Orang-orang Armenia berkumpul di sebuah kota sebelum dideportasi. Mereka dibunuh di luar kota. (Wikimedia Commons).
Aa
Aa
Aa
Aa
KARENA letaknya yang strategis di antara benua Asia dam Eropa, di masa lalu Armenia diperebutkan dan dijajah berbagai bangsa di dunia. Pada abad ke-16, terjadi perebutan antara Ottoman dan Persia, yang membuat wilayah Armenia terbagi dua. Ottoman menguasai wilayah-wilayah yang disebut Armenia Barat, sementara Rusia menggenggam Armenia Timur setelah kekuasaan Persia melemah.
Di wilayah yang dikuasai Ottoman, orang-orang Armenia diizinkan memerintah komunitasnya sendiri. Kebebasan dan perlindungan selaku etnis dan pemeluk agama minoritas juga dijamin dengan pembayaran pajak tertentu. Aturan tersebut cukup toleran. Tapi sebagai warga negara kelas dua, minoritas Armenia kerap menjadi korban eksploitasi mayoritas Turki. Mereka mulai melakukan perlawanan. Penguasa Ottoman menjawabnya dengan penindasan.
Tak ayal, warga Armenia mengalami tragedi yang tak terlupakan hingga kini. Mereka menyebutnya sebagai “genosida pertama pada abad ke-20”.
KARENA letaknya yang strategis di antara benua Asia dam Eropa, di masa lalu Armenia diperebutkan dan dijajah berbagai bangsa di dunia. Pada abad ke-16, terjadi perebutan antara Ottoman dan Persia, yang membuat wilayah Armenia terbagi dua. Ottoman menguasai wilayah-wilayah yang disebut Armenia Barat, sementara Rusia menggenggam Armenia Timur setelah kekuasaan Persia melemah.
Di wilayah yang dikuasai Ottoman, orang-orang Armenia diizinkan memerintah komunitasnya sendiri. Kebebasan dan perlindungan selaku etnis dan pemeluk agama minoritas juga dijamin dengan pembayaran pajak tertentu. Aturan tersebut cukup toleran. Tapi sebagai warga negara kelas dua, minoritas Armenia kerap menjadi korban eksploitasi mayoritas Turki. Mereka mulai melakukan perlawanan. Penguasa Ottoman menjawabnya dengan penindasan.
Tak ayal, warga Armenia mengalami tragedi yang tak terlupakan hingga kini. Mereka menyebutnya sebagai “genosida pertama pada abad ke-20”.
Anak-anak Armenia dievakuasi dari Harput oleh Near East Relief pada 1922 atau 1923. (Wikimedia Commons).
Pembantaian Dimulai
Pembentukan Armenia bergaya Rusia di perbatasan Ottoman serta gagasan nasionalisme dari Eropa memberi pengaruh kuat bagi warga Armenia di Ottoman. Gerakan merdeka pun menggeliat. Kaum muda melakukan aktivitas bawah tanah di dalam dan luar negeri.
Tiga raksasa Eropa, Inggris, Prancis, dan Rusia mulai mempersoalkan perlakuan Ottoman dan menuntut reformasi. Terutama setelah terjadi peristiwa Pembantaian Hamidian (1894-1896) yang –dengan dalih menumpas pemberontakan orang-orang Armenia– menewaskan ratusan ribu jiwa. Karena secara politis tertekan, Ottoman terpaksa menyetujui “Paket Reformasi Armenia” yang diusulkan negara-negara Eropa dan menekennya pada 8 Februari 1914. Program ini bertujuan menyatukan semua provinsi Armenia di bawah seorang gubernur Eropa.
Sebagai langkah awal, Komite Reformasi menunjuk dua orang untuk menginspeksi Armenia Barat. Mereka adalah Nicolai Hoff, sekretaris jenderal Kementerian Perang Norwegia, dan Louis Constant Westenenk, seorang pejabat kolonial Belanda kelahiran Semarang yang pernah menjabat gubenur di pantai barat Sumatra.
Westenenk dan Hoff tiba di Istanbul pada April 1914. Namun, menurut Arman Dzhonovich Kirakosian dalam British Diplomacy and the Armenian Question: From the 1830s to 1914, kedua inspektur itu kurang mendapat sokongan dari pemerintah Ottoman. Praktis, mereka tak bisa bekerja dengan baik. Seiring meletusnya Perang Dunia I, keduanya pun dipanggil pulang ke Istanbul.
Reformasi yang diinginkan tak pernah terjadi. Dengan beragam alasan, salah satunya curiga orang-orang Armenia membelot ke Rusia, musuh Ottoman dalam Perang Dunia I, Ottoman memutuskan menghukum orang-orang Armenia.
Pada 24 April 1915, Menteri Dalam Negeri Ottoman Talaat Pasha meneken perintah penangkapan terhadap para pemuka Armenia di Istanbul. Mereka lalu dideportasi ke dua pusat penampungan di Ankara. Sebagian dari mereka tewas dieksekusi. Sisanya, yang berhasil selamat, membentuk kelompok diaspora Armenia.
Pejuang Armenia di kota Van, 1916. (Wikimedia Commons).
Respons di Hindia Belanda
Sikap Belanda yang netral dalam Perang Dunia I, dan tak adanya kepentingan dalam masalah Armenia, membuat arus berita pembunuhan massal itu cenderung minim. Isunya kalah hangat dibanding situasi politik dan ekonomi di Hindia.
Theodoor Thomas, seorang Indo berdarah Armenia dan editor Bataviaasch Handelsblad, mengangkat isu Armenia di korannya. Dia menyebut peristiwa itu adalah tanggungjawab mereka sendiri. Dia juga menyalahkan Inggris dan Rusia. Alih-alih memberi kemerdekaan kepada Armenia, Rusia malah ingin mencaplok wilayahnya. Sementara Inggris bersikap hipokrit karena tak menepati janji untuk mencegah tumpahnya darah orang Armenia.
Pandangan Thomas tak populer di kalangan komunitas Armenia di Batavia. Karel dan Gerrit Wybrands dari Het Nieuws van den Dag mempertanyakan asal-usul Armenia dalam diri Thomas yang bentrok dengan sikapnya yang pro-Jerman –sekutu Ottoman dalam Perang Dunia I.
“Beberapa hari setelahnya, Thomas mulai kesulitan untuk berhubungan dengan Gereja. Komunitas Armenia di Batavia tak lagi melihatnya sebagai seorang Armenia. Bahkan ada opini bahwa sang ‘Herr Thomas’ segera dinaturalisasi saja sebagai orang Turki, karena itu akan lebih cocok untuknya,” tulis Dirksje Willempje Groenhoff, mengutip Nieuws 7 Juli 1916, dalam tesis masternya di Universitas Leiden berjudul “Een grwelijke marteling, de Nederlandse reactie of de Armeense genocide, 1915-1922”.
Thomas kemudian menulis, kendati dia memiliki kewarganegaraan Belanda yang diwarisi ayahnya, dia masih bangga dengan asal-usul Armenia-nya.
Meski mendapat asupan informasi yang terbatas, komunitas Armenia di Hindia Belanda bersimpati terhadap apa yang dialami warga Armenia di Ottoman. Ketika Armenian General Benevolent Union (AGBU, berdiri pada 1906), sebuah organisasi nonprofit yang bertujuan membantu kesejahteraan orang-orang Armenia, membuka cabang di Singapura tahun 1917, komunitas di Hindia menggalang dana. Menurut majalah Ardzagank Parizi Vol. 7 tahun 1922, komunitas Hindia berhasil mengumpulkan sebanyak 4.620,50 gulden untuk disumbangkan kepada orang-orang Armenia yang menjadi korban Perang Dunia I.
Gereja menjadi saluran lain bagi warga Armenia yang ingin mengulurkan bantuan. Menurut Alle G. Hoekema dalam “Orang Kristen Armenia: Suatu Minoritas Kecil di Indonesia yang Sudah Punah”, dimuat di jurnal Gema Teologi Vol. 37 No. 1 tahun 2013, gereja biasanya dikunjungi uskup-uskup Armenia dari luar negeri. Salah satunya bertujuan mengumpulkan dana demi memenuhi kebutuhan gereja induk di Armenia, terutama setelah pembunuhan massal tahun 1917.
Dari para uskup itulah kisah pembantaian diceritakan. Misalnya, dari Uskup Thorgom Gushakian yang pandai menceritakan kengerian pembantaian itu dalam suatu kebaktian di Surabaya pada Juli 1917. Akhirnya kaum Armenia di Jawa memberi sokongan 80.000 gulden untuk orang Armenia yang terpaksa mengungsi. Sehabis kebaktian semuanya menyanyi “Tanah air kita dalam kesengsaraan”. Sementara di Bandung, Uskup menyatakan: “Negara kami tidak akan hilang, berkat agamanya.”
Yang menarik, soal pembantaian sendiri hampir tak disebut dalam berita-berita dan surat-surat gereja resmi yang datang dari New Julfa. “Rupanya kaum Armenia di Persia tidak terlalu terikat pada nasib saudara-saudara seiman mereka di negeri Turki yang berada di bawah sultan-sultan Ottoman. Mereka lebih terarah pada Asia Tenggara, seperti India, Singapura, dsb,” tulis Hoekema.
Orang Armenia yang lolos dari genosida berada di Jerusalem, April 1918. (Wikimedia Commons).
Subjek Historis
April 2015, warga Armenia di seluruh dunia memperingati “100 tahun genosida”. Sejumlah negara secara resmi mengakui kebenaran genosida. Sementara Turki hingga kini selalu membantah bahwa peristiwa itu setara genosida.
Pemerintah Indonesia sendiri belum mengakui genosida Armenia, kendati sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Armenia. Awal tahun 2015 Armenia membuka kedutaan besar di Indonesia. Salah satu alasannya, karena Indonesia modern tidak memiliki kekuatan diaspora Armenia yang kuat untuk membangun satu gerakan sosial dan politik. Komunitas Armenia di Indonesia adalah subjek historis; tidak seperti di Eropa dan Amerika Utara yang masih memiliki pengaruh signifikan.
Armenia sudah lama merdeka. Tapi mereka dan warganya tak bisa melupakan memori kelam atas apa yang dilakukan Ottoman (Turki).*