Simpang Jalan Milisi Partai

Dari Barisan Pelopor menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia. Milisi PNI ini tak berkompromi dengan Belanda. Bersimpang jalan dengan Sukarno.

OLEH:
Hendi Jo
.
Simpang Jalan Milisi PartaiSimpang Jalan Milisi Partai
cover caption
Perayaan satu tahun Barisan Banteng di Solo, 14 Desember 1946, yang dihadiri Presiden Sukarno dan Panglima Besar Jenderal Soedirman. (IPPHOS/Perpusnas RI).

JALAN sunyi di pusat kota Cianjur itu masih menyisakan masa lalu. Pohon-pohon mahoni tua berderet, menaungi rumah-rumah lama dan bangunan-bangunan toko. Sementara itu, di ujung jalan, beberapa gedung sekolah milik yayasan Katolik berdiri megah. Orang-orang Cianjur mengenal ruas jalan itu sebagai Jalan Barba (Barisan Banteng).  

“Nama itu diambil dari Laskar BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia) yang pada zaman revolusi pernah sangat berjaya di kota ini,” ujar Moeljadi, 77 tahun.  

Kendati didirikan oleh kaum nasionalis dan kerap dihubungkan dengan PNI (Partai Nasional Indonesia), pada kenyataannya BBRI tidaklah berafiliasi seutuhnya dengan PNI. Menurut Kemal Asmara Hadi, pada awal pendiriannya loyalitas BBRI lebih cenderung kepada Sukarno.

JALAN sunyi di pusat kota Cianjur itu masih menyisakan masa lalu. Pohon-pohon mahoni tua berderet, menaungi rumah-rumah lama dan bangunan-bangunan toko. Sementara itu, di ujung jalan, beberapa gedung sekolah milik yayasan Katolik berdiri megah. Orang-orang Cianjur mengenal ruas jalan itu sebagai Jalan Barba (Barisan Banteng).  

“Nama itu diambil dari Laskar BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia) yang pada zaman revolusi pernah sangat berjaya di kota ini,” ujar Moeljadi, 77 tahun.  

Kendati didirikan oleh kaum nasionalis dan kerap dihubungkan dengan PNI (Partai Nasional Indonesia), pada kenyataannya BBRI tidaklah berafiliasi seutuhnya dengan PNI. Menurut Kemal Asmara Hadi, pada awal pendiriannya loyalitas BBRI lebih cenderung kepada Sukarno.

“Wajar karena sebagian besar pimpinannya seperti dr. Moewardi dan Soediro adalah kader Bung Karno,” ungkap salah satu putra dari tokoh BBRI, Asmara Hadi itu.

BBRI merupakan salah satu milisi terkuat di Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan. Menurut George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia, pada akhir 1945, anggotanya melampaui angka 20.000 orang. Suatu jumlah yang hanya bisa dikalahkan oleh Hizboellah, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), dan Lasjkar Rakjat (LR).

Barisan Pelopor. (IPPHOS/Perpusnas RI).

Bermula dari Barisan Pelopor

Di tengah gelora permusuhan terhadap Sekutu yang ditiupkan oleh pemerintah militer Jepang, kaum nasionalis mengajukan permohonan untuk membentuk suatu badan semimiliter. Menurut sejarawan Rushdy Hoesein, permohonan itu direspons secara cepat oleh Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat). Maka, pada 1 November 1944 didirikan sebuah organ bernama Barisan Pelopor (Syuisyintai) di bawah kendali Djawa Hokokai.  

“Sebagai pimpinan diangkatlah Ir. Sukarno, sedangkan tiga wakilnya adalah R.P. Suroso, Oto Iskandar di Nata dan dr. Buntaran Martoatmojo serta dr. Moewardi selaku pimpinan Barisan Pelopor cabang Jakarta,” kata Rushdy kepada Historia.

Kendati disiapkan untuk menjalankan bela negara, tetapi dalam kenyataannya kegiatan Barisan Pelopor hanya difokuskan kepada upaya menggalang massa aksi dan upaya pengamanan saat berlangsung pidato-pidato para tokoh nasionalis. Namun, struktur dan pengorganisasian Barisan Pelopor bisa disebut sangat baik. Itu dibuktikan dengan berdirinya cabang-cabang Barisan Pelopor hingga tingkat kawedanaan bahkan sampai tingkat kelurahan.  

“Jumlah anggotanya diperkirakan meliputi 60.000 orang,” tulis Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.

Sejarah mencatat peran besar Barisan Pelopor dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Selain mengurusi hal-hal teknis, mereka pun terlibat dalam pengamanan Sukarno-Hatta. “Para komandannya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa radikal yang aktif di grup Menteng 31,” ujar Rushdy.

Laskar Barisan Banteng ketika mengikuti rapat laskar-laskar se-Jawa Barat di Karawang, Juni 1946. (IPPHOS/Perpusnas RI).

Pembentukan Barisan Banteng

Pada 16 Desember 1945, di bawah dr. Moewardi Barisan Pelopor mengubah namanya menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Kendati jumlah anggotanya melorot tajam dibanding saat masih bernama Barisan Pelopor, tetapi BBRI dikenal sebagai milisi yang memiliki persenjataan lengkap dan jaringan paling kuat di Jawa dan Sumatra.  

Wajar dengan kondisi seperti itu, BBRI bisa bicara banyak di berbagai palagan, baik saat menghadapi militer Inggris maupun berhadapan dengan militer Belanda. Salah satu contoh, pada awal 1946, BBRI pimpinan Soeroso secara heroik membuat kalang kabut Batalion 3/3 Gurkha Rifles di palagan Cianjur.  

“Padahal yang mereka hadapi adalah pasukan elite milik Inggris, pemenang Perang Dunia II,” ujar Kolonel (Purn.) Eddie Soekardi, salah satu sesepuh Divisi Siliwangi.

Namun, menurut Kahin, melimpahnya persenjataan dan keberanian mereka kerap tidak dibarengi dengan penerapan disiplin yang bagus. Terlebih di BBRI, jumlah komandan yang cakap secara militer sangatlah sedikit. Otomatis itu menimbulkan lebih banyak masalah di lapangan. “Akibatnya, semangat tempur dan kekuatan politik BBRI perlahan mengecil,” ujar pakar sejarah revolusi Indonesia asal Amerika Serikat itu.  

Akhir April 1946, BBRI terlibat dalam kericuhan di Surakarta. Berawal dari adanya tuntutan PNI Surakarta yang meminta agar kekuasaan Sunan dicabut dan provinsi yang ia kuasai dimasukan ke dalam Republik dengan tingkat pemerintahan yang sama sebagaimana wilayah yang diperintah secara langsung. Beberapa hari kemudian, pasukan BBRI mengepung kepatihan dan gudang logistik milik Sunan. “Aksi ini dilakukan bersama Rono Marsono, seorang pemimpin serikat buruh lokal yang kuat tetapi bejat,” ungkap Kahin.  

Akibat kejadian tersebut, pada Mei 1946, pemerintahan Sjahrir menangkap 12 pemimpin PNI dan BBRI, termasuk dr. Moewardi. Tentu saja BBRI tidak menerima penangkapan itu. Mereka lantas melakukan demonstrasi besar-besaran di Solo guna menuntut pembebasan pemimpin-pemimpin mereka. Aksi tersebut ditanggapi secara positif oleh pimpinan TRI (Tentara Republik Indonesia) Jenderal Soedirman dengan membebaskan 12 orang itu.

Laskar Barisan Banteng ketika mengikuti rapat laskar-laskar se-Jawa Barat di Karawang, Juni 1946. (IPPHOS/Perpusnas RI).

Indonesia Merdeka 100%

Secara politik, BBRI menganut pendirian “tak mengenal kompromi dengan Belanda”. Pilihan ini jelas membuat milisi bersimbol banteng kekar tersebut bersimpangan jalan dengan sang patron: Presiden Sukarno yang mendukung Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville. “Di sinilah simpang jalan itu, Moewardi melihat Sukarno mulai ‘tidak konsisten’ terhadap garis perjuangan semula,” ujar Rushdy.

Sebaliknya, pendirian BBRI itu justru bertemu dengan murbais pendukung Tan Malaka yang berprinsip: Indonesia harus merdeka 100%. Maka, bertempat di Surakarta, pada 25 Januari 1948, terbentuklah GRR (Gerakan Revolusioner Rakyat), suatu aliansi antara nasionalis BBRI dengan murbais (pendukung ide-ide politik Tan Malaka) dan kaum komunis di luar PKI (Partai Komunis Indonesia) pimpinan Musso.  

Pembentukan GRR memantik konflik dengan FDR (Front Demokrasi Rakyat), yang di antaranya disponsori oleh PKI dan Pesindo. Puncak perseteruan terjadi kala dr. Moewardi, yang saat itu menjadi ketua GRR, diculik oleh sekelompok orang bersenjata pada 13 September 1948. “Karena BBRI dan GRR menuduh pelakunya adalah orang-orang Pesindo, mereka lantas memberikan ultimatum agar mengembalikan secepatnya dr. Moewardi,” tulis sejarawan Harry A. Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak.

Hingga Peristiwa Madiun pecah enam hari kemudian, Moewardi tak kunjung muncul. Maka, terjadilah “persekutuan aneh” GRR dan Divisi Siliwangi, pasukan yang ditugaskan Hatta menumpas gerakan Musso cs., bahu membahu menghabisi kubu FDR.

Usai Peristiwa Madiun, nama BBRI secara perlahan mulai sirna dari pentas revolusi kemerdekaan. Sebagian besar anggotanya bergabung dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Sedangkan sisanya mendirikan milisi-milisi lokal yang masih terhubung dengan ide-ide BBRI, seperti Banteng Ketaton di Purwakarta atau Laskar Napindo (Nasionalis Pelopor Indonesia) di Sumatra Timur.

Namun, menjelang perang berakhir, tetap saja ujung-ujungnya banyak anggota milisi-milisi jelmaan BBRI itu bergabung dengan kesatuan tentara resmi.*

Majalah Historia No. 31 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
668a1ee0fab10098364594b3