Sinse di Tambang Timah

Katolik di Bangka diawali oleh seorang sinse Tionghoa yang melayani para pekerja tambang timah dari Tiongkok.

OLEH:
Albertus Aryo Anindito
.
Sinse di Tambang TimahSinse di Tambang Timah
cover caption
Ilustrasi Tsen On Ngie. (M.A. Yusuf/Historia.ID).

BERKAT seorang sinse, tabib tradisional Tiongkok, yang melayani para pekerja tambang timah, agama Katolik menyebar di Bangka. Bahkan, Kekatolikan di Bangka mulai diperhitungkan oleh Gereja Katolik.

Sejarah Bangka memang tak bisa dilepaskan dari timah, yang diyakini mulai ditemukan awal abad ke-18. Sejak itu penambangan timah dilakukan secara intensif. Termasuk dengan mendatangkan pekerja-pekerja dari Tiongkok.

Pada 1830, setelah beremigrasi ke Malaka dan dibaptis menjadi Katolik di Penang, Tsen On Ngie atau Zeng Aner datang dan menetap di Bangka. Bukan untuk jadi pekerja tambang, tapi melihat peluang lain sesuai keahliannya sebagai sinse. Di Sungaiselan (kini sebuah kecamatan di Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung), Tsen On Ngie berjualan obat untuk menyembuhkan orang sakit, terutama para pekerja Tionghoa.

BERKAT seorang sinse, tabib tradisional Tiongkok, yang melayani para pekerja tambang timah, agama Katolik menyebar di Bangka. Bahkan, Kekatolikan di Bangka mulai diperhitungkan oleh Gereja Katolik.

Sejarah Bangka memang tak bisa dilepaskan dari timah, yang diyakini mulai ditemukan awal abad ke-18. Sejak itu penambangan timah dilakukan secara intensif. Termasuk dengan mendatangkan pekerja-pekerja dari Tiongkok.

Pada 1830, setelah beremigrasi ke Malaka dan dibaptis menjadi Katolik di Penang, Tsen On Ngie atau Zeng Aner datang dan menetap di Bangka. Bukan untuk jadi pekerja tambang, tapi melihat peluang lain sesuai keahliannya sebagai sinse. Di Sungaiselan (kini sebuah kecamatan di Kabupaten Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung), Tsen On Ngie berjualan obat untuk menyembuhkan orang sakit, terutama para pekerja Tionghoa.  

Sembari praktik pengobatan, Tsen On Ngie yang lahir di Tiongkok tahun 1795 menyebarkan agama Katolik. Ketulusan dalam melayani orang sakit, kesediaannya menolong sesama. keramahannya, dan perilakunya yang baik membuka hati orang-orang sebangsanya untuk belajar dan memeluk Katolik.  

“Dengan membawa peti obat di punggungnya, dia berkeliling pulau, mengajar orang sakit, dan membaptis orang sekarat,” catat 400 Jaren Missie in Nederlandsch Indië (1934), dikutip De Koerier, 5 Oktober 1935.

Menurut Karel Steenbrink dalam Orang-Orang Katolik di Indonesia 1808–1942, karena makin banyak orang Tionghoa yang tertarik menjadi Katolik, Tsen On Ngie memberikan katekese (pengajaran agama) sembari menjalakan praktik pengobatan. Dia menjadikan rumahnya semacam kapel sederhana dengan menempatkan altar dan berbagai perlengkapan rohani. Sepuluh muridnya kemudian dibaptis di Singapura.  

Para pekerja di tambang timah di Sungailiat, Bangka, sekitar tahun 1900-1920. (Rijksmuseum/Wikimedia Commons).

Stasi Pertama

Suatu hari di tahun 1848, seorang Eropa Katolik masuk dan melihat ornamen-ornamen Katolik di rumah Tsen On Ngie. Dia kagum dengan kesungguhan Tsen On Ngie dalam menghayati Katolik dan menyampaikannya kepada uskup di Batavia. Hal tersebut, catat G. Vriens dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid 2, membuat Kekatolikan di Bangka mulai diperhatikan pemimpin tertinggi Gereja Katolik di Hindia Belanda.  

Tsen On Ngie sendiri berharap kehadiran seorang pastor di Bangka untuk membaptis para katekumen-nya (pengikut pelajaran agama sebelum dibaptis). Namun, di mana menemukan seorang pastor?  

“Akhirnya dia mendengar dari seorang Katolik Eropa bahwa ada pastor, bahkan uskup, di Batavia. Segera surat dikirim ke Batavia dan kabar ini diterima dengan gembira,” catat 400 Jaren Missie in Nederlandsch Indië.

Tse On Ngie beberapa kali mengirimkan surat ke Vikariat Apostolik di Batavia (kini, Keuskupan Agung Jakarta). Pada 1849, Vikariat mengutus pastor Adamus Claessens untuk berkunjung ke Bangka.

Steenbrink mencatat, Claessens membaptis 60 orang Tionghoa. Ada yang sudah mendapat pelajaran agama dari Tsen On Ngie selama 10 sampai 12 tahun. Ada yang satu tahun. Ada pula yang baru enam sampai tujuh bulan. Hampir semuanya bisa membaca bahasa Mandarin dan memperoleh pengetahuan tentang iman Katolik melalui buku-buku, selain pengajaran lisan dari pemimpin Tsen On Ngie.

Claessens terkesan dengan apa yang dilihatnya di Bangka. Dia melakukan kunjungan singkat lagi pada 1851 dan mendapati 24 orang dewasa yang telah dipersiapkan untuk Pembaptisan Suci oleh Tsen On Ngie.

Dua tahun kemudian, datanglah Yan Yosef Langenhoff, pastor pertama untuk misi di Bangka. Dia mendirikan stasi (cabang gereja/paroki) baru di Sungaiselan sekaligus bertugas untuk menilik umat-umat Katolik yang tersebar di Bangka, Belitung, residensi Riau dan residensi Palembang. Sejak itu bisa dibilang komunitas Katolik di Bangka menjadi stasi tetap pertama untuk golongan bukan Eropa.

Tsen On Ngie diangkat sebagai katekis (guru agama) oleh Langenhoff. Dia juga tergabung dalam Dewan Gereja setempat. Selain mengemban tugas sebagai katekis, dia mengusahakan derma-derma untuk membiayai puluhan anak yatim-piatu.  

Kendati demikian perhatian Tsen On Ngie terhadap kesehatan para pekerja tambang tak berkurang. Pada masa itu pemerintah Hindia Belanda tak memberikan akses kesehatan yang layak kepada para kuli tambang Tiongkok. Menurut Akhmad Elvian dalam Kampoeng di Bangka Jilid I, ketika wabah penyakit bermunculan seperti demam Bangka, disentri, cacar, dan kolera, praktis para pekerja bergantung pada Tsen On Ngie.  

Tsen On Ngie juga membangun Lo Ngin Buk atau panti jompo untuk para kuli tambang Tionghoa yang sudah tua. Pada 1934 pemerintah memusatkan Lo Ngin Buk di Pangkalpinang dan kemudian menyerahkannya kepada bruder-bruder Budi Mulia. Orang-orang Pangkalpinang di kemudian hari menyebut panti jompo tersebut dengan istilah Lo Ngin Buk.

Majalah Pater Damiaan, April 1966, membahas mengenai misi Katolik di Bangka dan peran Tsen On Ngie.

Mengisi Kekosongan

Penempatan seorang pastor tak serta merta memudahkan perkembangan Katolik di Bangka. Menurut Vriens, pada masa pelayanan Langenhoff, ada sekitar 176 orang Tionghoa dan 235 orang Belanda Katolik yang tersebar di seluruh stasi di sekitar Bangka.  

Kondisinya pun tak baik-baik amat. Hanya sedikit orang Katolik Belanda yang masih menjalankan kewajiban sebagai Katolik. Sementara orang Katolik Tionghoa kebanyakan kuli tambang, tidak berpendidikan, dan miskin.

Belum lagi umat Katolik Tionghoa tak tinggal menetap dan masih berharap kembali ke tanah air mereka. Beberapa tak bisa kawin karena sedikitnya perempuan Tionghoa. Beberapa lainnya kawin dengan perempuan setempat, yang menimbulkan masalah baru. Banyak anak “yatim-piatu” mesti dirawat oleh Gereja atau diperebutkan karena, setelah ibunya meninggal dunia, dititipkan kepada perempuan Melayu yang muslim.  

Kendati demikian, pencapaian misi di Bangka tetap perlu disyukuri, dengan segala kekurangannya. “Pekerjaan misionaris di kalangan orang Tionghoa berhasil, tapi tidak menciptakan kelompok permanen,” catat majalah misi untuk remaja Pater Damiaan, April 1966.  

Bagi penduduk lokal, agama Katolik juga tak menarik karena stereotipe bahwa Katolik adalah agama kuli atau agama “singkek”. Wajar saja karena Katolik tumbuh di lingkungan para pekerja timah dari Tiongkok.

Ketika mulai sakit-sakitan, Langenhoff mencari cara untuk mendatangkan pastor baru ke Bangka. Upayanya tak membuahkan hasil. Kesulitan bertambah setelah Langenhoff cuti sakit dan kemudian pergi ke Eropa tahun 1867. Bangka tak memiliki pastor yang merawat jemaatnya dengan jumlah sekira 500 orang, kebanyakan pria dewasa. Langenhoff, catat majalah Pater Damiaan, “telah membangun tiga gereja, dua sekolah, sebuah panti asuhan dan sebuah panti jompo untuk para lansia Tionghoa yang tak dapat lagi kembali ke Tiongkok.”

Di masa kekosongan itulah Tsen On Ngie yang sudah tua memainkan peranan penting. Sekitar lima tahun menunggu kedatangan imam, dia berusaha mengukuhkan iman dan persaudaraan antarjemaat dalam kesatuan doa dan pengajaran.

Harapan Tsen On Ngie yang menanti-nantikan pastor baru terkabulkan dengan kedatangan Pater Y. de Vries SJ. Namun, keinginannya untuk menerima sakramen terakhir tak terwujud.

Pada 14 September 1871, sehari sebelum kedatangan pastor baru, Tsen On Ngie meninggal dunia. Keesokan harinya Pastor Vries mengadakan Misa Kudus bagi pewarta saleh penoreh iman di tanah Bangka.

Tsen On Ngie dikenang sebagai penyebar Katolik pertama di Bangka. Makamnya, yang dipindahkan dari Sungaiselan ke Pemakaman Sentosa di Pangkalpinang, ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, kerap ramai didatangi oleh para peziarah.*

Penulis adalah mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
665f04e2fe9cfa358958b03c