SINGAPURA memiliki segalanya kecuali sumber daya alam. Ia tumbuh pesat dari negara dunia ketiga menjadi pertama, sebagaimana judul memoar pendiri negara ini, Lee Kuan Yew, From Third To First. Singapura memang bukan negara biasa, ia lebih menyerupai kota besar yang berpenduduk multirasial. “Singapura bukan negara alamiah tapi buatan manusia... sebuah pulau tanpa daerah pedalaman, sebuah jantung tanpa tubuh,” ujar Lee dalam memoarnya.
Adalah Sir Thomas Stamford Raffles yang menjadikan pulau karang tersebut sebagai pelabuhan yang ramai disinggahi para pedagang dari Asia dan Eropa. Raffles tiba di Singapura pada 28 Januari 1819, setelah sebelumnya bertugas di Hindia Belanda. Ketika Bengkulu, yang dikuasai Inggris, ditukar dengan Singapura, yang dikuasai Belanda, Raffles meninggalkan Bengkulu dan bertugas sebagai gubernur jenderal Singapura yang baru. Di tangan Raffles, jantung kehidupan di Singapura mulai berdenyut.
SINGAPURA memiliki segalanya kecuali sumber daya alam. Ia tumbuh pesat dari negara dunia ketiga menjadi pertama, sebagaimana judul memoar pendiri negara ini, Lee Kuan Yew, From Third To First. Singapura memang bukan negara biasa, ia lebih menyerupai kota besar yang berpenduduk multirasial. “Singapura bukan negara alamiah tapi buatan manusia... sebuah pulau tanpa daerah pedalaman, sebuah jantung tanpa tubuh,” ujar Lee dalam memoarnya.
Adalah Sir Thomas Stamford Raffles yang menjadikan pulau karang tersebut sebagai pelabuhan yang ramai disinggahi para pedagang dari Asia dan Eropa. Raffles tiba di Singapura pada 28 Januari 1819, setelah sebelumnya bertugas di Hindia Belanda. Ketika Bengkulu, yang dikuasai Inggris, ditukar dengan Singapura, yang dikuasai Belanda, Raffles meninggalkan Bengkulu dan bertugas sebagai gubernur jenderal Singapura yang baru. Di tangan Raffles, jantung kehidupan di Singapura mulai berdenyut.
Imigran Bugis, Tionghoa, dan India berdatangan dan mulai menjadikan Singapura sebagai tempat tinggal mereka. Komunitas-komunitas itu bertumbuhan, meramaikan Singapura di masa-masa awal pembentukannya, seiring dengan meningkatnya kegiatan perdagangan antarbangsa.
Setelah berada di bawah kekuasaan Inggris seabad lebih, Jepang datang pada Desember 1941 dan menduduki Singapura sampai 1945. Sepeninggal Jepang, peta politik di negeri-negeri jajahan berubah. Tuntutan untuk melepaskan diri dari negeri induk semakin menguat.
Semenjak memperoleh hak menyelenggarakan pemerintah mandiri (self government) dari Inggris pada 1955 dan melepaskan diri dari Malaysia pada 1965, jantung tanpa tubuh itu berdenyut semakin cepat. Ia banyak dirundung masalah, mulai hubungan antarras sampai dengan persoalan menghidupi orang yang tinggal di negara tanpa kekayaan alam itu. Praktis Singapura hanya mengandalkan sektor perdagangan dan jasa. Hanya itu pundi emas yang dimiliki Singapura.
Dengan segala keterbatasannya negara ini terus membangun diri. Adalah Lee Kuan Yew, sosok yang sering dilihat sebagai tokoh di balik kebangkitan Singapura. Dia membangun kekuatannya sendiri, dia sering kali dituduh bertangan besi, tak memberi kesempatan pada lawan politiknya untuk berkutik. Dalam setiap kampanye pemilu, yang sudah bisa ditebak siapa pemenangnya, Lee selalu mengatakan bahwa seluruh masa dewasanya dihabiskan untuk membangun Singapura. “Selama saya masih ada, saya takkan membiarkan orang menghancurkan semua ini,” ujar Lee dalam sebuah kampanye pada 1980.
Dengan segala kontroversi yang meliputinya, Singapura tumbuh semakin maju di kawasan Asia Tenggara. Negara seluas 640 kilometer persegi ini menjadi rujukan, mulai pendidikan sampai dengan kesehatan. Berdasarkan riset TimesHigherEducation.co.uk bekerja sama dengan Thomson Reuters pada 2012, National University of Singapore (NUS) menduduki peringkat ke-29 universitas terbaik di dunia. NUS mengungguli University of British Columbia di Kanada dan University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat.
Rumah sakit pun tak luput dari rujukan berobat kelas menengah ke atas dari Indonesia. Kualitas pelayanan kesehatan yang baik membuat banyak warga Indonesia yang berkunjung ke Singapura untuk berobat. Bahkan, beberapa di antara datang ke Singapura secara rutin untuk melakukan cek kesehatan (medical check up), suatu hal yang sebetulnya mampu dilakukan di rumah sakit di Indonesia. Namun, citra pelayanan kesehatan di Singapura yang telanjur menancap baik di kepala segolongan kelas elite Indonesia tak menghalangi mereka untuk merogoh kocek lebih dalam demi berobat di Negeri Singa itu.
Itu baru soal pendidikan dan pelayanan kesehatan. Singapura juga ngetop sebagai surga belanja bagi orang Indonesia. Setiap akhir pekan, frekuensi kunjungan ke Singapura meningkat. Terlebih dengan tersedianya penerbangan murah membuat wisata belanja ke Singapura semakin marak.
Namun, di balik semua hiruk pikuk dunia belanja di Singapura, negeri ini memiliki kepedulian untuk merawat warisan masa lalunya. Beberapa perkampungan dirawat dan diubah menjadi tempat wisata sejarah yang mengasyikkan. Tak kalah mengasyikkannya adalah museum yang menampilkan koleksi-koleksi benda-benda bersejarahnya.
Salah satu museum yang saya kunjungi adalah Asian Civilisations Museum. Museum ini, ketika saya sambangi, sedang menyelenggarakan pameran arsitektur Islam “Treasure of Aga Khan Museum”. Beragam bentuk dan khazanah arsitektur Islam dari Iran, Suriah sampai dengan Mesir dipamerkan dengan cara yang sangat memikat dan informatif.
Dengan membeli tiket seharga S$8 kita sudah bisa menikmati berbagai koleksi yang ada di Asian Civilisations Museum yang terletak di Empress Place itu. Selain pameran arsitektur Islam yang merupakan event temporer, museum ini juga banyak mengoleksi benda-benda bersejarah dari beberapa negara di Asia. Agaknya Singapura memahami benar jati dirinya sebagai bangsa yang multirasial, sehingga memerlukan diri untuk membangun sebuah museum peradaban Asia.
Tak jauh dari museum itu, sebuah jembatan bersejarah dilestarikan sebagaimana adanya. Jembatan itu bernama Cavanagh Bridge, diresmikan tahun 1870, yang menghubungkan kawasan bersejarah dengan kawasan komersial yang dipisahkan oleh Sungai Singapura. Di seberang museum, melewati jembatan, terdapat beberapa patung, yang melambangkan keberagaman Singapura. Digambarkan sesosok patung warga Tionghoa tengah berinteraksi dengan patung yang mewakili warga India dan Melayu.
Jembatan Cavanagh seolah menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Di seberang area bersejarah (civic district) terdapat kawasan komersial yang ditumbuhi gedung-gedung pencakar langit nan modern. Bank internasional, perusahaan multinasional, dan berbagai perusahaan lainnya berkantor di kawasan itu. Dua wilayah itu seperti hendak merangkum sebuah kenyataan: masa lalu dan masa kini (juga masa depan) merupakan kesinambungan yang tak bisa dipisahkan.
Bangunan bersejarah lainnya, yang memiliki hubungan dengan Indonesia, adalah MacDonald House yang terletak di Orchard Road. Gedung ini sempat dibom oleh dua anggota marinir Indonesia (dulu KKO AL, Korps Komando Angkatan Laut) pada 10 Maret 1965. Sersan Usman dan Kopral Harun, dua pelaku pengeboman dalam operasi konfrontasi dengan Malaysia itu akhirnya tertangkap ketika hendak melarikan diri dari perairan Singapura. Usman dan Harun dihukum mati pada 17 Oktober 1968 setelah upaya lobi dan diplomasi pemerintah Indonesia gagal. “Kami memutuskan untuk tidak membatalkan hukuman itu, mengacu pada hukum yang berlaku,” ujar Lee Kuan Yew dalam memoarnya.
Jalan Orchard, di mana MacDonald House berdiri, sangat terkenal di kalangan pengunjung Singapura, tak terkecuali bagi orang Indonesia. Tetapi tentu bukan karena mereka, orang Indonesia, tahu bahwa pada suatu waktu ada orang Indonesia yang mengebom MacDonald House, melainkan karena Orchard adalah surga belanja.
Di Orchard Road mudah ditemui orang Indonesia yang menenteng tas belanjaan. Ketika saya berada di sana, serombongan ibu-ibu asal Indonesia, duduk santai di sela-sela tumpukan belanjaan mereka. Salah satunya saya kenali, istri mantan petinggi lembaga pemberantasan korupsi. Pada malam sebelumnya, seorang mantan anggota DPR pun kelihatan menikmati liburannya di Orchard.
Sebagai negara tetangga yang terbilang maju dan mudah dijangkau dari Indonesia, Singapura pun kerap dijadikan tujuan “studi banding” bagi para pegawai pemerintahan. Saban akhir tahun, selalu saja ada kegiatan kunjungan perbandingan ke Singapura. Bukan rahasia lagi kalau “studi banding” itu dilakukan sebagai dalih untuk jalan-jalan “abidin” (atas biaya dinas). Entah berapa kali “studi banding” dilakukan dan entah apa yang hendak diperbandingkan, yang pasti, hasil perbandingan tak pernah terlihat wujudnya di negeri ini kecuali tersisa sebagai sebuah cerita pengalaman melancong ke negeri jiran dengan sokongan uang negara.
Singapura memang berhasil menjadi negara yang layak diperbandingkan dengan negeri-negeri di sekitarnya. Negeri ini melesat cepat lebih maju dari tetangganya. Cerita kelam tentang demokrasi liberminus yang diterapkan oleh rezim Lee Kuan Yew (yang sejak 2004 ditahbiskan sebagai Minister Mentor), seakan tertutupi oleh gemerlap pertumbuhan ekonomi negeri bekas jajahan Inggris itu.
Dibandingkan dengan Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya, Singapura memang miskin. Tetapi dari sana kita tahu bahwa cara mengatur negara jauh lebih penting ketimbang kekayaan apa yang dimiliki oleh negara. Tentu bukan berarti apa yang dilakukan oleh Lee selama dia memimpin negeri itu benar seratus persen: dengan segala cara tangan besinya dan menutup keran kebebasan berbicara. Dan memang dia tak percaya pada kebebasan, kebebasan pers salah satunya. Mungkin dalam soal satu ini, Singapura yang perlu “studi banding” ke Indonesia.
Perbandingan lain, yang semestinya bisa dipelajari dari Singapura, tentu saja soal transportasi massalnya. Transpotasi massal di Singapura termasuk yang terbaik di dunia. Mass Rapid Transit (MRT) yang dibangun pada 1990 menjawab kebutuhan warga Singapura akan transportasi yang cepat dan nyaman. Sistem transportasi yang serba terhubung satu sama lain, membuat jalan-jalan di Singapura terasa mudah dan tentu tanpa takut tersesat.
Singapura kini aktif mereklamasi kawasan pantainya, menjadikan area-area baru untuk wisata dan bisnis. Reklamasi ini bukannya tanpa masalah. Pasir yang digunakan dibeli secara murah dari wilayah Kepulauan Riau. Beberapa tahun lalu hal ini mengundang sorotan media di Indonesia karena menyebabkan beberapa pulau milik Indonesia hilang ditelan lautan karena pasirnya yang dikeruk terus menerus seiring kebutuhan Singapura untuk mereklamasi kawasan pesisirnya.
Tapi tokh seperti biasa persoalan itu hilang bak tertelan bumi. Sementara itu kawasan pesisir Singapura semakin mentereng dengan berdirinya beberapa kawasan wisata dan perniagaan. Siapa lagi kalau bukan orang Indonesia yang juga ikut menikmati apa yang dibuat oleh Singapura itu. Sentosa Island kini jadi rujukan berlibur bagi warga Indonesia. Uang pun mengalir masuk kocek Singapura.
Kini Singapura semakin mengukuhan dirinya sebagai negara kelas satu di wilayah Asia Tenggara, bahkan di wilayah Asia, menyusul Korea Selatan dan Jepang. Negeri yang luasnya setara dengan wilayah Provinsi DKI Jakarta itu bak magnet bagi warga negeri-negeri di sekitarnya untuk datang, baik berwisata, menuntut ilmu, maupun berbisnis.*