Suara dari Rimba Raya

Radio Rimba Raya penyambung nyawa Republik di kala amunisi dan bambu runcing tak lagi sanggup memenangkan pertempuran. Perannya tak banyak tersingkap.

OLEH:
Martin Sitompul
.
Suara dari Rimba RayaSuara dari Rimba Raya
cover caption
Monumen Radio Rimba Raya di Kampung Rime Raya, Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah. (deadlineatjeh.com).

KUTARAJA, Banda Aceh, 19 Desember 1948. Sore itu, di markas Penerangan TRI Divisi X, Gubernur Militer Aceh Tengku Daud Beureuh menerima kawat kilat. Pesan telegram tertulis, “Kita telah diserang.” Tertera nama si pengirim pesan: Panglima Angkatan Perang Indonesia Letnan Jenderal TNI Soedirman. Belanda melancarkan Agresi Militer II.

Akibat agresi itu, ibukota Yogyakarta diduduki tentara Belanda. Sejumlah pemimpin Republik ditahan. Pusat pemerintahan Indonesia di Jawa lumpuh. Radio Belanda, baik Hilversum di negeri Belanda maupun jawatannya di Jakarta dan Medan, gencar memberitakan bahwa Republik Indonesia telah habis. Berita itu tersiar sampai ke Aceh, yang belum berhasil diduduki Belanda.

Daud Beureuh berinisiatif mengisi kekosongan siaran RRI Yogyakarta untuk melawan propaganda Belanda. Sebuah pemancar radio di Cot Gue, 8 km dari Kutaraja, dipindahkan ke Aceh Tengah, yang dipersiapkan agar bisa menjangkau luar negeri.

KUTARAJA, Banda Aceh, 19 Desember 1948. Sore itu, di markas Penerangan TRI Divisi X, Gubernur Militer Aceh Tengku Daud Beureuh menerima kawat kilat. Pesan telegram tertulis, “Kita telah diserang.” Tertera nama si pengirim pesan: Panglima Angkatan Perang Indonesia Letnan Jenderal TNI Soedirman. Belanda melancarkan Agresi Militer II.

Akibat agresi itu, ibukota Yogyakarta diduduki tentara Belanda. Sejumlah pemimpin Republik ditahan. Pusat pemerintahan Indonesia di Jawa lumpuh. Radio Belanda, baik Hilversum di negeri Belanda maupun jawatannya di Jakarta dan Medan, gencar memberitakan bahwa Republik Indonesia telah habis. Berita itu tersiar sampai ke Aceh, yang belum berhasil diduduki Belanda.

Daud Beureuh berinisiatif mengisi kekosongan siaran RRI Yogyakarta untuk melawan propaganda Belanda. Sebuah pemancar radio di Cot Gue, 8 km dari Kutaraja, dipindahkan ke Aceh Tengah, yang dipersiapkan agar bisa menjangkau luar negeri.

Menurut Teuku Alibasjah Talsya dalam Sekali Republiken Tetap Republiken, pada periode Agresi Militer Belanda II hingga masa pengakuan kedaulatan, radio itu merupakan satu-satunya corong pemerintah Republik ke luar negeri.

Talsya, kini berusia 90 tahun, adalah mantan wartawan Aceh Sinbun yang mendadak dimiliterisasi saat situasi genting itu. Berpangkat letnan dua, dia ditugaskan pada Komando Penerangan TRI Divisi X di Kutaraja untuk menghimpun dan menyusun berita. Dia mengirimkan materi berita itu ke Abdullah Arif, rekannya yang jadi pengelola radio, yang akan diberangkatkan ke Aceh Tengah. Radio itu dikenal sebagai Radio Rimba Raya.

Teuku Alibasjah Talsya, pelaku sejarah RadioRimba Raya. (Dok. Ikmal Gopi).

Dari Barang Selundupan

Radio Rimba Raya sebenarnya telah dipersiapkan jauh hari, bahkan sebelum Belanda melancarkan Agresi Militer I. Pada 2 Juli 1947, Komandan TRI Divisi X Kolonel Husein Yusuf mengeluarkan Keputusan No. 0083/CD yang menetapkan Komandan Batalyon B TRI Mayor Nip Xarim sebagai penanggungjawab untuk menyempurnakan peralatan perang Divisi X.

“Untuk itu, Kepala Administrasi dan Penyantun Divisi X, Mayor Usman Adamy, diperintahkan menyediakan bahan-bahan hasil bumi yang akan ditukar dengan peralatan dari luar negeri tersebut,” tulis Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia, Jilid III (1947).

Setelah hasil bumi tersedia, mulailah Nip Xarim berangkat ke Singapura. Singapura bukanlah tempat yang asing bagi Nip Xarim. Dia pernah melarikan diri ke Singapura ketika ayahnya, Abdul Xarim M.S. –seorang aktivis kiri penentang Belanda dan kelak berada di balik revolusi sosial di Sumatra Timur pada 1946– ditangkap Belanda menjelang kedatangan Jepang.

“Sewaktu badan intelijen tentara Jepang, Fujiwara, menduduki Penang dan mulai menyiarkan propaganda dari stasiun radio Penang, Nip Xarim bergabung dengan badan tersebut sebagai penyiar, berbicara dalam bahasa Inggris, Indonesia, dan Aceh, menyerukan pembebasan bangsanya,” tulis Takao Fusayama dalam A Japanese Memoir of Sumatera, 1945-1946: Love and Hatred in the Liberation War.

Ketika Divisi Pengawal Kekaisaran (Imperial Guard Division) mendarat di Sumatra setelah menaklukkan Singapura, Nip Xarim kembali ke Medan dan bekerja sebagai pegawai pemerintah militer Jepang. Setelah Jepang menyerah, dia membentuk Batalyon B yang bermarkas di Trepes, Sei Kerapoh, Deli Serdang.

Muhammad Tuk Wan Haria (TWH), 83 tahun, mantan wartawan senior kota Medan, mengisahkan perjalanan Nip Xarim mencari pemancar radio berdasarkan cerita yang didapatnya langsung dari Nip Xarim.

Nip Xarim membawa 25 ton getah karet ke Singapura (saat itu masih Malaya). Melalui seorang perempuan penghibur bernama Nancy Ho, yang ditemuinya di klub malam, Nip Xarim diperkenalkan dengan seorang perwira Angkatan Laut Inggris. Perkenalan itu berlanjut menjadi transaksi atas sebuah pemancar radio milik kapal Angkatan Laut Inggris berkekuatan 350 watt. Timbang-terima dilakukan di laut bebas. Dengan menembus blokade laut Belanda di Selat Malaka, Nip Xarim membawa pulang pemancar radio itu ke Aceh.  

Nip Xarim tak langsung menuju Bireun. Dia singgah di Langkat. Di sinilah dia menerima serdadu Sekutu dari divisi British Indian Army yang desersi dari Medan.

“Mereka membelot karena disuruh membom sebuah masjid di Jalan Serdang (sekarang Jalan Muh. Yamin),” kata Muhammad TWH kepada Historia.  

Para tentara Punjab itu bernama Abu Bakar, Candra, dan Margis. Turut pula seorang Inggris totok bernama John Edward yang kemudian ganti nama Abdullah Siregar. Nip Xarim membawa para “pembelot Sekutu” dan pemancar radio ke Bireun lalu menyerahkan kepada Kolonel Husein Yusuf.

Dari Bireun, pemancar radio itu dipindahkan ke Kutaraja. Pemasangan radio dilakukan W. Schultz, seorang peranakan Indo-Jerman. Schultz merupakan Kepala Stasiun Pos Telegram dan Telepon (PTT) Kutaraja yang telah vakum ketika Indonesia merdeka. Dia kemudian jadi kolega Kolonel Husein Yusuf.

Pemancar radio dipindahkan lagi ke Bireun ketika aktivitas pesawat tempur Belanda meningkat di Aceh Utara, termasuk Kutaraja. Sehari setelah Belanda melancarkan Agresi Militer II, Daud Beureuh memerintahkan untuk mengamankan radio Divisi X ke dataran tinggi pegunungan Gayo, Aceh Tengah. Kolonel Husein Yusuf mengerahkan pasukan untuk memindahkan seluruh perangkat radio ke Burni Bius, Takengon, 260 km dari Bireun.  

Di tengah perjalanan, pesawat Mustang Belanda mengejar iringan truk pengangkut pemancar radio. Rombongan pembawa radio kerap kalang-kabut menghindari tembakan dari udara. Mereka berkali-kali masuk hutan, berpencar dan bersembunyi. Demi keamanan pemancar dan keselamatan kru radio, tujuan ke Burni Bius dibatalkan. Diputuskan memasang pemancar radio di lahan hutan yang bernama Rimba Raya.  

Rimba Raya terletak di dekat desa Ronga-Ronga, Kecamatan Timang Gajah, 62 km dari Bireun. Kawasan Rimba Raya yang lebat oleh hutan tusam hampir tak tertembus matahari, bahkan di waktu siang.  

Menurut Kolonel (Purn) Syarifuddin –salah seorang penyiar Radio Rimba Raya– dalam Kompas, 23 November 1996, pemancar radio ditempatkan di dalam jurang. Antenanya dipasang di atas pohon. Kabel penghubung pemancar dengan antena ditanam dalam tanah supaya tak digerogoti binatang liar. Tiang antena tak terbuat dari besi melainkan kayu yang dirakit dengan sistem katrol. Ketika deru mesin Mustang Belanda terdengar, antena segera diturunkan, dinaikkan kembali saat keadaan aman. Pada 30 Januari 1948, Radio Rimba Raya mulai beroperasi.

Tokoh di balik Radio Rimba Raya.

Perang Radio

Selama mengudara, radio ini dipandu dalam enam bahasa: Indonesia, Inggris, Belanda, Arab, Tionghoa, dan Urdu (Hindustan). Tak hanya orang-orang Indonesia, sebagian penyiar Radio Rimba Raya adalah lintas negara. Beberapa di antaranya merupakan eks tentara Sekutu dari divisi British Indian Army yang telah berpihak ke kubu Republik.

Radio Rimba Raya melakukan kontak pertama dengan radio Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Suliki, Sumatra Barat. Radio PDRI mengalami keterbatasan daya pancar; hanya 40 watt untuk siaran dan 160 watt untuk telegrafi. Karena itulah penyaluran informasi harus estafet ke Rimba Raya. Melalui Radio Rimba Raya, Sjafruddin Prawiranegara selaku Presiden PDRI dapat mengumumkan perintah dan instruksinya kepada pejabat Republik di luar negeri maupun TRI yang bergerilya.

Calling signal yang digunakan dalam siaran Radio Rimba Raya tak hanya satu. Menurut Talsya dalam film dokumenter Radio Rimba Raya karya Ikmal Gopi, tujuannya untuk membingungkan Belanda. “Nama panggilan pemancar sengaja dibuat beragam agar mengesankan ada banyak pemancar radio di Aceh padahal cuma satu: Radio Rimba Raya,” katanya.  

Keberadaan Radio Rimba Raya memang terendus oleh Belanda. Namun, penyamaran pemancar radio yang sedemikian rupa menyulitkan usaha pencarian oleh pilot Belanda. Pihak Belanda frustrasi karena tak menemukan pemancar radio yang selalu menyiarkan pidato-pidato Sjafruddin Prawiranegara. Perang urat saraf pun dilancarkan.

Suatu kali radio Belanda meledek PDRI sebagai “Pemerintah Dalam Rimba Indonesia”. Sjafruddin memberi balasan yang tak kalah menohok. “Kami, meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah Republik Indonesia, karena itu kami pemerintah yang sah. Tapi Belanda pada waktu negerinya diduduki Jerman, pemerintahnya mengungsi ke Inggris,” kata Sjafruddin dikutip Ajip Rosidi dalam Sjafruddin Prawiranegara: Lebih Takut Kepada Allah SWT.

Dari Radio Rimba Raya pula kabar dari Indonesia mengudara ke mancanegara. Sejak Januari 1949, siaran Radio Rimba Raya tertangkap di berbagai belahan dunia: Rangoon, Malaya, Saigon, New Delhi, Manila, Australia, hingga sebagian Eropa. Dalam berbagai bahasa, penyiar Radio Rimba Raya memberitakan bahwa Republik Indonesia masih ada.  

India dan Australia adalah negara yang menaruh simpati terhadap Indonesia. Masing-masing radionya, All India Radio dan Australian Broadcasting Corporation, selalu memantau perkembangan di Indonesia melalui Radio Rimba Raya.

Pada 20 Januari 1949, Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru berinsiatif menggelar konferensi Asia untuk Indonesia. Beranggotakan 19 negara peserta, konferensi yang digelar di New Delhi itu menghasilkan resolusi: mendesak Belanda untuk berunding dan mengakui kedaulatan Indonesia. Resolusi itu diteruskan ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB meresponsnya dengan membentuk Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI).

Pemancar Radio Rimba Raya.

Berkat koneksitas Radio Rimba Raya dengan All India Radio, Duta Besar Indonesia untuk India Dr. Soedarsono tak pernah kekurangan informasi. Dia meneruskan setiap berita yang diterimanya ke Lambertus Nicolas Palar, perwakilan Indonesia di PBB.  

Ada kalanya Radio Rimba Raya menginformasikan berita fiktif demi menyudutkan Belanda di dunia internasional, sebagaimana digambarkan A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 10: Perang Gerilya Semesta II.

Pada 18 Februari 1949, Palar berkesempatan menguraikan keadaan di Indonesia di forum Dewan Keamanan PBB di Lake Succsess, Amerika Serikat. “Dalam laporan dari Sumatera dikatakan bahwa pasukan Republik telah memasuki beberapa daerah yang dulu diduduki Belanda. Kerugian Belanda ditaksir 1500 orang,” kata Palar. Dari Jakarta, radio Belanda kontan menyangkalnya: “Jumlah serdadu yang tewas kira-kira 300 orang, bukan 1500 orang, sebagaimana keterangan Tuan Palar.”

Penyiaran berita fiktif itu diakui Talsya. “Itu biasalah, kalau kita orang jurnalis melebih-lebihkan.”

Untuk memukul Belanda di kancah diplomasi, Radio Rimba Raya intensif menghimpun berita dari medan gerilya. Salah satu berita terpenting adalah keberhasilan tentara Republik menduduki Yogyakarta selama enam jam. Berita itu disiarkan secara beranting. Mulai dari radio gerilya di Playen, Wonosari, ke stasiun radio PDRI di Sumatra Barat. Radio PDRI meneruskannya ke Radio Rimba Raya. Dari Radio Rimba Raya ke Burma (kini Myanmar) lalu India. All India Radio terus me-relay berita ini yang perlahan mengubah opini dunia terhadap Indonesia.

Berita-berita yang tak kalah penting yang diteruskan Radio Rimba Raya ke luar negeri adalah seputar aksi kriminal yang dilakukan tentara Belanda. Berdasarkan pesan telegram yang diarsipkan Talsya, tertanggal 18 Maret 1949, Panglima Komando Jawa, Kolonel Abdul Haris Nasution berkirim kabar ke Radio Rimba Raya. Pesan kawat Nasution mengabarkan perampokan besar-besaran yang dilakukan tentara Belanda; penjarahan terhadap perusahaan jawatan RI di Yogyakarta dan mengangkutnya ke Semarang. Nasution berharap agar masalah ini diangkat ke forum internasional untuk mengakhiri pembegalan Belanda terhadap rakyat Yogyakarta.  

Pada 27 Maret 1949, Sjafruddin Prawiranegara mengirim kawat kepada Radio Rimba Raya perihal pembunuhan terhadap Menteri Pemuda dan Pembangunan Supeno. Pada 24 Februari, Supeno ditembak mati oleh tentara Belanda di Nganjuk. Sjafruddin dalam pesannya meminta agar kasus itu diusut oleh UNCI.  

Pada akhirnya, tekanan internasional tak bisa dielakkan lagi oleh Belanda. Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda menuju meja perundingan. Pada 14 April 1949, diadakan perundingan Roem-Royen. Republik bisa bernapas lebih lega, masa darurat mulai terlewati. Perundingan Roem-Royen menjadi jalan bagi Konferensi Meja Bundar, yang berujung pada pengakuan kedaulatan Indonesia.

Ikmal Gopi, sutradara film dokumenter Radio Rimba Raya. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Terlupakan

Setelah berjuang di Aceh, Radio Rimba Raya pensiun bersiaran. Kini pemancar radionya tersimpan di Museum TNI Yogyakarta. Bernomor inventaris 60.607.318, pemancar seukuran pintu itu terpajang di salah satu sudut museum. Tertera: “Pemancar hasil selundupan dari Malaya digunakan oleh pemerintah RI di Sumatera-Aceh 1948.”  

Menurut Ikmal Gopi, putra Aceh yang menyutradarai film dokumenter Radio Rimba Raya, sejarah Radio Rimba Raya harus dipelihara sebagai bagian dari memori kolektif bangsa. Sebab, lanjut Ikmal, dalam narasi sejarah resmi Indonesia, tak banyak disinggung mengenai peranan Radio Rimba Raya. Bahkan banyak orang Aceh tak mengetahuinya.  

“Selama ini, banyak kesimpangsiuran dari mulut ke mulut sehingga banyak yang meragukan keberadaan Radio Rimba Raya,” tutur Ikmal kepada Historia.*

Majalah Historia No. 28 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6785ce036501eb056673b677