Rapat umum Hari Buruh 1 Mei 1954 di Bandung. (Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
KETERLIBATAN federasi serikat buruh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dalam Peristiwa Madiun 1948 mendorong beberapa anggota nonkomunis memilih keluar. Mereka menilai perlu ada federasi buruh yang baru dan independen.
Persatuan Organisasi Buruh (POB), di mana kelompok Sjahrir bercokol, menjalin hubungan dengan organisasi serikat buruh nonkomunis lainnya seperti Gabungan Sarekat Buruh Indonesia (GSBI) yang nasionalis, Badan Pekerja Sarekat Sekerdja (BPSS), dan Gabungan Organisasi Buruh Sumatra Utara (GOBSU). Mereka menggelar kongres bersama pada 10–12 Mei 1953 dan memutuskan berfusi mendirikan federasi Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI).
“Seperti tercantum dalam Anggaran Dasarnya, maka organisasi ini, yang memperjuangkan tercapainya masyarakat yang berkeadilan sosial, berdasarkan kerakyatan dan bersifat merdeka, nonpartai,” tulis Sikap,18 Mei 1953.
KETERLIBATAN federasi serikat buruh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dalam Peristiwa Madiun 1948 mendorong beberapa anggota nonkomunis memilih keluar. Mereka menilai perlu ada federasi buruh yang baru dan independen.
Persatuan Organisasi Buruh (POB), di mana kelompok Sjahrir bercokol, menjalin hubungan dengan organisasi serikat buruh nonkomunis lainnya seperti Gabungan Sarekat Buruh Indonesia (GSBI) yang nasionalis, Badan Pekerja Sarekat Sekerdja (BPSS), dan Gabungan Organisasi Buruh Sumatra Utara (GOBSU). Mereka menggelar kongres bersama pada 10–12 Mei 1953 dan memutuskan berfusi mendirikan federasi Kongres Buruh Seluruh Indonesia (KBSI).
“Seperti tercantum dalam Anggaran Dasarnya, maka organisasi ini, yang memperjuangkan tercapainya masyarakat yang berkeadilan sosial, berdasarkan kerakyatan dan bersifat merdeka, nonpartai,” tulis Sikap,18 Mei 1953.
Dominasi PSI
Enam bulan pertama, KBSI berkonsentrasi menghimpun kekuatan. Sejumlah organisasi serikat buruh dari SOBSI terpikat. Mereka keluar dari SOBSI dan bergabung ke KBSI. SOBSI bereaksi, mengatakan KBSI tak lain adalah onderbouw PSI (Partai Sosialis Indonesia). SOBSI menyertakan dua bukti: program kerja dan latar belakang pimpinan KBSI.
Rivai S. Atmadja, petinggi KBSI, punya pembelaan soal program KBSI. Saat perumusan program KBSI, kelompok sosialis tak menyodorkan banyak program nasional PSI. “Malah usul inisiatif mengemukakan kehendak mengambil oper isi Program Nasional kita itu datangnya adalah dari golongan bukan sosialis,” tulis Rivai dalam Suara Sosialis, Februari 1959.
Latar belakang pimpinan KBSI juga beragam. Ketua dan sekjennya bukan orang PSI; masing-masing dijabat Rahendra Koesnan, mantan menteri perburuhan dan sosial Kabinet Hatta condong ke PNI, dan Koesna Poeradisastra dari nonpartai.
Namun, aktivitas-aktivitas pro-PSI bukan tak ada, bahkan menimbulkan ketegangan. Sampai-sampai Koesnan mengundurkan diri, yang diikuti beberapa serikat buruh nonsosialis. “Sejak itu kaum sosialis memiliki kebebasan aksi yang lebih besar,” tulis Iskandar Tedjasukmana dalam Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia.
Protes KBSI
Keputusan kelompok nonsosialis memukul KBSI. Anggota mereka berkurang. Tinggal 400.000 orang atau separuh dari jumlah anggota pada Mei 1953. Namun, di bawah ketua umum baru, Koesna Poeradisastra, KBSI kembali beroleh kekuatan dan pengaruhnya. Ini terlihat dari bagaimana KBSI berhadapan dengan pemerintah.
Pada Mei 1954, produksi pabrik tenun terhenti lantaran benang hilang dari pasaran. Puluhan ribu buruh terancam menganggur. “Pimpinan KBSI mendesak dan menuntut pemerintah agar memeriksa secara teliti di mana dan ke mana benang-benang tenun itu?” tulis Pedoman, 17 Mei 1954. Tekanan KBSI cukup ampuh. Pemerintah membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus itu.
Lepas dari masalah kelangkaan benang tenun, buruh menghadapi kesulitan ekonomi pada 1955. Upah buruh harian hanya Rp3, sedangkan ongkos hidup sehari-hari Rp10 per orang per hari. KBSI berencana mogok nasional. Sontak pemerintah, partai politik, dan serikat buruh yang mendukung pemerintah melancarkan tudingan bahwa aksi itu politis dan PSI berada di belakangnya.
KBSI menggelar mogok nasional pada 8–9 Mei 1955. Ratusan ribu buruh terlibat aksi ini. Hari-hari setelahnya, pemerintah berunding dengan delegasi KBSI. Sementara lawan politik KBSI mulai memperhitungkan kekuatan KBSI.
Aktivitas KBSI berkurang drastis sejak mekarnya pergolakan di daerah. Taji mereka rontok saat pemerintah melarang PSI pada 1960. KBSI hilang dari kancah perjuangan buruh.*