerakan Pemuda Sosialis, di Bali ada Gerakan Mahasiswa Sosialis Bali, dan di Surabaya muncul Kelompok Belajar Sosialis. “Organisasi semacam itu kira-kira tersebar di 11 provinsi,” kata Fadjroel. Tapi usaha mendirikan kembali PSI untuk menghadapi Pemilu 2004 belum terlihat.

Robertus Robert bersama Fadjroel Rachman mendirikan Pemuda Sosialis Jakarta (PSJ). Robertus saat berorasi dalam Aksi Kamisan, 28 Februari 2019. (Youtube Jakartanicus).

Membangkitkan PSI

Orang dan simpatisan PSI punya peluang berpartisipasi dalam Pemilu 2004. Sebabnya, Sjahrir yang sudah menggondol gelar Ph.D bidang ekonomi dari Harvard, mendirikan Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) pada 23 September 2002. Partai ini memiliki kemiripan ekspresi ideologis dengan PSI. 

“Dalam PIB itu terekspresikan nilai-nilai yang dianut oleh kaum sosialis-demokrat (sosdem), tekad membela hak-hak asasi manusia dan demokrasi, mewujudkan perikemanusiaan,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Indonesia Jilid 6. Partai ini gagal menghimpun orang dan simpatisan PSI serta tak meraih posisi signifikan dalam Pemilu 2004. 

Usaha mendirikan kembali PSI mencuat pada September 2006. “Masyumi sudah bangkit, PNI sudah bangkit, PSI juga mesti bangkit, dong,” kata Agustanzil Sjahroezah alias Ibong, aktivis pembangkit kembali PSI. Dia mendapat mandat dari tiga anggota dewan PSI tersisa: Rahmanullah, Listio, dan Koeswari. “Kata mereka, aktifkan lagi PSI. PSI terlalu kecil untuk terpecah,” lanjut Ibong. 

Belum sempat PSI baru berdiri, sejumlah intelektual berhabitat PSI, semisal Rahman Tolleng, mendirikan Partai Sarikat Rakyat Independen (SRI) pada 2 Mei 2011. Seperti dikutip dari Pelita Online, 5 Agustus 2011, Yunarto Wijaya, pengamat politik, menilai partai ini berdiri berkat andil aktivis-aktivis sosialis. Tapi dia menolak menyebut Partai SRI sebagai penerus PSI. 

Meski gagal tampil sebagai kekuatan utuh partai, gagasan sosialisme kerakyatan mengejewantah di sejumlah bidang. “Pengakuan terhadap pentingnya pendidikan dan penerapan prinsip universalitas dalam jaminan sosial itu mengarah ke sosdem,” terang Robertus. 

Menurut Fadjroel, kemenangan gagasan Sjahrir dan PSI sudah cukup memuaskan orang dan para simpatisan PSI. “Kami puas gagasan kami yang menang. Inilah the power of ideas,” kata Fadjroel. Mereka terus membiak, dengan atau tanpa partai.*

Majalah Historia No. 18 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65b21819d147327b66622483