Tempat menaruh sesaji di persawahan yang umum ditemui di Bali. (Risa Herdahita Putri/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
CUACA mendung. Langit mulai kelabu. Hawa di Jatiluwih, Tabanan, semakin dingin. Namun, turis-turis tak peduli, justru asyik berfoto. Mau bagaimana lagi, tempat ini terkenal. Sawahnya yang bertingkat-tingkat begitu menarik perhatian. Kalau bukan karena itu, ada subak, sebuah sistem irigasi kuno yang masih langgeng digunakan dan sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Sistem subak sudah tercatat dan berkembang sejak abad ke-11 pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu. Banyak prasasti abad ke-10 dan 11 M menyebut istilah seperti kasuwakan, yang artinya untuk mengatur distribusi air, dan beberapa aturan yang harus diikuti anggota subak.
Meski begitu, I Made Geria, kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), mengatakan bahwa konsep yang melatarinya sudah ada jauh sebelum masa itu.
CUACA mendung. Langit mulai kelabu. Hawa di Jatiluwih, Tabanan, semakin dingin. Namun, turis-turis tak peduli, justru asyik berfoto. Mau bagaimana lagi, tempat ini terkenal. Sawahnya yang bertingkat-tingkat begitu menarik perhatian. Kalau bukan karena itu, ada subak, sebuah sistem irigasi kuno yang masih langgeng digunakan dan sudah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Sistem subak sudah tercatat dan berkembang sejak abad ke-11 pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu. Banyak prasasti abad ke-10 dan 11 M menyebut istilah seperti kasuwakan, yang artinya untuk mengatur distribusi air, dan beberapa aturan yang harus diikuti anggota subak.
Meski begitu, I Made Geria, kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), mengatakan bahwa konsep yang melatarinya sudah ada jauh sebelum masa itu.
“Tanpa kita sadari nilai-nilai ini masih hidup di masyarakat. Aspek Hindu di Bali sekarang berbaur dengan tradisi yang jauh lebih tua. Makanya tinggalan megalitik selalu ada di pura. Dalam pengelolaan air di Jatiluwih (Tabanan), terdapat banyak unsur tradisi megalitik,” ujarnya.
Budaya megalitik di Indonesia diperkenalkan sejak masa neolitik masuk ke Nusantara. Austronesia diyakini memegang peranan penting dalam mengembangkan budaya itu.
Jejak Austronesia
Setelah ribuan tahun berlalu sejak tiba di Pulau Dewata, jejak kehadiran penutur Austronesia di Bali terkuak. Pada 1962, arkeolog R.P. Soejono menemukan fragmen tulang manusia, pecahan tembikar, dan cangkang kerang pada lapisan tanah yang terkena abrasi di Pantai Teluk Gilimanuk.
Hasil penelitian menunjukkan, pada suatu masa, kira-kira 2000 tahun lalu, kawasan pantai yang menghadap Teluk Gilimanuk ini telah menjadi tempat tinggal bagi sekelompok masyarakat. Mereka diyakini sebagai kelompok penutur Austronesia yang datang dari Asia Tenggara.
Dari temuan mata pancing dan pemberat jala, arkeolog senior I Made Sutaba menyebut, ini mengindikasikan penghuni Pantai Teluk Gilimanuk adalah nelayan yang memiliki keterampilan dan teknologi berlayar serta mencari ikan.
“Di sini kan fishing community, walaupun ada juga bukti pertanian tadah hujan,” ujarnya saat ditemui di Museum Gilimanuk, Jembrana, Bali.
Hingga kini, dari penggalian di Situs Gilimanuk, ditemukan lebih dari 150 rangka manusia. Anak-anak dan dewasa, perempuan dan laki-laki, utuh maupun berupa fragmen. Sejumlah sarkofagus dan benda-benda penyerta juga ditemukan. Selain itu, ditemukan benda-benda dari perungu maupun besi, yang berfungsi sebagai bekal kubur yang bersifat sakral atau peralatan untuk kehidupan sehari-hari. Temuan lainnya adalah tulang binatang seperti anjing, rusa, babi, dan unggas serta sisa-sisa moluska yang diduga sebagai sisa makanan.
Bukti temuan itu memperkuat dugaan bahwa Situs Gilimanuk adalah situs permukiman sekaligus penguburan (nekropolis) yang berasal dari masa akhir prasejarah.
Melalui karakteristik rangka yang ditemukan, diketahui pemukim Pantai Teluk Gilimanuk itu didominasi ras Mongoloid. Inilah yang mengindikasikan mereka merupakan kelompok penutur Austronesia. Temuan benda logam dan perunggu diduga memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dari Asia Tenggara. Contohnya adalah kapak persegi yang juga banyak ditemukan di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, dan Nusa Tenggara.
“Dengan begitu mereka membawa konsep Austronesia. Mereka juga sudah kenal kepercayaan nenek moyang,” ujar Sutaba.
Eksistensi Subak
Di Bali, para penutur Austronesia kemudian memperkenalkan sistem pertanian. Mereka pula yang membawa tanaman padi.
Sebelum sampai ke Bali, tanaman padi lebih dulu melalui perjalanan yang panjang. Saat mempresentasikan makalahnya dalam Seminar Internasional Diaspora Austronesia, Nyoman Wardi mengatakan padi dibawa dan disebarkan dari asalnya, lembah sungai Yangzi, pada 6500 SM ke Cina Selatan, Thailand Utara, dan Taiwan (4000–3000 SM). Persebaran ini kemudian berlanjut ke India dan Thailand tengah dan sebagian Asia Tenggara pada 2500 SM. Oleh penutur Austronesia, tanaman padi itu dibawa sampai ke Nusantara.
“Mereka menaklukkan samudera dan memperkenalkan sistem pertanian. Mereka ini pelaut ulung yang memperkenalkan pertanian,” ucap Harry Widianto, ahli paleontologi.
Dalam ritual masyarakat agrikultur di Bali, terdapat suatu ornamen, biasanya terbuat dari janur, yang disebut Cili. Cili merupakan simbol wajah Dewa Nini, yang merupakan Dewi Padi. Di Bali, kata ‘Nini’ adalah penyingkatan dari kata ‘Niyang’ atau Ni-Hyang. Kata itu berarti nenek.
“Kata ‘Nini’ berasal dari bahasa Bali kuno yang mendapat pengaruh dari bahasa Austronesia,” ujar I Nyoman Wardi, arkeolog Universitas Udayana.
Adapun konsep Dewa Nini sebenarnya merujuk pada hubungan manusia dengan leluhur. Kepercayaan ini sudah dikenal sejak masa penutur Austronesia datang ke Nusantara. Dengan masuknya pengaruh Hindu, sebutan Dewa dikombinasikan dengan kepercayaan yang sudah ada. Dewa Nini pun kini lebih popular disebut Dewi Sri atau Sri Laksmi Dewi.
Pada sistem subak, beberapa upacara menampilkan Cili, misalnya dalam upacara ngiseh. Upacara ini dilakukan saat padi mulai berbunga. Ada juga upacara ngusaba nini atau mantenin padi yang dilakukan ketika padi sudah menguning dan hampir dipanen.
Menurut I Made Geria, sebagaimana penutur Austronesia yang menyebar, tradisi itu juga ditemukan di tempat lain. Misanya di Karawang dengan tradisi ulu-ulu. “Tentu berbeda-beda kebertahanannya dengan bentuk lain yang disesuaikan dengan lingkungannya,” katanya.
Berkembang dari pertanian sederhana, seperti sawah tadah hujan yang dikelola manusia prasejarah Gilimanuk, orang Bali kini menganggap sawah sebagai “Holy Land” yang harus dijaga. Tak mengherankan jika di beberapa sudut persawahan di Bali ditemukan tempat persembahan kecil, semacam pengawas spiritual bagi para petani.
Wayan Windia, kepala Pusat Penelitian Subak, Universitas Udayana, mengatakan, sejauh ini sistem subak telah melindungi aktivitas agraris di Pulau Bali dengan seadil-adilnya. “Tak ada masalah di antara anggota subak. Mereka memahami bahwa petani hanya meminjam air dari alam untuk menumbuhkan padinya,” ujarnya ketika ditemui di Museum Subak, Bali.
Hari pun mendekati sore. Turis yang tadinya asyik berfoto berlarian mencari tempat berteduh. Langit yang awalnya mendung mulai menumpahkan hujan. Berkah bagi petani. Sawahnya teraliri.*