Presiden Soeharto menerima M. Jusuf dan Amirmachmud dalam acara rekonstruksi Supersemar tahun 1976. (Repro Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit).
Aa
Aa
Aa
Aa
DITANDATANGANINYA Supersemar pada 11 Maret 1966 tak berdiri sebagai peristiwa tunggal. Rentetan peristiwa beberapa hari sebelumnya mendukung teori “kudeta merangkak” yang dilancarkan oleh klik Letjen TNI Soeharto.
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, sejak 9 Maret 1966 Sukarno telah didesak untuk menyerahkan kekuasaan. Dua pengusaha yang dekat dengan Bung Karno, yakni Dasaad dan Hasjim Ning, datang ke Istana Bogor. Kedua pengusaha yang diutus oleh Alamsyah Ratu Perwiranegara itu membawa surat dari Soeharto. Isinya, Sukarno diminta menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Soeharto. Peristiwa ini diakui Hasjim Ning dan Alamsyah dalam biografi masing-masing.
“Kedua pengusaha itu dirusuh meminta atau membujuk Presiden Sukarno untuk menyerahkan pemerintahan sehari-hari kepada Soeharto. Sukarno tetap menjadi presiden, tetapi kekuasaan pemerintahan sehari-hari itu dipegang atau diserahkan kepada Soeharto,” kata Asvi dalam Dialog Sejarah “Supersemar, Supersamar: Kontroversi Arsip Surat Peralihan Kekuasaan Sukarno ke Soeharto,” Jumat, 12 Maret 2021 di Youtube dan FacebookHistoria.ID.
DITANDATANGANINYA Supersemar pada 11 Maret 1966 tak berdiri sebagai peristiwa tunggal. Rentetan peristiwa beberapa hari sebelumnya mendukung teori “kudeta merangkak” yang dilancarkan oleh klik Letjen TNI Soeharto.
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam, sejak 9 Maret 1966 Sukarno telah didesak untuk menyerahkan kekuasaan. Dua pengusaha yang dekat dengan Bung Karno, yakni Dasaad dan Hasjim Ning, datang ke Istana Bogor. Kedua pengusaha yang diutus oleh Alamsyah Ratu Perwiranegara itu membawa surat dari Soeharto. Isinya, Sukarno diminta menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Soeharto. Peristiwa ini diakui Hasjim Ning dan Alamsyah dalam biografi masing-masing.
“Kedua pengusaha itu dirusuh meminta atau membujuk Presiden Sukarno untuk menyerahkan pemerintahan sehari-hari kepada Soeharto. Sukarno tetap menjadi presiden, tetapi kekuasaan pemerintahan sehari-hari itu dipegang atau diserahkan kepada Soeharto,” kata Asvi dalam Dialog Sejarah “Supersemar, Supersamar: Kontroversi Arsip Surat Peralihan Kekuasaan Sukarno ke Soeharto,” Jumat, 12 Maret 2021 di Youtube dan FacebookHistoria.ID.
Sukarno tentu saja marah. Dia bahkan melemparkan asbak kepada Hasjim Ning. “Apa kamu disuruh Soeharto datang ke sini?” kata Sukarno pada Hasjim Ning sebagaimana dikutip A.A. Navis dalam Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning.
Upaya kali itu tak berhasil sehingga langkah yang lebih keras pun dijalankan. Massa digerakkan untuk berdemo di depan Istana Merdeka pada 11 Maret 1966. Massa bukan hanya dipenuhi oleh mahasiswa, melainkan juga pasukan Kostrad yang dipimpin Kemal Idris.
“Penempatan pasukan Sarwo Edhie Wibowo tanpa inisial itu dimulai akhir Februari atau awal bulan Maret 1966. Tujuannya adalah melakukan penangkapan tehadap Subandrio. Ketika Kabinet 100 Menteri bersidang, pasukan yang kami tempati mengelilingi Istana mengawasi mereka,” kata Kemal Idris, komandan yang menempatkan pasukan RPKAD (kini Kopassus) tanpa identitas itu, dalam otobiografinya, Bertarung Dalam Revolusi.
Desakan demo membuat Sukarno menghentikan rapat dan pergi ke Istana Bogor menggunakan helikopter bersama Soebandrio dan Chaerul Saleh. Tiga jenderal yang turut dalam rapat bersama Sukarno, yakni Basuki Rachmat, Amirmachmud, dan M. Jusuf kemudian menemui Soeharto di rumahnya, Jalan Agus Salim.
Soeharto kala itu tak hadir rapat dengan alasan sakit. Ketiga jenderal yang bertamu padanya itu kemudian diutus Soeharto ke Istana Bogor menemui Sukarno. Sekembalinya dari Istana Bogor, mereka membawa Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk Soeharto.
Satu hal yang menjadi perhatian Asvi adalah bagaimana Soeharto menggambarkan peristiwa penyerahan itu. Pada 1970, peristiwa penyerahan Supersemar itu hendak dibuat dioramanya di dalam Monumen Nasional (Monas). Rekonstruksi ulang pun dilakukan di rumah Soeharto. Rekonstruksi dilakukan oleh Soeharto dan dihadiri Amirmachmud, M. Jusuf, sejarawan Nugroho Notosusanto, dan pematung Edhi Sunarso yang diminta menggarap diorama itu. Basuki Rahmat tak hadir karena sudah meninggal.
“Mereka itu sebenarnya ingin melakukan rekonstruksi di sana, tetapi yang terjadi itu adalah diskusi,” ungkap Asvi.
Alih-alih merekonstruksi peristiwa berdasarkan fakta kejadian sesungguhnya, mereka malah berdiskusi mengenai bagaimana sebaiknya peristiwa itu digambarkan. Jika Soeharto digambarkan berseragam lengkap dengan bintang empat, dia akan terlihat sebagai atasan ketiga jenderal tersebut. Akhirnya, dia digambarkan sedang terbaring sakit dan terlihat lemah. Jadi, jelas Asvi, yang cukup penting dalam rekayasa peristiwa itu adalah bahwa Soeharto digambarkan sangat pasif dan tak terkesan menginginkan kekuasaan.
“Dia diam, dia pasif, dan ketiga orang jenderal itu yang mengambil prakarsa untuk ke Istana Bogor. Jadi inilah penggambaran yang harus dibuat oleh Edhi Sunarso. Dan inilah yang dilakukan oleh Edhi Sunarso dengan membuat diorama ini di Monas,” terang Asvi.
Diorama yang rencananya dipasang pada 11 Maret 1970 itu belakangan tertunda akibat banjir besar di Jakarta. Monas terendam.
“Nah, ketika itu ada rumor yang mengatakan mungkin Bung Karno marah. Sehingga terjadi banjir yang menimpa Monas dan pemasangannya tertunda satu minggu,” kata Asvi.
Pada 1997, menjelang kejatuhan Soeharto, Edhi Sunarso diminta lagi untuk membuat diorama penyerahan Supersemar untuk Museum Pancasila Sakti. Namun, kali ini dia tidak didikte dan memiliki kebebasan dalam membuat diorama. Edhi tidak membuat adegan peristiwa penyerahan Supersemar kepada Soeharto, melainkan penyerahan Supersemar dari Sukarno kepada tiga jenderal.
“Sukarno yang menyerahkan Supersemar itu kepada tiga orang di sebelah kiri, yaitu Basuki Rachmat, Amirmachmud, dan Jusuf. Sedangkan di sebelah kanan, itu tiga orang Waperdam: Soebandrio, Chaerul Saleh, dan Leimena,” sambung Asvi.
Dalam diorama tahun 1997 itu ada pula Hartini yang duduk di samping Sukarno. Meski belum diketahui kecocokan diorama ini dengan peristiwa tersebut, Edhi Sunarso, pematung kesayangan Sukarno, berusaha menampilkan ketokohan Sukarno dalam peristiwa itu.
Kasus dua diorama berbeda ini, jelas Asvi, menunjukkan bahwa sejarah peristiwa 11 Maret 1966 sengaja dibuat sedemikian rupa dengan tujuan tertentu. Diorama penyerahan Supersemar di Monas dibuat dengan rekayasa Soeharto, sedangkan diorama penyerahan Supersemar di Museum Pancasila Sakti dibuat Edhi Sunarso dengan lebih bebas tanpa pesanan.*