Kolonel Zulkifli Lubis semasa aktif di kemiliteran. (Dok. Keluarga Zulkifli Lubis/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
ZULKIFLI Lubis dengan A.H. Nasution menjalin hubungan yang aneh. Secara pribadi, keduanya saudara sepupu. Keduanya sama-sama muslim yang taat, sederhana, konstitusionalis, serta antikorupsi dan antikomunis. Namun alih-alih saling mendukung, hubungan mereka malah lebih sering berlawanan. Pergolakan politik pada 1950-an sering kali bermuara pada konflik Lubis-Nasution.
Perbedaan asal pendidikan mereka menjadi penentu penting mengapa mereka selalu berseberangan. Nasution dari KNIL sedangkan Lubis berasal dari pendidikan militer Jepang. Militer Belanda lebih menekankan profesionalitas, Jepang lebih kepada spirit. “Kebetulan kalau dengan saya, tidak pernah cocok. Saya termasuk yang diinteli terus,” ujar Nasution.
ZULKIFLI Lubis dengan A.H. Nasution menjalin hubungan yang aneh. Secara pribadi, keduanya saudara sepupu. Keduanya sama-sama muslim yang taat, sederhana, konstitusionalis, serta antikorupsi dan antikomunis. Namun alih-alih saling mendukung, hubungan mereka malah lebih sering berlawanan. Pergolakan politik pada 1950-an sering kali bermuara pada konflik Lubis-Nasution.
Perbedaan asal pendidikan mereka menjadi penentu penting mengapa mereka selalu berseberangan. Nasution dari KNIL sedangkan Lubis berasal dari pendidikan militer Jepang. Militer Belanda lebih menekankan profesionalitas, Jepang lebih kepada spirit. “Kebetulan kalau dengan saya, tidak pernah cocok. Saya termasuk yang diinteli terus,” ujar Nasution.
Tapi, Lubis juga selalu punya komentar apik menanggapi pernyataan-pernyataan Nasution. Dalam catatan harian Rosihan Anwar, Lubis pernah mengatakan bahwa Nasution benar-benar cuma alat (pemerintah) belaka. “Bapak bilang, Nasution itu lemah,” ujar Furqan Lubis, anak keenam Zulkifli Lubis.
Nasution memandang Lubis sebagai penyulut utama dari oposisi melawan dirinya di kalangan AD. “Kami berseberangan sejak masa Yogya (selama revolusi),” ujar Nasution seperti dikutip Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi. “Dia masih mempunyai orang-orang dari masa ini dan masih mempunyai hubungan dengan panglima-panglima daerah... Beberapa orang di SSKAD (Sekolah Staf Komando Angkatan Darat) di Bandung sangat dekat dengan Lubis, sebagian sebelumnya adalah orang-orangnya. Sumual (kemudian memimpin pemberontakan di Sulawesi) dilatih di sana.”
Perseteruan itu kembali pecah pada Peristiwa 17 Oktober 1952 yang mendesak pembubaran parlemen tapi Presiden Sukarno menolak. Nasution, yang dianggap otak di balik peristiwa ini, kemudian mengundurkan diri sebagai KSAD. Bambang Sugeng menggantikannya. Terjadilah krisis di tubuh AD, yang baru bisa diselesaikan dalam forum rekonsiliasi di Yogyakarta pada Februari 1955.
Namun pergantian kepemimpinan di tubuh AD masih saja bergolak. Pengangkatan Bambang Utoyo sebagai KSAD mendapat penolakan dari sebagian besar perwira AD. Nasution akhirnya kembali menduduki jabatan itu. Lubis menjadi wakil Nasution dan harus menyerahkan tongkat komando, sebagai Pj. KSAD, jabatan yang kosong, kepada Nasution.
Ketika Nasution kembali menjabat KSAD, Lubis mengusulkan agar Markas Besar AD membagi dua wilayah kerja. Lubis, yang lama memegang administrasi markas besar, merasa bisa menangani urusan ke dalam guna membantu Nasution yang lebih kerap fokus di luar, membawa AD di pentas perpolitikan nasional. Namun, Nasution menolak usulan Lubis. Baginya, usulan Lubis sama saja dualisme kepemimpinan.
Pertentangan keduanya makin keras ketika Nasution bermaksud memperbaiki rantai komando TNI yang sempat rusak karena Peristiwa 17 Oktober 1952. Dia merencanakan mutasi sejumlah perwira senior, dikenal sebagai tour of duty. Lubis masuk dalam rencana mutasi. Posisinya akan digantikan Gatot Subroto, sementara pos barunya adalah panglima Teritorium I di Sumatra Utara.
Lubis jelas tak suka. Dia merasa disingkirkan oleh Nasution. Dia mendapat dukungan dari panglima teritorium lainnya. Bersama Kolonel Alex Kawilarang, panglima Tentara Teritorium (TT) III, yang juga masuk dalam rencana mutasi, dia menggerakkan upaya pemberantasan korupsi. Kasus yang kemudian mencuat adalah upaya penangkapan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani, yang tersangkut perkara korupsi di Percetakan Negara. Upaya itu gagal karena campur tangan Nasution. Nasution bisa mengambil alih situasi dan meneruskan rencana mutasinya. Lubis akhirnya mengundurkan diri pada 20 Agustus 1958.
Namun pukulan telak dipersiapkan Lubis, bukan hanya untuk Nasution, tapi juga kabinet yang dia anggap korup.
Peristiwa Lubis
Lubis dan sejumlah perwira Siliwangi menyusun gerakan perlawanan. Selain menggerakkan pasukan, sebuah kerusuhan rakyat akan diciptakan sebagai dalih. Mereka menuntut penurunan kabinet, pembatasan peran politik Sukarno, dan pencopotan KSAD Nasution beserta wakilnya Kolonel Gatot Subroto.
Nasution keburu menciumnya dan menggagalkan rencana itu. Dia bahkan memanggil sejumlah perwira untuk meminta pertanggungjawaban, termasuk Lubis. Lubis memilih buron. Nasution memerintahkan panglima-panglima yang kenal dengan Lubis supaya membujuknya agar menyerah ketimbang ditangkap. Tapi upayanya tak berhasil. Nasution menuduh Lubis makar dan menamai percobaan kudeta itu sebagai “Peristiwa Lubis”.
Pendapat Nasution berangkat dari dokumen pribadi Lubis yang –diterbitkan Penerangan AD dengan judul Kini Tabir Dapat Dibuka– berhasil disita dari sekretarisnya di Pandeglang. Di “Djalan Menudju Realisasi ‘Tjita’”, Lubis mengajak agar menyudahi penilaian miring terhadap pemerintah pusat karena tak ada gunanya. Lebih lanjut, dia menawarkan dua poin alternatif. Tindakan terjauh yang mungkin diambil, Lubis mengusulkan: proklamasi negara sebagai satu move taktis yang maksimum dan pembentukan pemerintahan pusat tandingan. Poin-poin ini dimanfaatkan dengan baik oleh Nasution untuk memukul Lubis.
Namun Lubis membalas argumen Nasution dengan pamflet yang dikeluarkan dari tempat persembunyiannya di Tanah Abang. Lubis mengakui telah melakukan percobaan kudeta, tapi dia mengembalikan kepada khalayak apakah yang dia lakukan benar atau salah.
Nasution marah atas jawaban itu dan, “memberhentikan Lubis dari TNI AD dan membatalkan pengangkatannya menjadi Panglima Divisi Bukit Barisan sebagai pengganti Maludin Simbolon,” tulis Peter Kasenda dalam Komandan Intelijen Pertama Indonesia Zulkifli Lubis: Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD.
Peristiwa Cikini
Zulkifli Lubis sedang berada di rumah Kolonel Prajitno, asisten I MBAD, di Cideng ketika Peristiwa Cikini terjadi. Lubis mengetahuinya lewat radio.
Sabtu malam itu, 30 November 1957, Sekolah Rakjat Yayasan Perguruan Tjikini sedang merayakan hari jadi ke-15. Tajuk acaranya, malam amal. Selain pertunjukan seni dan pameran, ada acara lelang yang hasilnya untuk menambah kas sekolah. Sukarno hadir selaku orang tua murid. Guntur dan Megawati bersekolah di sana.
Setelah pamit, Sukarno pergi ke mobil Chrysler Crown Imperial, suara ledakan memecah suasana. Orang-orang mengira ledakan ban. Tak lama terdengar lagi ledakan. Orang-orang panik. Anak-anak, ibu-ibu, hingga pria dewasa menjadi korban. Sukarno selamat lantaran kesigapan Ngationo, salah seorang pengawalnya.
“Ngationo telah menjadikan dirinya sebagai perisai dan merangkul Bung Karno sebelum granat yang jatuh di dekatnya meledak sehingga pecahan-pecahan granat yang menuju ke arah Bung Karno telah mengenai badan dan bagian kepala Ngationo,” tulis surat kabar Merdeka, 2 Desember 1957.
Sesampai di istana, Sukarno langsung berpidato singkat: “Tetap tenang sambil memperhebat kewaspadaan nasional. Mari kita tetap bersatu dalam suka dan duka!” Sementara Perdana Menteri Djuanda mengutuk peristiwa penggranatan itu, yang lebih dikenal dengan Peristiwa Cikini, menyebutnya sebagai pembunuhan sangat kejam.
Selang sejam, Lubis tahu pelakunya. Ibrahim Saleh, ketua asrama pemuda Sumbawa di Gang Ampiun, datang memberitahukannya. Menyusul kemudian Jusuf Ismail, yang bersama tiga temannya, Saadon bin Mohammad, Tasrif bin Husein, dan Moh. Tasin bin Abubakar, melakukan aksi penggranatan. Mendengarnya, Lubis tahu bahwa dia bakal dituduh sebagai dalang Peristiwa Cikini. Terlebih dia berstatus sebagai buron setelah percobaan kudeta pada 1956. Dia memilih melarikan diri ke Sumatra.
Prediksi Lubis benar. KSAD Nasution dan orang kepercayaannya, Letkol Sukendro, mencapnya sebagai otak di balik penggranatan itu.
Tak butuh waktu lama bagi militer mengidentifikasi pelaku penggranatan. Komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB) Djakarta Raya Mayor Dachjar langsung menangkap para penghuni asrama Sumbawa. Setelah persidangan maraton, keempat pelaku divonis hukuman mati. “Sebab utama begitu cepatnya pelaku Peristiwa Cikini ditangkap adalah pengkhianatan seorang penghuni asrama Sumbawa itu,” tulis Kasenda.
Para pelaku penggranatan memang kenal dekat dengan Lubis. Mereka menganggap Lubis tokoh penting yang sejalan, “ketua” penentang Sukarno. Dalam pandangan mereka, Sukarno merupakan pelindung komunis dan penghambat perkembangan Islam. Mereka kerap bertemu dan berdiskusi. Tapi Lubis kerap berpesan agar tak menggunakan kekerasan dalam mewujudkan cita-cita.
“Saya memang kenal orang-orangnya. Tersangkut boleh saja. Tapi kalau saya dikatakan menyuruh mereka itu, itu sangat keliru sama sekali,” ujar Lubis, sebagaimana ditulis Tempo, 29 Juli 1989.
Peran Lubis sendiri tak diketahui pasti dalam Peristiwa Cikini. Dia hanya kenal secara pribadi dengan para pelaku. Namun, hubungan struktural formal Lubis dan para pelaku tak pernah ada, apalagi perintah untuk melakukan perlawanan dengan kekerasan hingga memakan korban jiwa. Ada kemungkinan keterangan para pelaku yang menyebut nama Lubis hanya semacam sandaran keputusasaan mereka di tengah intimidasi dan penganiayaan berat selama pemeriksaan di garnisun KMKB.
Namun Lubis tak pernah duduk di kursi pesakitan. Permintaannya kepada Jaksa Agung agar tuduhan keterlibatannya dalam Peristiwa Cikini diperiksa, tak pernah ditanggapi. “Masalah itu sudah selesai,” jawab pihak pemerintah sebagaimana ditulis R.Z. Leiressa dalam PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunisme.
Di Tengah Pergolakan Daerah
Selepas Peristiwa Cikini, Lubis melarikan diri ke Sumatra. Sebulan di Palembang, dia lalu ke Padang. Dia bergabung dengan panglima-panglima dari daerah yang bergolak, yang ingin mengoreksi pemerintah pusat. Bermula dari rapat di Sungai Dareh, Sumatra Barat, mereka menuntut pengunduran diri Kabinet Ali Sastroamidjojo, mengembalikan Mohammad Hatta ke dalam pemerintahan, otonomi daerah seluas-luasnya, pemberian kekuasaan tentara yang lebih luas, dan antikomunisme.
Ketika tuntutan mereka tak diindahkan pemerintah pusat di Jakarta, mereka mengumumkan Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara pada 10 Februari 1958. Piagam tersebut terdiri dari delapan tuntutan. Setelah pembacaan itu, Ahmad Husen, ketua Dewan Banteng, menambahkan ultimatum: Mereka akan membebaskan diri dari kewajiban patuh kepada Presiden Sukarno bila tuntutan tersebut tak dikabulkan.
Nasution menganggap tindakan mereka inkonstitusional. Dia langsung memecat para perwira daerah bergolak itu. Akibatnya, para perwira daerah terpaksa merealisasikan ancamannya. Pada 15 Februari 1958 di Padang, mereka membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sjafruddin Prawiranegara jadi perdana menterinya. Dalam perkembangannya, para panglima dari Sulawesi dengan Permesta-nya ikut bergabung dalam PRRI.
Lubis tak masuk dalam pemerintahan meski menjadi salah satu penggerak. Dia hanya menjadi koordinator militer. Tugasnya lebih pada koordinasi dan informasi. Dia banyak bergerak di Kabupaten Sijunjung meski markasnya di Kewalian Nagari Sungai Limau, barat Sungai Dareh. Lubis beroperasi dalam kelompok kecil. “Anak buah saya yang aktif ikut saya cuma 3-4 orang,” ujarnya.
Dengan regu kecil itu Lubis keluar-masuk hutan. Istrinya selalu ikut. Lubis gabung PRRI dengan keyakinan bahwa apa yang dikerjakan pemerintah pusat sudah tidak benar.
Dalam dokumen-dokumennya yang kemudian disita AD (“Kini Tabir Dapat Dibuka”), Lubis telah jauh hari membuat konsep perjuangan yang menurutnya untuk menyelamatkan negara. Di dalamnya, dia menuangkan berbagai pemikiran taktisnya. Lubis bahkan mempersiapkan nama-nama ideal yang akan duduk di pemerintahan. Tak terkecuali dia menyertakan naskah yang bakal ditandatangani presiden/kepala pemerintahan terpilih.
Sekalipun mendapat dukungan dana dan persenjataan dari Amerika Serikat, PRRI/Permesta akhirnya dapat dipatahkan pasukan Republik dalam waktu tak sampai setahun. Para pemimpinnya menyelamatkan diri masing-masing. Lubis sendiri masuk ke hutan. Dia bersama 19 anak buahnya menyerah pada 18 Agustus 1961. Setelah dikarantina politik sesaat di Cipayung, Lubis masuk penjara RTM Budi Utiomo dan baru bebas setelah rezim Sukarno tumbang.
Lubis tahu sebagai warga negara dia harus patuh pada konstitusi. Tapi, di atas konstitusi, dia melihat ada yang lebih layak dijunjung: kebenaran. Dan dia melihat orang-orang yang duduk di kekuasaan, termasuk Nasution, sudah tidak benar. Bila terpaku pada konstitusi, kehidupan bernegara bisa terbelenggu. Padahal kondisinya sudah parah.
“Jadi, harus dirombak,” ujar Lubis. Dia tahu kelompoknya terpaksa melawan konstitusi. “Bagi saya, yang utama itu adalah keyakinan pada yang benar.”*