Soeharto di Tengah Perang Dingin

Buku baru tentang bagaimana Presiden Soeharto memainkan peta politik internasional dan regional guna meraih sekaligus mempertahankan kekuasaannya.

OLEH:
Virdika Rizky Utama
.
Soeharto di Tengah Perang DinginSoeharto di Tengah Perang Dingin
cover caption
Presiden Soeharto mendampingi Presiden Filipina Corazon C. Aquino melakukan inspeksi barisan kehormatan di Lapangan Terbang Halim Perdanakusumah, Jakarta, 25 Agustus 1986. (ANRI).

BAGI seorang dengan ketertarikan studi terkait sejarah dan politik Asia Tenggara, sudah barang tentu mengetahui Soeharto. Sebagai presiden kedua Indonesia, ia masyhur karena sikap tangan besi dan laku korupsi, di samping label dirinya sebagai Bapak Pembangunan. 

Sebelum pecah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), nama Soeharto belum banyak dikenal publik. Pasca kejadian tersebut, barulah ia mulai masuk dalam percaturan politik nasional. Hal ini tidak terlepas dari manuvernya di sekitar kejadian yang menewaskan enam jenderal dan satu perwira, di mana Soeharto memegang jabatan vital sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).

Tentu sosok Soeharto yang tiba-tiba muncul menggantikan Sukarno di tengah gejolak perpolitikan dan ekonomi, mengundang banyak akademisi menulis tentang dirinya. Teranyar, Mattias Fibiger, seorang peneliti hubungan internasional dan ekonomi-politik dari Harvard Business School, menjabarkan analisis mendalam bagaimana Soeharto memainkan peta politik internasional, guna meraih sekaligus mempertahankan kekuasaannya dalam buku berjudul Suharto’s Cold War: Indonesia, Southeast Asia, and the World.

BAGI seorang dengan ketertarikan studi terkait sejarah dan politik Asia Tenggara, sudah barang tentu mengetahui Soeharto. Sebagai presiden kedua Indonesia, ia masyhur karena sikap tangan besi dan laku korupsi, di samping label dirinya sebagai Bapak Pembangunan. 

Sebelum pecah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), nama Soeharto belum banyak dikenal publik. Pasca kejadian tersebut, barulah ia mulai masuk dalam percaturan politik nasional. Hal ini tidak terlepas dari manuvernya di sekitar kejadian yang menewaskan enam jenderal dan satu perwira, di mana Soeharto memegang jabatan vital sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).

Tentu sosok Soeharto yang tiba-tiba muncul menggantikan Sukarno di tengah gejolak perpolitikan dan ekonomi, mengundang banyak akademisi menulis tentang dirinya. Teranyar, Mattias Fibiger, seorang peneliti hubungan internasional dan ekonomi-politik dari Harvard Business School, menjabarkan analisis mendalam bagaimana Soeharto memainkan peta politik internasional, guna meraih sekaligus mempertahankan kekuasaannya dalam buku berjudul Suharto’s Cold War: Indonesia, Southeast Asia, and the World.

Fibiger membuka bukunya dengan eksposisi kondisi politik domestik Indonesia yang terbelah pada masa awal kemerdekaan dan hubungannya ke Perang Dingin. Kala itu, Sukarno dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di satu sisi menjalin hubungan erat dengan Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok. Di sisi berlawanan terdapat militer Indonesia yang menjaga hubungan dengan Amerika Serikat (AS). Bahkan, bantuan militer AS ke Indonesia melonjak tiga kali lipat mencapai US$15 juta dalam kurun waktu 1958–1959 (hlm. 36).

Sebelum pecah gerakan kudeta G30S, politik internasional Indonesia condong ke Blok Timur yang berisikan negara-negara komunis. Selain itu, perkembangan PKI dengan basis massa paling besar di luar negeri-negeri komunis, membuat khawatir Blok Barat yang dimotori AS, sehingga memberikan perhatian ke perpolitikan Indonesia.

Soeharto dengan dukungan AS akhirnya memulai aksi kudeta melalui G30S. Tidak sampai dua tahun pasca peristiwa itu, ia berhasil meraih kekuasaan sekaligus menuduh PKI sebagai dalang di balik upaya kudeta. Berkelindan dengan adanya tuduhan terhadap orang-orang komunis, Soeharto turut menyusun langkah sistematis untuk melakukan pemusnahan kepada simpatisan PKI dan pendukung Sukarno. Akibat penumpasan tersebut diperkirakan korban terbunuh antara 500 ribu sampai 3 juta orang (Roosa, 2006).

Langkah di atas diiringi dengan strategi Soeharto untuk meraih dukungan internasional, membuka komunikasi erat serta meminta bantuan kepada AS, Inggris, dan Australia –poros Barat. Guna meyakinkan mereka, ia membentuk poros antikomunis di Asia Tenggara, yang menjadi pijakan penting terciptanya ASEAN.

Fibiger dalam bukunya secara detail memaparkan adanya lobi yang dilakukan oleh Soeharto, Adam Malik, dan Ali Moertopo untuk membujuk pemimpin negara-negara Asia Tenggara bergabung dalam ASEAN. Bahkan, komunikasi guna pembentukan organisasi tersebut serta melakukan normalisasi hubungan Indonesia dan Malaysia, sudah berlangsung sejak pertengahan 1965. Baru pada Mei 1966 rencana normalisasi hubungan tersebut dijalankan oleh Ali Moertopo. Itu merupakan upaya dari Indonesia untuk mendapatkan bantuan dana luar negeri dengan alasan untuk membuat kedamaian dari pengaruh komunisme Tiongkok di Asia Tenggara (hlm.76). 

Konsolidasi negara-negara kawasan Asia Tenggara untuk menghalau komunisme juga pernah dicatat oleh Frank Mount. Dalam bukunya Wrestling With Asia: A Memoir (2012), ia menuliskan kisahnya sebagai salah seorang agen yang terlibat dalam pembangunan jaringan antikomunisme di kawasan tersebut. 

Frank mencatat pertama kali melakukan perjalanan ke Asia Tenggara pada 1967. Kala itu, dia berkeliling ke beberapa tempat, seperti Manila, Saigon, Phnom Penh, Bangkok, Songkhla, Penang, Kuala Lumpur, dan lain-lain. Ia tidak berkeliling dengan tangan kosong, namun membawa konsepsi soal konsolidasi regional Asia Tenggara yang berpijak pada ide Bob Santamaria terkait “Komunitas Pasifik”.

Bob Santamaria merupakan orang yang bertanggung jawab atas perjalanan Frank berkeliling Asia. Bob merupakan pendiri National Civic Council (NCC), dan Frank adalah anggotanya. Organisasi tersebut berfokus untuk menghalau penyebaran paham komunisme. Gerakan ini tidak hanya berpusat di negara keduanya, yaitu Australia, namun menyebar ke sekitar kawasan dengan memberikan bantuan sesuai kebutuhan kelompok-kelompok antikomunis di setiap negara. 

Selain konsolidasi internasional di tingkat regional Asia Tenggara, Soeharto turut mencangkokkan doktrin “Hankamrata” ke negara-negara kawasan Asia Tenggara untuk menangkal ancaman dari dalam dan luar negeri, utamanya komunisme. Sebab, Adam Malik meyakini bahwa ancaman di Asia Tenggara bukan agresi terbuka, melainkan subversi dan infiltrasi. Doktrin Hankamrata dikembangkan pertama kali oleh Soeharto dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Baru setelahnya disebarkan secara masif oleh Ali Moertopo dan Adam Malik lewat pertemuan-pertemuan dengan Filipina, Malaysia, dan Singapura (hlm. 130–147).

Seiring dengan pembangunan jaringan internasional, Soeharto melakukan perubahan dengan menjadikan ekonomi sebagai panglima. Ini berbanding terbalik dengan Sukarno yang menjadikan politik sebagai panglima. Perubahan tersebut dimaksudkan Soeharto untuk menarik kepercayaan rakyat, bahwa dirinya dan ABRI mampu meningkatkan kesejahteraan mereka.

Presiden Soeharto menerima kunjungan Pembangunan Belanda/Ketua Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI) di Jakarta, 24 Februari 1987. (ANRI).

Di awal kepemimpinannya, Soeharto menghadapi situasi ekonomi yang sulit. Inflasi mencapai 650 persen menyebabkan rakyat hidup dalam kemiskinan. Melihat hal ini, ia mulai menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) sebagai pondasi utama pembangunan ekonomi Indonesia. 

Namun, kondisi keuangan negara yang tak mendukung untuk melakukan pembangunan, membuat Soeharto meminta bantuan dana dari institusi perekonomian global. Akibatnya, lembaga donor internasional, seperti Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI), Paris Club, International Monetary Fund (IMF), dan Bank Dunia akhirnya menjadi donatur sekaligus menuntut liberalisasi ekonomi dan reformasi struktural sebagai arah perekonomian Indonesia.

Melalui IGGI dan Paris Club, Soeharto memperoleh dana untuk menjalankan Repelita dan membangun ekonomi Indonesia (hlm.165). IGGI dibentuk pada 1967 dengan tujuan memberikan dukungan finansial kepada Indonesia. Selain itu, Soeharto juga memanfaatkan Paris Club, sebuah grup informal negara-negara kreditur guna menghadapi masalah pembayaran utang luar negeri Indonesia. Dengan mengajukan program reformasi ekonomi dan fiskal kepada IMF, ia dapat melakukan negosiasi dengan Paris Club untuk merestrukturisasi utang. Hal ini memungkinkan Soeharto memperoleh dana untuk pembangunan ekonomi, sekaligus menghadapi tantangan dan tekanan yang datang dengan dana tersebut.

Fibiger mengaitkan peranan IGGI dan Paris Club dalam konteks Perang Dingin, dan bagaimana Soeharto memanfaatkan institusi-institusi tersebut. Ini memperjelas bagaimana Soeharto mampu memanfaatkan modal internasional untuk mendukung rezimnya, serta menjadikan Perang Dingin sebagai penghubung antara rezim Orde Baru dan modal internasional. Pada titik ini kita dapat melihat bagaimana kapitalisme global dan Soeharto saling membutuhkan. 

Apa yang dibahas oleh Matthias Fibiger terkait Soeharto dan perannya di masa Perang Dingin tetap relevan hingga saat ini.

Namun, strategi Perang Dingin Soeharto tak selamanya berjalan mulus. Salah satu tantangannya datang dari upaya pemulihan hubungan AS dengan Tiongkok dan Uni Soviet di era Presiden Nixon. Hal ini sempat membuat Soeharto kebingungan, karena kedua negara itu merupakan negara komunis yang wajib dimusuhi. Tak hanya itu, pada periode tersebut juga mulai meningkat tuntutan hak asasi manusia internasional terhadap rezim diktator. Soeharto berusaha menjawab tuntutan komunitas hak asasi manusia internasional terkait tahanan politik (tapol) yang dilakukannya pasca kudeta 1966.

Akhir 1970-an memperlihatkan fase terakhir Perang Dingin Soeharto, di mana ia dihadapkan pada serangkaian tantangan baru. Selain upaya Nixon membuka hubungan dengan Tiongkok dan Uni Soviet, terjadi pula Third Indochina War antara Tiongkok dan Vietnam, serta berakhirnya dominasi Portugis di Timor Timur. Tantangan-tantangan ini membuat Soeharto tidak lagi dapat menggunakan komunisme sebagai dalih.

Di tengah hadirnya serangkaian fenomena di atas, muncul pula gerakan Islam transnasional.  Gelombang perubahan politik ini awalnya tercetus di negara-negara Islam seperti Iran, Libya, dan Arab Saudi. Perkembangan gerakan tersebut membuat Soeharto khawatir adanya pemberontakan di dalam negeri. Sehingga membuat dirinya menjadikan Islam sebagai musuh. Keyakinan ini diperkuat oleh pernyataan Jusuf Wanandi, pemimpin Centre for Strategic and International Studies (CSIS) –sebuah think tank pemerintahan Soeharto– bahwa tantangan dan ancaman dalam sepuluh tahun ke depan bukanlah komunisme, melainkan Islam (hlm. 166).

Dapat dilihat Soeharto bukan hanya produk dari sistem internasional, melainkan juga merupakan agen perubahan dalam sistem tersebut. Dalam hal ini, rezim Soeharto, yang dibangun dan dipertahankan selama era Perang Dingin, memainkan peran penting dalam pembentukan keseimbangan kekuasaan di kawasan Asia Tenggara serta respons regional terhadap ancaman komunisme.

Suharto’s Cold War: Indonesia, Southeast Asia, and the World karya Mattias Fibiger (Oxford University Press, Juni 2023, hlm. 357).

Apa yang dibahas oleh Matthias Fibiger terkait Soeharto dan perannya di masa Perang Dingin tetap relevan hingga saat ini, meskipun hal itu telah berakhir beberapa dekade yang lalu. Alasannya, dampak dari Perang Dingin telah membentuk kontur geopolitik dan geostrategis modern, serta masih membekas pula dalam berbagai aspek politik, ekonomi, dan sosial di banyak negara, termasuk Indonesia.

Geopolitik kontemporer, walaupun tidak lagi didominasi oleh konflik bipolar antara Amerika Serikat dan Uni Soviet seperti pada era Perang Dingin, masih dipengaruhi oleh dinamika kekuatan besar. Kini, persaingan global utamanya terjadi antara AS dan Tiongkok, keduanya berusaha mempengaruhi negara-negara di seluruh dunia.

Indonesia, sebagai negara yang berada di antara dua kekuatan besar –Tiongkok dan AS– dan negara penting di ASEAN, memainkan peran strategis dalam keseimbangan kekuatan di kawasan ini. Kedudukannya mempengaruhi bagaimana negara ini berinteraksi dengan kekuatan besar dan mengatur kebijakan luar negerinya.

Maka, buku Fibiger memberikan wawasan berharga tentang bagaimana sejarah Perang Dingin dan pengaruhnya terhadap politik dan ekonomi Indonesia dapat membantu kita memahami dinamika geopolitik saat ini. Meski konflik dan konteksnya berubah, pola dan strategi yang dipakai dalam menghadapi tekanan internasional, serta menavigasi geopolitik seringkali memiliki akar sejarah mendalam. Sekaligus, Fibiger juga menawarkan perspektif baru dan juga dapat melengkapi buku Richard Robison, Indonesia: The Rise of Capital (1986). Di bukunya, ia berfokus bahwa tentara pada masa pemerintahan Soeharto berperan sebagai pengaman modal.

Namun, kelemahan dari buku Fibiger terletak pada penelitian dan analisisnya mengenai data dan kondisi dalam negeri Indonesia. Ini mungkin disebabkan karena penulis berfokus pada hubungan internasional, tetapi sebagai hasilnya, gambaran yang disajikan tentang kondisi dalam negeri menjadi kurang lengkap dan memadai. Terlebih, pembaca yang mengharapkan perspektif baru dan orisinal terkait kondisi dalam negeri di era Soeharto mungkin akan kecewa, karena buku ini tidak menawarkan banyak hal baru dibanding buku-buku lain oleh penulis Indonesia terdahulu.

Fibiger tampaknya kurang memfokuskan pada latar belakang sosio-politik Indonesia, termasuk dinamika kekuasaan, hubungan antara elite politik dan interaksi pemerintah dengan masyarakat. Buku yang ia tulis kekurangan data terbaru, terutama saat membahas aspek nasional Indonesia. Padahal, dalam hubungan internasional, analisis harus mempertimbangkan tiga level: nasional, regional, dan global. Meskipun bukunya menyoroti hubungan luar negeri Indonesia, tapi ia kurang menekankan pada peristiwa penting seperti aneksasi Timor Leste dan situasi di tahun 1980-an. Banyak pendapatnya hanya mengulang riset sebelumnya tanpa memberikan analisis dan perspektif baru. Oleh karena itu, diperlukan data yang lebih baru dan mendalam untuk analisis yang lebih lengkap.

Secara keseluruhan, buku Fibiger ini adalah sumbangan penting bagi studi hubungan internasional dan peran Indonesia dalam Perang Dingin, serta bagaimana kapitalisme global bekerja. Namun, penulis masih perlu memperkaya diskusi dengan data dan analisis yang lebih mendalam tentang kondisi dalam negeri Indonesia selama era Soeharto. Dengan begitu, buku ini tidak hanya dapat menjadi sumber rujukan berharga bagi peneliti hubungan internasional, tetapi juga bagi mereka yang tertarik dalam studi sejarah dan politik domestik Indonesia.*

Penulis adalah peneliti PARA Syndicate dan mahasiswa Ilmu Politik Pascasarjana Shanghai Jiao Tong University

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6530ae56f931cb171347934e