Penandatangan piagam konstitusi RIS oleh wakil-wakil negara dan daerah bagian Republik Indonesia Serikat, Jakarta, 14 Desember 1949. (Repro 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949).
Aa
Aa
Aa
Aa
MENYUSUL kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RIS. Sukarno terpilih sebagai presiden RIS. Mohammad Hatta menjadi perdana menteri, yang membentuk kabinet terdiri dari 13 menteri dan tiga menteri negara –sebelas orang di antaranya Republiken pendukung unitarisme.
RIS bekerja untuk memulihkan keadaan yang porak-poranda akibat perang. Masalah utama dalam ekonomi adalah inflasi dan defisit anggaran. Pada 19 Maret 1950, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemotongan nilai mata uang 2,50 gulden ke atas menjadi setengahnya. Untuk memperbaiki ekonomi, pemerintah menggalakkan ekspor. Perang Korea membawa berkah, perdagangan ke luar negeri meningkat, terutama bahan mentah seperti karet.
MENYUSUL kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar, Belanda menyerahkan kedaulatan kepada RIS. Sukarno terpilih sebagai presiden RIS. Mohammad Hatta menjadi perdana menteri, yang membentuk kabinet terdiri dari 13 menteri dan tiga menteri negara –sebelas orang di antaranya Republiken pendukung unitarisme.
RIS bekerja untuk memulihkan keadaan yang porak-poranda akibat perang. Masalah utama dalam ekonomi adalah inflasi dan defisit anggaran. Pada 19 Maret 1950, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemotongan nilai mata uang 2,50 gulden ke atas menjadi setengahnya. Untuk memperbaiki ekonomi, pemerintah menggalakkan ekspor. Perang Korea membawa berkah, perdagangan ke luar negeri meningkat, terutama bahan mentah seperti karet.
Masalah pelik lainnya adalah pembentukan Angkatan Perang RIS (APRIS), yang merupakan peleburan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan angkatan perang Belanda (KNIL). Di satu pihak, TNI berkeberatan untuk bekerja sama dengan bekas musuhnya. Di pihak lain, KNIL menuntut ditetapkan sebagai angkatan perang negara bagian dan menentang masuknya TNI ke negara bagian. Gejala ini memunculkan gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) ciptaan Kapten Raymond Westerling di Bandung hingga gerakan Andi Azis di Makassar
Pembubaran Negara Bagian
Pascapenyerahan kedaulatan dari Belanda ke RIS, gerakan menuntut pembubaran negara-negara bagian menguat, bukan saja di kalangan elite, tetapi juga di akar rumput. Dengan Keputusan Presiden RIS, tak lama setelah terbentuknya RIS, Negara Jawa Timur, Madura, Pasudan, Sumatra Selatan, daerah Kalimantan Timur, Banjar, Dayak Besar, Kalimantan Tenggara, Bangka, Riau dan Belitung dibubarkan serta bergabung dengan Republik Indonesia.
Menurut Anshari Dimyati, direktur eksekutif Yayasan Sultan Hamid II, pembubaran negara-negara bagian itu sebagai “upaya Republik Indonesia di Yogyakarta melakukan perluasan diri. Negara-negara bagian lain dibubarkan dan dimasukkan ke dalam negara Republik Indonesia yang sebelumnya sederajat sebagai sesama negara bagian.”
Sampai 4 April 1950, RIS tinggal terdiri dari Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur (NIT), Negara Sumatra Timur (NST), dan Kalimantan Barat. Kurang lebih seminggu kemudian, Kalimantan Barat dibubarkan, setelah kepala daerahnya, Sultan Hamid II menjadi pesakitan.
Menurut Ide Anak Agung Gde Agung dalam Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat, pembubaran dan penggabungkan negara-negara bagian dan daerah-daerah ke dalam Republik Indonesia diatur dalam UU Darurat RIS. Prosesnya dengan cara plebisit (pemilihan umum) atau keputusan dewan yang dipilih khusus untuk kepentingan itu. Dengan demikian, pembubaran dengan Keputusan Presiden RIS tak demokratis sebagaimana ditetapkan dalam UU Darurat.
“Akan tetapi Pemerintah Federal menyatakan bahwa demonstrasi rakyat sudah dapat dianggap sebagai suatu pernyataan demokratis keinginan rakyat untuk menggabungkan dalam Negara Republik Indonesia,” tulis Anak Agung.
Yang Tersisa
Pembubaran negara bagian membayangi NIT. Perdana Menteri NIT J.E. Tatengkeng sudah melarang demonstrasi, namun kaum republiken tetap turun ke jalan. Tuntutan keras juga datang dari dalam. Sehari sebelum demonstrasi, sejumlah fraksi mengajukan mosi pembubaran NIT. Fraksi yang profederalis menandanginya dan menang dalam pemungutan suara.
Upaya mempertahankan NIT mendapat dukungan dari Kapten Andi Azis, bekas ajudan presiden NIT. Pasukannya menghalau kedatangan Batalyon Worang serta menangkap komandan, perwira pembantu, dan anggota APRIS (Angkatan Perang RIS). Peristiwa ini memakan banyak korban jiwa –dikenal dengan Peristiwa Andi Azis. Terdorong peristiwa ini, para pemuda unitaris bergerilya dan bergabung dengan pasukan APRIS untuk melawan KNIL. Pecahlah Peristiwa Makassar yang memakan ribuan korban jiwa.
Temuan dokumen berisi dorongan untuk membubarkan NIT membuat pemerintah NIT mengirim surat protes kepada pemerintah RIS. NIT bahkan ingin memisahkan diri dari RIS dan mendirikan Republik Indonesia Timur. Namun, kelompok federalis di Parlemen tak sampai dua pertiga sehingga upaya itu gagal. Jaksa Agung NIT C.R.S. Soumokil yang mendukung pemisahan NIT, pergi ke Ambon dan memproklamasikan Republik Maluku Selatan (RMS).
Gerakan menuntut pembubaran juga terjadi di Negara Sumatra Timur. Pada 31 Januari 1950, sekira 8.000 rakyat Deli Hulu akan bergerak ke Medan untuk unjuk rasa menuntut pembubaran NST. Polisi dan Barisan Pengawal NST hanya mengizinkan perwakilan demonstran yang pergi berunding dengan wali negara di Medan. Perundingan buntu. Massa kemudian membentuk Aksi Tuntutan Rakyat (ATR) dan menggelar beberapa kali demonstrasi. Gerakan anti-NST juga muncul dari internal pemerintahan. Beberapa pejabat NST mengundurkan diri.
Negara Kesatuan
Pada 3 April 1950, dalam sidang Parlemen RIS, Mohammad Natsir mengusulkan Mosi Integral: semua negara-negara bagian mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer, tidak ada satu negara bagian menelan negara bagian lainnya, dan masing-masing negara bagian merupakan bagian integral dari negara kesatuan yang akan dibentuk. Dalam sidang Kabinet RIS, Hatta menyatakan akan menjadikan mosi Natsir sebagai dasar penyelesaian.
Pada 3–5 April 1950 diadakan konferensi antara RIS, NIT, dan NST. Keputusannya: untuk membentuk negara kesatuan, Republik Indonesia juga harus dibubarkan. Kedua negara bagian memberikan mandat kepada Hatta untuk berunding dengan Republik Indonesia. Pada 19 Mei 1950, Hatta dan perdana menteri Republik Indonesia Abdul Halim menyepakati pembubaran Republik Indonesia untuk membentuk negara baru: Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada 15 Agustus 1950, Sukarno menandatangani UUD Sementara Republik Indonesia (UUDS 1950). Dua hari kemudian, bertepatan dengan peringatan lima tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, RIS secara resmi dibubarkan dan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan.
Menurut Gerry van Klinken, peneliti senior KITLV, pengalaman selama lima tahun orang Indonesia menjalankan federalisme menarik untuk dikupas. Ada negara bagian yang tak sehat seperti Pasundan tetapi Negara Indonesia Timur, misalnya, berfungsi lancar dan demokratis.
“NIT sendiri pun merupakan federasi pulau-pulau, lalu pulau pada giliran merupakan federasi swapraja. Federalisme berlapis-lapis, dengan raja di lapis paling bawah. Pengalaman dengan federalisme nyata yang relatif positif itu perlu diteliti kembali sejarawan muda. Sebuah eksperimen politik yang tidak seluruhnya buruk,” ujarnya.*