Spesialis Pencabut Nyawa

Dibentuk sebagai alat pemukul dan mesin pembunuh, Korps Pasukan Khusus (KST) Belanda melakukan aksi-aksi brutal.

OLEH:
Hendi Jo
.
Spesialis Pencabut NyawaSpesialis Pencabut Nyawa
cover caption
Patroli KST di Tasikmalaya (gehetna.nl).

PERTEMPURAN tak seimbang di Wajo, Sulawesi Selatan, berakhir dengan kekalahan Tentara Republik Indonesia (TRI, kini TNI). Sejumlah prajurit tewas. Sebagian lagi terluka, termasuk Kapten Andi Abubakar Lambogo, komandan Batalyon I Resimen III Divisi Hasanuddin. Namun, alih-alih menghormati hukum perang dengan mengobati pemimpin pasukan musuh, pasukan Korps Speciale Troepen (KST) memenggal kepala Kapten Andi dan membawanya ke Pasar Enrengkang.

“Mereka mempertontonkan kepala Kapten Andi di tengah pasar untuk melemahkan semangat perjuangan pemuda setempat,” ujar Maulwi Saelan, eks pejuang Sulawesi Selatan.

PERTEMPURAN tak seimbang di Wajo, Sulawesi Selatan, berakhir dengan kekalahan Tentara Republik Indonesia (TRI, kini TNI). Sejumlah prajurit tewas. Sebagian lagi terluka, termasuk Kapten Andi Abubakar Lambogo, komandan Batalyon I Resimen III Divisi Hasanuddin. Namun, alih-alih menghormati hukum perang dengan mengobati pemimpin pasukan musuh, pasukan Korps Speciale Troepen (KST) memenggal kepala Kapten Andi dan membawanya ke Pasar Enrengkang.

“Mereka mempertontonkan kepala Kapten Andi di tengah pasar untuk melemahkan semangat perjuangan pemuda setempat,” ujar Maulwi Saelan, eks pejuang Sulawesi Selatan.

Beranggotakan prajurit-prajurit pilihan dari berbagai etnis, pasukan Baret Hijau (para komando) dan Baret Merah (lintas udara) itu dikenal ganas dalam aksi-aksinya. Dengan dingin, mereka membunuh siapa pun yang dianggap sebagai musuh Belanda. Kapten J.H.C. Ulrici, salah seorang komandan KST dari Kompi Eric, menyatakan bahwa KST pantang membawa tawanan dari suatu operasi.

“Kami memburu mereka memang khusus untuk dibunuh,” ujar Ulrici saat diwawancarai Haagse Post, Agustus 1965.

Kapten J.H.C. Ulrici. (gahetna.nl).

Berbagai sumber sejarah menyebut KST sebagai kesatuan militer Belanda yang paling banyak menghabisi nyawa orang Indonesia, militer maupun sipil. “Mereka seolah tak terpisahkan dari figur Kapten R.P.P. Westerling, seorang yang selalu bangga dengan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya,” ujar Gert Oostindie, sejarawan militer Belanda.

Pembenaran Westerling bukan hanya didasarkan pada efektivitas dan proporsionalitas yang diperkirakannya, namun juga sebagai jawaban atas tindak kekerasan dari musuh. “Saya membunuh para pembunuh yang telah melakukan kekejaman dan tentu saja saya tak membunuh orang yang tidak bersalah,” ujar Westerling, dikutip Oostindie dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945–1950

Pernyataan Westerling diamini Ulrici. Dia menyebut, aksi-aksi KST merupakan suatu kewajaran dalam situasi perang. “Saya pikir kami cukup logis. Misalkan Anda menemukan seseorang yang telah membunuh kawan Anda dengan memotong alat kelaminnya lalu memasukannya ke mulut jasad kawan Anda tersebut, apakah Anda akan mengajaknya untuk minum kopi espreso? Tentu saja tidak!” ujar Ulrici dalam De Groene Amsterdammer, 16 Agustus 1995.

Selain di Sulawesi Selatan, KST dianggap bertanggung jawab atas sejumlah pembunuhan massal di berbagai tempat. Sejarawan Belanda Anne-Lot Hoek menyebut KST melakukan pembantaian ratusan (ada yang menyebut ribuan) di Rengat, Riau, pada 5 Januari 1949. 

Kapten R.P.P. Westerling. (nimh-beeldbank.defensie.nl).

Sebelumnya, KST juga melakukan aksi brutal di Jawa Barat. Dalam catatan A.H. Nasution, pada awal 1948, mereka membunuh 150 orang Indonesia di Tasikmalaya. “Itu juga ditambah dengan ratusan korban lainnya yang jatuh di Karawang dan Cirebon,” tulis Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid VII.

Di perbatasan Ciamis dan Tasikmalaya, pada 13 dan 16 April 1948, tanpa alasan yang jelas, para prajurit KST menghabisi sekitar sepuluh penduduk sipil dan membiarkan mayat mereka tergeletak di tengah jalan. 

Menurut sejarawan Batara Hutagalung, situasi ini sempat menjadi skandal karena diekspos Mayor R.F. Schill, komandan Yon 1-11-RI, yang muak terhadap perilaku prajurit KST. Schill melaporkannya kepada atasannya, Kolonel M.H.P.J. Paulissen. Bisa jadi karena laporan ini, beberapa saat kemudian, militer Belanda “memecat” Westerling dari dinas ketentaraan.*

Majalah Historia No. 33 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
648c732a95de028437c48658