SUATU pagi yang cerah, sekira paruh pertama abad ke-16. Seorang penyadap nira tengah memasang bumbung (bambu penyimpanan air) pada tangkai bunga jantan di pucuk pohon aren. Tiba-tiba, tak jauh darinya, terdengar suara dari arah pohon kelapa yang hanya berbuah sebiji: “Barang siapa minum air kelapa muda itu dalam sekali tenggak, kelak ia dan keturunannya akan berkuasa di tanah Jawa.”
Ki Ageng Giring, penyadap nira dari Gunungkidul itu, bergegas turun. Dia lalu memanjat pohon kelapa, mengambil satu-satunya buah kelapa muda di sana, dan pulang. Setiba di rumah, dia menaruh kelapa di dapur lalu kembali ke hutan untuk mencari kayu bakar.
Sementara itu, sahabat lamanya, Ki Ageng Pemanahan atau Ki Gede Mataram, datang bertamu. Pemanahan bertemu Nyi Ageng Giring.
SUATU pagi yang cerah, sekira paruh pertama abad ke-16. Seorang penyadap nira tengah memasang bumbung (bambu penyimpanan air) pada tangkai bunga jantan di pucuk pohon aren. Tiba-tiba, tak jauh darinya, terdengar suara dari arah pohon kelapa yang hanya berbuah sebiji: “Barang siapa minum air kelapa muda itu dalam sekali tenggak, kelak ia dan keturunannya akan berkuasa di tanah Jawa.”
Ki Ageng Giring, penyadap nira dari Gunungkidul itu, bergegas turun. Dia lalu memanjat pohon kelapa, mengambil satu-satunya buah kelapa muda di sana, dan pulang. Setiba di rumah, dia menaruh kelapa di dapur lalu kembali ke hutan untuk mencari kayu bakar.
Sementara itu, sahabat lamanya, Ki Ageng Pemanahan atau Ki Gede Mataram, datang bertamu. Pemanahan bertemu Nyi Ageng Giring.
“Mbakyu, di mana Ki Ageng? Kok tidak kelihatan.”
“Dia kembali lagi ke hutan, untuk mencari kayu bakar.”
Pemanahan, yang laiknya saudara kandung Ki Ageng Giring, menuju dapur. Dia haus tapi tak ada air minum. Melihat kelapa muda, Pemanahan mengambilnya. Dia mencongkel ujungnya hingga berlubang kemudian menenggak isinya sampai habis.
Tak beberapa lama, Ki Ageng Giring pulang dengan sepikul kayu bakar. Dia bergegas ke dapur untuk meminum air kelapa muda yang disimpannya. Tapi kelapa itu tak ada. Dia bergegas ke ruangan tengah dan kaget melihat Pemanahan. Kepada istrinya, dia menanyakan kelapa yang disimpannya di dapur. Nyi Ageng menjawab lirih, kelapa muda itu sudah diteguk Pemanahan.
Ki Ageng Giring termangu lama.
Akhirnya, sebagaimana dikisahkan Babad Tanah Jawi, Giring meminta agar keturunannya sewaktu-waktu bisa menyelingi kedudukan keturunan Pemanahan. Setelah didesak, Pemanahan mengiyakan keturunan Giring kelak menguasai tanah Mataram, sebagai raja ketujuh.
Terlepas dari kisah babad, anak dari Pemanahan, Panembahan Senopati, memang kemudian mendirikan sekaligus menjadi raja pertama Mataram. Menurut Hermanus Johannes de Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram, janji Pemanahan hampir terpenuhi jika tidak dirintangi keturunan Giring sendiri. Pertapa Ki Wanakusuma, keturunan Giring, mempunyai dua putra tapi dia tak sabar menunggu sampai meninggalnya Amangkurat II, penguasa keenam takhta Mataram. Dia memilih jalan pemberontakan.
Dari Keluarga Tua
Ki Ageng Giring merupakan keluarga tua di Mataram yang mendiami pegunungan selatan. Menurut Pranoedjoe Poespaningrat dalam Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru, Giring adalah keturunan Brawijaya IV dari Majapahit melalui putrinya, Retna Mundri. Retna Mundri melahirkan anak yang disebut Ki Ageng Giring I. Dari Ki Ageng Giring sepuh ini lahirlah Ki Ageng Giring II. Ki Ageng Giring II memiliki anak, Ki Ageng Giring III. Ki Ageng Giring III inilah yang disebut dalam Babad Tanah Jawi.
Ki Ageng Giring III menyunting Nyi Talang Warih, putri Kiai Pandanaran atau Sunan Tembayat yang masih memiliki hubungan dengan raja-raja Demak dan dikenal sebagai salah satu penyebar agama Islam di pedalaman Jawa. Pasangan ini memiliki dua anak: Rara Lembayung dan Wanakusuma. Rara Lembayung diperistri Panembahan Senopati, anak dari Ki Ageng Pemanahan yang mendirikan sekaligus menjadi raja pertama Mataram. Sementara Wanakusuma menjadi seorang pertapa.
“Kanjeng Pangeran Wanakusuma adalah seorang pemimpin agama dari sisi timur Mataram. Otoritasnya disegani pangeran-pangeran yang lain,” ujar Herman Sinung Janutama, peneliti naskah kuna dari Yogyakarta.
Wanakusuma, catat H.J. de Graaf dalam Het Kadjoran Vraagstug yang dialihbahasakan Suwandi berjudul Masalah Kajoran, mendiami daerah Wonosari, daerah Gunungkidul sekarang, selatan Yogyakarta. Wilayah ini merupakan daerah yang tak subur dan jarang penduduk. Kata “wana” menunjukkan daerah itu dulu merupakan hutan lebat. Pusat kehidupan rohani Wanakusuma dan pengikutnya berada di makam tua di pedukuhan dalam hutan. Wanakusuma sendiri yang bertindak sebagai juru kunci makam.
Dalam catatan Belanda, nama Wanakusuma kali pertama muncul pada akhir 1680, tepatnya pada sebuah surat yang berasal dari Wanakerta bertanggal 11 November 1680. “Si pemburu setan bernama Wanakusuma, yang pekerjaannya tidak lain dari mempelajari dan meramal siapa-siapa yang akan menggantikan raja dan nindya mantri di Jawa,” seperti dikutip Masalah Kajoran.
Pada tahun itu juga, saat Amangkurat II naik takhta, Wanakusuma meramalkan dan menemukan sosok yang lebih cocok menjadi raja di Jawa tapi bukan dari trah Mataram, yakni salah satu keturunannya. “Dialah Sutadita, yang dipanggil pangeran dan bahkan dianggap sebagai orang yang terpenting dan raja yang sah,” catat de Graaf.
Dari sini, cerita pun berkembang di daerah pegunungan selatan Mataram ini. Wanakusuma, konon masih memiliki buah kelapa yang dahulu airnya diminum Ki Ageng Pemanahan. Bahkan muncul pula cerita kemahiran sihir Wanakusuma. Dari sinilah Wanakusuma merekrut pengikut.
Pegunungan Selatan yang berkapur dan kering ini menjadi semakin “panas” dengan adanya 1.000 pengikut Wanakusuma yang mencoba kekuatan Mataram.
Menurut H.J. de Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram, munculnya pemberontakan Wanakusuma merupakan petunjuk masih ada keluarga-keluarga tua di Mataram yang memandang Ki Ageng Pemanahan dan kaumnya sebagai penyusup dan perampas hak-hak lama. “Seperti kebanyakan pemberontak, keturunan ini pun berasal dari Tembayat yang tidak begitu senang pada kerajaan Mataram,” tulis de Graaf.
Kawasan suci Tembayat adalah pusat perlawanan terhadap Mataram. Pada 1630-an, para guru agama dari Tembayat memimpin pemberontakan terhadap Sultan Agung. Pada masa Amangkurat I, keturunan dari keluarga Sunan Bayat lainnya yang bernama Raden Kajoran yang bergelar Panembahan Rama juga menantang Mataram. Tibalah giliran Wanakusuma.
“Bagi sunan mereka merupakan bahaya besar, tidak hanya karena kediamannya yang berdekatan dengan keraton, melainkan juga karena mereka menyangkal bahwa raja di angkat atas petunjuk Allah. Dengan demikian mereka merongrong dasar-dasar kekuasaannya,” tulis H.J. de Graaf dalam Terbunuhnya Kapten Tack.
Bara Pegunungan Selatan
Pada 1680, gejolak politik di Mataram mulai reda. Beberapa pemberontakan, seperti Trunajaya dan Kajoran, sudah dipadamkan. Bahkan Panembahan Giri yang selalu melawan kekuasaan Mataram pun sudah ditumpas. Amangkurat I, raja Mataram yang meninggal dalam pelarian, digantikan anaknya, Adipati Anom –kemudian disebut Amangkurat II– yang dilantik di luar keraton.
Naiknya Amangkurat II, raja keenam Mataram, adalah buah dari perjanjiannya dengan Cornelis Speelman, komandan pasukan Kompeni, di loji Jepara pada Januari 1678. Kongsi Dagang Hindia Timir (VOC) dijanjikan hak monopoli gula, beras, tekstil, candu, dan pembebasan cukai.
“Amangkurat II sekutu paling setia dari Speelman. Sepeninggal Amangkurat I di Tegalwangi, dia bersekutu dengan Speelman dan berani menyatakan diri sebagai raja, padahal sebenarnya bukan dia yang berhak,” ujar Sudibyo, filolog dari Universitas Gajah Mada, kepada Historia.
Pada 18 November 1680, raja baru melenggang masuk ke keraton barunya di Kartasura. Dia ditemani komandan pasukan Kompeni yang baru, Jacob Couper, perwira yang mumpuni berbahasa Jawa.
“Karena tindakan-tindakannya yang kejam saat memerintah dan secara pribadi dia pemimpin yang lemah, bermunculan letupan-letupan pemberontakan,” ujar Sudibyo.
Pangeran Puger, adik Amangkurat II, bersikukuh sebagai raja dan menguasai keraton Plered. Ada pula perlawanan dari gerombolan dari Makassar pimpinan Namrud di daerah Banyumas.
Pemberontakan juga diusung oleh Wanakusuma. Mereka keluar dari persembunyian dan cukup memusingkan komandan Kompeni. Namun, tulis de Graaf dalam Terbunuhnya Kapten Tack, “Aneh sekali, sunan dan patihnya, Nerangkusuma hampir tidak memberikan reaksi.”
Amangkurat II tampaknya lebih memikirkan perlawanan dari Puger. Pada Agustus 1681, dia mengirim 2.500 tentara untuk menumpas perlawanan Puger. Sekonyong-konyong, 1.000 pengikut Wanakusuma mencegatnya. Perang pun pecah. Pasukan Amangkurat II terdesak hingga mendekati Kartasura.
Pada 18 Agustus 1681, Jacob Couper maju menumpas pemberontak. Setelah kontak senjata singkat, musuh dapat dibuyarkan. 100 tentara musuh mati di palagan, 16 ditawan. Dan setelah diinterogasi, semuanya dieksekusi mati. Couper, bersama 7.000 pasukan, terus mengejar sisa pemberontak yang melarikan diri. 100 orang dapat dibunuh dan sisanya kocar-kacir.
Percobaan pertama barisan Wanakusuma menemui kegagalan.
“Di samping Kanjeng Wanakusuma, saat itu Kyai Ageng Mutamakin dari Pati juga melakukan kritik atas kebijakan-kebijakan Amangkurat II,” ujar Herman.
Sebenarnya bibit pemberontakan di pegunungan selatan ini tak terjadi jika Amangkurat II menempatkan pangreh praja yang dapat bekerja dengan baik. Jan Albert Sloot, penumpas pemberontakan Kajoran, seperti dikutip dalam Masalah Kajoran, pernah menyatakan bahwa Tumenggung Martalaya adalah sosok yang cocok sebagai bupati pegunungan selatan. Namun, nasihat ini tak diindahkan Amangkurat II. Justru dia menempatkan orang-orang yang tidak dapat bekerja sehingga bibit-bibit pemberontakan kembali berkembang subur.
Siasat Penghabisan
Wanakusuma kembali beraksi. Kali ini, jantung keraton baru, Kartasura, yang diincar. Pada 18 Februari 1682, 1.000 pasukan Wanakusuma sudah bersiap di depan keraton Kartasura. Anggota pasukannya bukan hanya datang dari daerah Gunungkidul melainkan juga Ponorogo.
Kompeni mengirimkan pasukan dari kalangan orang Makassar dan kaum Mardijker –bumiputra yang menjadi tentara Kompeni dan masuk Nasrani– untuk membentuk garis pertahanan di luar tembok keraton. Namun, pemberontak lebih kuat. Baris pertahanan ini jebol. Dinding tembok keraton sudah di depan hidung pemberontak Wanakusuma.
“Dari dalam benteng keraton, pasukan Kompeni melihat barisan pemberontak akan melintasi alun-alun dan mempersiapkan diri untuk membakar keraton. Prajurit Kompeni dan prajurit keraton melepas tembakan dari benteng keraton ke arah pemberontak. Mereka bubar, dengan meninggalkan 150 mayat,” tulis Merle Calvin Ricklefs dalam War, Culture, Economy ini Java, 1677–1726.
Pasukan Amangkurat II, yang dipimpin Sindureja dan Urawan, dapat mempertahankan keraton. Di antara musuh yang mati adalah Sutadita, yang digadang-gadang Wanakusuma menjadi raja, dan Pangeran Pamenang, kakak tertua Wanakusuma. Sedangkan Wanakusuma dapat lolos.
Amangkurat II menunggu bantuan dari Madura dan Surabaya untuk menumpas pemberontakan Wanakusuma. Hari berikutnya, Cakraningrat II dari Madura dan Jangrana I dari Surabaya tiba di Kartasura dengan pasukan gabungan yang berjumlah 3.000 orang. Kedatangan mereka, menurut Ricklefs, sebenarnya berkaitan dengan persiapan peringatan Garebeg Maulud yang jatuh pada 12 Maret 1682.
Pasukan gabungan Kompeni-Cakraningrat bergerak mengejar hingga ke basis Wanakusuma di pegunungan selatan. Meski persembunyiannya diobrak-abrik, Wanakusuma dapat meloloskan diri.
“20 orang pemberontak terbunuh dan beberapa tawanan dibawa ke Kartasura. Mereka menjalani hukuman sadis; kulit mereka dikelupas di gelanggang watangan,” tulis de Graaf dalam Masalah Kajoran.
Watangan adalah kegiatan latihan perang tombak yang dilakukan dengan menggunakan tongkat.
Kompeni, melalui Jacob Couper, menyarankan Amangkurat II agar mengangkat bupati yang kuat di pegunungan selatan. Maka diangkatlah Tumenggung Martapura. Namun, usia bupati ini tak lama karena pada akhir 1682 dia meninggal dunia karena penyakit cangkrang.
Tidak adanya bupati yang kuat di pegunungan selatan membuat Wanakusuma leluasa membangun pasukan. Bahkan, basis pengikutnya meluas hingga ke barat; Pekalongan dan Tegal. Hal ini tentu membuat Amangkurat II dan VOC khawatir, sebab pemberontak Wanakusuma dapat menjalin komunikasi dengan Banten. Atas kekhawatiran ini, tulis de Graaf dalam Terbunuhnya Kapten Tack, pasukan Amangkurat dan VOC memperkuat daerah Kadilangu.
Pada pertengahan 1863, pasukan Wanakusuma mendekat ke keraton tapi dipukul mundur dan kembali ke Gunung Kidul. Di antara para pemimpinnya, hanya beberapa orang yang dapat meloloskan diri, termasuk Wanakusuma.
Pada Agustus 1683, Amangkurat II menyusun siasat tempur untuk menghabisi Wanakusuma: Gunungkidul akan diserbu dari tiga penjuru. Siasat ini gagal. Wanakusuma beserta pengikutnya dapat menerobos pengepungan, bahkan membahayakan keraton. Amangkurat II terpaksa mengabaikan siasat pengepungan dan mengkosentrasikan pasukannya di keraton. Kendati demikian, pemberontak terus mengacau daerah di sekitar Kartasura, bahkan mengadakan perampokan di berbagai daerah yang jauh dari Mataram. Namun, akibat serangan ini, korban yang jatuh dari pihak Wanakusuma tidak sedikit.
“69 kepala dan 200 potongan telinga milik laskar pemberontak dipertunjukkan di dalam keraton,” kutip Masalah Kajoran.
Wanakusuma yang selicin belut masih dapat hidup.
Akhirnya, tipu muslihat pun dipakai untuk menuntaskan pemberontakan. Tidak dijelaskan muslihat apa yang digunakan Amangkurat II. Namun, de Graaf menulis, Wanakusuma beserta pengikutinya dapat keluar dari persembunyian, turun gunung, menuju Kartasura. Semua pemberontak lelaki kemudian dibunuh dengan tusukan keris, sementara 2.000 jiwa perempuan dan anak-anak dibagikan kepada para mantri.
Dalam penelitian de Graaf baik dalam Terbunuhnya Kapten Tack maupun Masalah Kajoran tak dijelaskan apakah sosok Wanakusuma mati dalam pembantaian itu. Pada berita di Kartasura, 31 Januari 1685, catat de Graaf, masih sayup nama Wanakusuma.
Saat ini, di Gunungkidul, tepatnya pedukuhan Wonotoro, kecamatan Karangmojo, terdapat makam yang dipercaya masyarakat setempat sebagai makam Ki Ageng Wanakusuma. Masyarakat setempat pun rutin menggelar acara madilakhiran, bulan keenam dalam penanggalan Jawa, untuk memperingati kematian Wanakusuma.
Perlawanan Wanakusuma akhirnya mereda. Namun, bumi Mataram masih bergolak.*