Pelukis Ferdinand de Braekeleer the Elder menggambarkan perlawanan Kenau saat pengepungan Haarlem oleh pasukan Spanyol. (Wikimedia Commons).
Aa
Aa
Aa
Aa
KENAU menerobos kerumunan orang. Sembari menangis, dia berteriak memanggil nama putrinya, yang terikat di sebuah tiang kayu. Namun, dua penjaga menghalangi langkahnya. Melihat kedatangan ibunya, tangis Gertruide kian menjadi, sementara api di sekelilingnya kian membesar.
Kenau (diperankan Monic Hendrickx) berusaha membujuk putrinya agar mengakui kesalahan dan mengatakan bahwa dia tetap Katolik, selain terus meyakinkan prajurit penjaga bahwa anaknya seorang Katolik, bukan Protestan. Tapi upaya Kenau bertepuk sebelah tangan.
Gertruide (Lisa Smit) tetap teguh pada keyakinannya; dia tak mengakui lagi Katolik dan kekuasaan Spanyol. Bersama pujaan hati dan beberapa pemuda lain di tiang yang lain, kematian Gertruide tinggal menunggu waktu. Hukuman mati telah dijatuhkan.
KENAU menerobos kerumunan orang. Sembari menangis, dia berteriak memanggil nama putrinya, yang terikat di sebuah tiang kayu. Namun, dua penjaga menghalangi langkahnya. Melihat kedatangan ibunya, tangis Gertruide kian menjadi, sementara api di sekelilingnya kian membesar.
Kenau (diperankan Monic Hendrickx) berusaha membujuk putrinya agar mengakui kesalahan dan mengatakan bahwa dia tetap Katolik, selain terus meyakinkan prajurit penjaga bahwa anaknya seorang Katolik, bukan Protestan. Tapi upaya Kenau bertepuk sebelah tangan.
Gertruide (Lisa Smit) tetap teguh pada keyakinannya; dia tak mengakui lagi Katolik dan kekuasaan Spanyol. Bersama pujaan hati dan beberapa pemuda lain di tiang yang lain, kematian Gertruide tinggal menunggu waktu. Hukuman mati telah dijatuhkan.
Gertruide tewas tak lama kemudian. Tapi bukan oleh api hukuman, melainkan peluru dari senapan adiknya, Kathelijne (Sallie Harmsen), yang sengaja menembaknya lantaran tak tahan melihat penderitaan sang kakak menjalani hukuman mati.
Kematian Gertruide tak hanya membuat Kenau kehilangan, tapi juga mengubah jalan hidupnya. Dia tak lagi apolitis. Dia bertekad ikut berperang mengusir pendudukan Spanyol. Fase perubahan diri Kenau inilah yang menjadi tema inti film besutan sutradara Maarten Treurniet ini.
Adegan dalam film Kenau.
Sosok Ibu
Kala itu, Belanda masih menjadi wilayah pendudukan Spanyol. Dengan dalih “Perang Suci”, Raja Spanyol Phillip II menduduki wilayah-wilayah di Belanda dan menyebarkan agama Katolik. Gubernur Don Alvares de Toledo mengutus anaknya, Don Fadrique de Toledo, memimpin pasukan. Kota demi kota jatuh ke tangan Spanyol.
Yang tersisa hanyalah Haarlem. Beberapa kali serangan Spanyol ke kota itu selalu menemui kegagalan. Pengepungan kota menjadi jalan satu-satunya. Di tengah suasana mencekam itulah Kenau memutuskan untuk berjuang. Didukung sejumlah janda, Kenau membentuk pasukan yang terdiri dari tiga ratus perempuan. Bersama pasukan di bawah pimpinan Wigbolt Ripperda (Barry Atsma), mereka bahu-membahu mempertahankan kota dalam sejumlah pertempuran dan mempermalukan Fadrique de Toledo. Ripperda sendiri ayah dari Pieter Ripperda, kekasih Gertruide, yang juga dihukum bakar oleh pasukan pendudukan Spanyol.
Di suatu tempat saat hujan badai, misalnya, Kenau dan pasukannya menyergap pasukan logistik musuh. Relasi Kenau dengan orang-orang dekat Fadrique memberi keuntungan baginya. Dari janda mantan walikota yang ditiduri Fadrique, Kenau mendapat informasi rencana penyerangan pasukan Spanyol.
Judul: Kenau. Sutradara: Maarten Treurniet. Pemain: Monic Hendrickx, Barry Atsma, Lisa Smit, Sallie Harmsen, Fransisco Oimos, dll. Produksi: Dutch Film Works, Nederlands Film Fonds & FU Works. Rilis: Maret 2014.
Dalam suasana perang itu, Kenau tetaplah sesosok ibu. Air mata kerap menghiasi pipinya. Dia mengkhawatirkan putrinya, Kathelijne. Kekhawatiran itu pula yang membuat Kenau melarang Kathelijne ikut berperang. Ketika benteng kota jebol dan penduduk melarikan diri, alih-alih berkonsentrasi menghadapi musuh, Kenau malah sibuk mencari anaknya. Adegan komunikasi hingga ribut antara Kenau dan Kathelijne kerap muncul. Pun interaksi Kenau dengan orang-orang di sekelilingnya. Dengan apik sang sutradara membuat adegan perjuangan maupun yang manusiawi muncul silih berganti.
Pada akhirnya, perjuangan penduduk Haarlem melemah akibat blokade yang berlangsung lama. Bantuan pasukan dari Pangeran William van Oranje juga urung datang karena dialihkan ke Alkmaar. Banteng kota pun jebol. Kenau dan Ripperda ditangkap. Sementara Ripperda dipenggal lehernya, Kenau dicemplungkan ke sungai.
Alih-alih membuat ending dengan adegan tentang Kenau, sehingga sangat biografis, sutradara Treurniet justru menutup filmnya dengan keterangan (tulisan) bahwa perjuangan penduduk Haarlem menjebol bendungan berhasil membanjiri Alkmaar dan memaksa pasukan Spanyol angkat kaki. Kelanjutan kisah Kenau dibiarkan menguap laiknya pahlawan pada umumnya yang tak menuntut balas jasa atas perjuangannya.
“Saya akan tetap tinggal dan bertempur, untuk kemerdekaan… untuk anak-anak kita, untuk Haarlem. Anak-cucu kita akan menyanyikan pujian tentang para pahlawan Haarlem... hidup aman di negeri merdeka,” demikian orasi Kenau di depan pasukan perempuannya.
Secara tematis, film ini sangat menarik. Berlatar masa revolusi Negeri Oranye melawan pendudukan Spanyol, yang dikenal dengan Perang 80 Tahun, film bergenre drama-sejarah ini mengadopsi kisah tokoh perempuan legendaris dalam cerita rakyat, Kenau Simonsdochter Hasselaer. Kenau, hidup antara 1526–1588, adalah janda pengusaha kayu dan pembuat kapal asal Haarlem yang meneruskan usaha suaminya.
Eksistensi perjuangan Kenau sendiri masih menjadi perdebatan. Sejarawan Cornelius Ekama yang kali pertama mempertanyakannya saat perayaan 300 tahun kemerdekaan dari Spanyol pada 1872. Menurutnya, tak masuk akal jika Kenau dan perempuan pejuang lainnya tak pernah masuk dalam daftar penjahat perang oleh Spanyol. Terlebih sepak terjangnya membahayakan eksistensi Spanyol. Kematian Kenau sendiri punya banyak versi; yang paling kuat: dia dibunuh bajak laut saat berlayar ke Norwegia. Catatan mengenai perempuan lain yang berjuang bersama Kenau juga minim.
Menurut Martha Moffitt Peacock, profesor Sejarah Seni di Brigham Young University, selama abad ke-17 banyak karya sastra maupun drama yang mengabadikan kisah heroik perempuan-perempuan Belanda. Kenau bukan satu-satunya, namun kisahnya paling populer. Dalam lukisan-lukisan, Kenau digambarkan sebagai perempuan bersenjata lengkap, dari tombak hingga pistol. Begitu juga patungnya yang kini berdiri di depan stasiun dan pelabuhan di Haarlem.
Besar kemungkinan Kenau memang ada, tapi kisah perjuangannya dibesar-besarkan hingga menjadi legenda. “Kisahnya berkembang hingga menjadi mistis,” tulis Martha Peacock dalam “Hoorndragers and Hennetasters: The Old Impotent Cuckold as ‘Other’ in Sixteenth and Seventeenth Century Netherlandish Art”, termuat di Old Age in the Middle Ages and the Renaissance yang disunting Albrecht Classen.
Terlepas dari plus-minus fakta sejarah, film Kenau lemah dari segi teknis. Yang paling kentara efek visualnya. Itu bisa dilihat dari salah satu adegan penyerbuan pasukan Spanyol ke benteng kota Haarlem. Namun, sebagai hiburan, Kenau sangat menarik. Imajinasi sutradaranya juga “nakal”.*