Presiden Sukarno melantik Kabinet Dwikora yang Disempurnakan pada 24 Februari 1966. (30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 3).
Aa
Aa
Aa
Aa
HARI Jumat, 11 Maret 1966, Presiden Sukarno mestinya memimpin rapat Kabinet Dwikora II atau Kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Namun, sejak pagi, para demonstran telah menutup jalan menuju Istana Negara, tempat para menteri akan bersidang. Mereka menolak karena Sukarno masih menyertakan menteri-menteri yang dicurigai terlibat Gerakan 30 September 1965.
“Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana,” tutur Soebandrio dalam Soebandrio: Kesaksianku tentang G30S. Saat itu, Soebandrio menjabat Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I
Menurut Soebandrio aksi mahasiswa itu tidak dilakukan sendiri. Ada pasukan liar yang ikut menunggangi. Mereka mengenakan seragam loreng dan bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Pasukan liar ini bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil menteri peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil digembosi.
HARI Jumat, 11 Maret 1966, Presiden Sukarno mestinya memimpin rapat Kabinet Dwikora II atau Kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Namun, sejak pagi, para demonstran telah menutup jalan menuju Istana Negara, tempat para menteri akan bersidang. Mereka menolak karena Sukarno masih menyertakan menteri-menteri yang dicurigai terlibat Gerakan 30 September 1965.
“Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana,” tutur Soebandrio dalam Soebandrio: Kesaksianku tentang G30S. Saat itu, Soebandrio menjabat Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I
Menurut Soebandrio aksi mahasiswa itu tidak dilakukan sendiri. Ada pasukan liar yang ikut menunggangi. Mereka mengenakan seragam loreng dan bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Pasukan liar ini bersama mahasiswa menyebar di jalanan yang akan dilewati oleh mobil menteri peserta sidang. Begitu melihat mobil menteri mereka langsung mencegat. Ban mobil digembosi.
“Istana pun dikepung sedemikian rupa. Pasukan tanpa tanda pengenal itu berhadap-hadapan dengan pasukan Tjakrabirawa dalam jarak dekat,” kata Soebandrio.
Pistol Masuk Istana
Kendati dalam tekanan, sidang kabinet tetap dapat terselenggara. Sebagian menteri sudah diinapkan sehari sebelumnya di guest house Istana. Sebut saja beberapa di antaranya seperti Ir. Setiadi (Menteri Urusan Listrik), Sutomo (Menteri Perburuhan), Armunanto (Menteri Perhubungan), Mayjen TNI Soemarno Sostroatmodjo (Menteri Dalam Negeri merangkap Gubernur Jakarta), dan Soebandrio.
Waperdam III Chaerul Saleh berangkat dari rumahnya. Dia minta didampingi oleh A.M. Hanafi, Duta Besar Republik Indonesia untuk Kuba, yang kebetulan sedang di Jakarta. Keduanya kawan lama sejak zaman perjuangan kemerdekaan dalam kelompok pemuda Menteng 31.
“Sidang kabinet hari ini penting sekali… der op of der onder (menang atau kalah),” ujar Chaerul kepada Hanafi. “Mungkin kau tidak akan bisa kembali ke Kuba lagi.”
Suasana mencekam terekam dalam amatan Hanafi setiba di Istana. Sesampainya di beranda, tampak Mayjen TNI Moersjid (Wakil Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan) baru datang. Keduanya adalah kawan seperjuangan waktu pertempuran Karawang-Bekasi tahun 1946. Dari kejauhan, Moersjid melempar senyum lebar ke arah Hanafi.
Saat berpapasan, Hanafi segera menjabat tangan Moersjid. Setelah berjabatan tangan, Hanafi sempat usil dengan menepuk pinggang Moersjid yang sudah mulai tambun itu. Moersjid tersenyum lagi tapi agak masam karena Hanafi mendapati sesuatu dari “tepokan” itu.
“Terasa padaku, bahwa tersembunyi dalam uniform itu ada tersisip pistol kaliber 38-special, dua buah, di kiri dan di kanan,” kenang Hanafi dalam A.M. Hanafi Menggugat.
Hanafi kemudian membuntuti Chaerul Saleh menemui Soebandrio yang masih di kamarnya dengan Soemarno. Mereka mendapati Soemarno sedang berpakaian. Di saat yang sama, Soemarno sedang mengeluarkan pistolnya dari bawah bantal. Pistol jenis F-32 itu disisipkannya dalam kemeja.
“Apakah semua menteri-menteri bersenjata hari ini?” tanya Hanafi sambil lalu.
“Kita tidak tahu berhadapan dengan siapa, Bung,” jawab Soemarno serius.
Jenderal Pembawa Supersemar
Rapat kabinet dimulai pukul 10.00 pagi. Lebih dari 100 menteri hadir di Istana. Semua panglima angkatan bersenjata turut serta kecuali Menteri Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Soeharto yang absen karena alasan sakit flu.
Menurut sejarawan Lambert Giebels dalam rapat kabinet itu akan dibicarakan tindakan-tindakan konkret apa yang bisa diambil melawan aksi-aksi mahasiswa dan pelajar yang berkelanjutan. Sekira 20 menit Sukarno berpidato, Komandan Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden, Brigjen Moh. Sabur menyela sembari menyodorkan secarik kertas. Dari situ tersurat rumor pasukan liar tanpa identitas di sekitar Istana sampai kepada Sukarno.
Terpantik rasa panik, Sukarno memutuskan menskors sidang kabinet. Palu pimpinan sidang diserahkan kepada Waperdam II Johannes Leimena. Sukarno kemudian menyelamatkan diri ke Istana Bogor. Kepergian Sukarno diiringi Soebandrio dan Chaerul Saleh.
“Semua berlangsung begitu cepat sehingga Soebandrio tidak sempat memakai sepatunya yang dia tinggalkan di bawah meja,” catat Giebels dalam Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno.
Menjelang siang, Leimena mengumumkan sidang kabinet selesai. Dalam perjalanan keluar, di dekat tangga barat Istana, empat orang jenderal bertemu membicarakan perkembangan situasi yang terjadi. Keempat orang jenderal tersebut, Mayjen TNI Basuki Rachmat (Menteri Urusan Veteran), Brigjen TNI M. Jusuf (Menteri Perdagangan), Brigjen TNI Amirmachmud (Panglima Kodam V Djaja), dan Mayjen TNI Moersjid.
“Kecuali Moersjid, tiga jenderal setuju ajakan Jusuf untuk secepatnya ke Bogor, menyusul Bung Karno. (Mereka) berusaha menjelaskan kepada presiden bahwa Angkatan Darat sama sekali tidak punya niat meninggalkan Bung Karno,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang.
Sebelum berangkat ke Bogor, Basuki, Amir, dan Jusuf mampir dulu ke kawasan Menteng. Mereka sowan ke rumah Soeharto untuk melaporkan niatan mereka. Ketiga jenderal ini pada malam harinya pulang dari Bogor membawa Surat Perintah 11 Maret 1966 atau dikenal dengan Supersemar. Melalui surat sakti itulah terjadi peralihan kekuasaan dari Sukarno kepada Soeharto.
Kelak, di masa Orde Baru berkuasa, ketiga jenderal pembawa Supersemar itu menduduki jabatan penting. Basuki Rachmat menjabat Menteri Dalam Negeri (1966–1969) dan kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Amirmachmud menjabat Menteri Dalam Negeri selama tiga periode (1969–1982). M. Jusuf menjadi Panglima ABRI periode 1978–1973.
Sementara itu, Moersjid yang enggan bergabung dan setia kepada Sukarno, dipenjara rezim Orde Baru selama empat tahun (1969–1973) tanpa proses pengadilan.*