Jungschlager sedang diperikas dalam sidang pengadilan subversi di Jakarta, 8 Maret 1956. (Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
WISMA Tamu IPB Landhuis di Jalan Tanjung No. 4 Kampus IPB Dramaga, Bogor, terlihat asri dan terawat. Pemilik landhuis (tanah milik bangsawan) itu adalah Gerrit Willem Casimir van Motman (1773–1821), tuan tanah pertama di kawasan Dramaga. Keturunannya mewarisi landhuis dan perkebunan yang luas di Jasinga dan Dramaga.
“Tuan tanah pamungkas dari perkebunan di Dramaga adalah Pieter Reinier van Motman sampai tahun 1958,” kata Hendra M. Astari, penggiat Komunitas Tapak Tilas Bogor.
Pada 6 Juli 1955, Hakim Maengkom dan Jaksa Tinggi R. Soenario meninjau rumah dan perkebunan milik Motman tersebut. Karena dari situ keluar-masuk senjata dan peluru, makanan, pakaian, dan lain-lain untuk kepentingan gerombolan bersenjata yang hendak melakukan aksi subversi terhadap pemerintahan Republik Indonesia.
WISMA Tamu IPB Landhuis di Jalan Tanjung No. 4 Kampus IPB Dramaga, Bogor, terlihat asri dan terawat. Pemilik landhuis (tanah milik bangsawan) itu adalah Gerrit Willem Casimir van Motman (1773–1821), tuan tanah pertama di kawasan Dramaga. Keturunannya mewarisi landhuis dan perkebunan yang luas di Jasinga dan Dramaga.
“Tuan tanah pamungkas dari perkebunan di Dramaga adalah Pieter Reinier van Motman sampai tahun 1958,” kata Hendra M. Astari, penggiat Komunitas Tapak Tilas Bogor.
Pada 6 Juli 1955, Hakim Maengkom dan Jaksa Tinggi R. Soenario meninjau rumah dan perkebunan milik Motman tersebut. Karena dari situ keluar-masuk senjata dan peluru, makanan, pakaian, dan lain-lain untuk kepentingan gerombolan bersenjata yang hendak melakukan aksi subversi terhadap pemerintahan Republik Indonesia.
Menurut R. Soenario dalam Proses Jungschlager, markas besar dari pergerakan gelap tersebut, yang bermula APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), kemudian menjadi NIGO (Nederlandsch Indische Guerilla Organisatie), berada di RO (rubber onderneming) atau perkebunan karet Dramaga, di bawah Motman sebagai administraturnya.
“Menurut Motman pemimpin organisasi NIGO adalah Jungschlager,” tulis Soenario. Pada waktu Bandung diserang APRA, terlihat kesibukan di Dramaga. Tentara Belanda datang dan pergi keluar-masuk, penjagaan diperketat dan lain-lain.
Jungschlager membantu Westerling dalam menyediakan dana yang digalang dari sejumlah perkebunan di Jawa Barat. Selain itu, menurut Petrik Matanasi dalam Westerling, Kudeta yang Gagal, keterlibatan Jungschlager dalam gerakan Westerling setidaknya menjadi penghubung antara gerakan Westerling dengan perusahaan besar milik Belanda, seperti BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) dan KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschappij). Setelah APRA bubar pasca serangan di Bandung, sisa-sisa pendukung APRA kemudian bergabung dengan organisasi NIGO.
Leon Nicolaas Hubert Jungschlager lahir di Maastricht (Limburg), Belanda. Pada 1924, dia datang ke Indonesia sebagai juru mudi kelas IV pada Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) atau Perusahaan Pelayaran Kerajaan Belanda. Usai menjalani pendidikan di Koninklijk Marine (Angkatan Laut Belanda) di Surabaya selama sembilan bulan, dia diperbantukan sebagai perwira cadangan pada Marine Luchtvaart Dienst (MLD) atau Dinas Penerbangan Angkatan Laut Belanda pada 1927.
Pada 1930 Jungschlager menjadi juru mudi kelas I KPM di Makassar dan pada 1934 di Surabaya. Dia kemudian cuti ke Belanda selama 15 bulan dan kembali ke Indonesia pada 1936. Setahun kemudian Jungschlager kembali lagi ke Belanda untuk membawa kapal baru KPM de Tegelberg ke Indonesia, yang tiba Maret 1938. Akhir 1941, dia bekerja pada MLD di Surabaya.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, Jungschlager menyingkir ke Australia pada Februari 1942. Setelah tinggal selama kurang lebih tujuh minggu, dia pergi ke Amerika bersama serombongan calon penerbang Angkatan Udara Hindia Belanda yang akan belajar. Pada 1944, dia meninggalkan Amerika dan ditempatkan pada skuadron Belanda di Darwin, Australia, selama enam minggu. Lalu dipindahkan ke skuadron pemburu 121 di Canberra. Dan pada April–Mei 1944 dipindahkan lagi ke Merauke, Irian Barat.
Tidak lama kemudian, pada Oktober 1944 sebagai Letnan Laut Kelas I, Jungschlager ditempatkan di NEFIS (Netherlands Forces Intelligence Service) atau Dinas Intelijen Belanda di Camp Columbia, Brisbane, Australia. Di KPM dia diangkat sebagai Chef Nautische Dienst pada Januari 1949.
Setelah penyerangan APRA di Bandung gagal, pada Februari 1950 Jungschlager mengadakan rapat gelap di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 33 Jakarta (kini Jl. Proklamasi No. 33), dengan Westerling, Da Lima, Nikijuluw, dan Dr. Soumokil.
Menurut Saleh A. Djamhari dalam Ichtisar Sedjarah Perdjuangan ABRI (1945–sekarang), rapat tersebut menghasilkan rencana antara lain memberikan bantuan kepada gerakan bawah tanah, mendirikan Republik Maluku Selatan, dan mengadakan hubungan dengan Kapten Andi Azis. Selain itu, Jungchlager juga menyuplai uang, senjata, mesiu dan perlengkapan militer lainnya melalui udara untuk membantu gerakan DI/TII Kartosoewirjo.
Pihak Kartosoewirjo membantah menerima bantuan dari Jungschlager. Pada 30 Januari 1954, Jungschlager ditangkap di Jakarta. Sebelum hakim memutuskan perkaranya pada 27 April 1956, Jungschlager keburu meninggal pada 19 April 1956. Tuntutan pidana terhadapnya pun dengan sendirinya gugur.*