DALAM sejarah dinasti Jawa Mataram (abad XVI sampai sekarang) sudah diketahui ada beberapa perempuan yang memainkan peranan penting. Akan tetapi sumber-sumber sejarah yang masih ada jarang menjelaskan peranan mereka secara memuaskan. Babad-babad dan sumber-sumber lain lebih menekankan kegiatian para tokoh pria seperti pangeran, raja, kyai dan sebagainya. Namun demikian, di antara para perempuan berpengaruh yang paling menonjol dalam sejarah Mataram, Ratu Pakubuwana (lahir sekitar 1657; wafat 1732) merupakan tokoh yang kehidupannya dan pengaruhnya cukup jelas.
Ratu Pakubuwana keturunan kaum bangsawan Jawa yang tertinggi, kisahnya dimulai dari seorang anak Panembahan Senapati Ingalaga (bertakhta 1584–1601), raja yang meletakkan fondasi-fondasi kerajaan Mataram. Anak Panembahan Senopati itu bernama Pangeran Juminah atau Blitar. Anak, cucu, dan cicit Pangeran Blitar itu juga dinamakan Pangeran Blitar. Yang terakhir ini adalah ayah Ratu Pakubuwana. Selama hidupnya, seperti biasa di kalangan bangsawan Jawa, Ratu Pakubuwana diberi nama-nama yang berlainan. Nama yang paling lama dipakai adalah Ratu Mas Blitar, yaitu nama Blitar yang merupakan tradisi keturunannya.
Ratu Pakubuwana menikah dengan Pangeran Puger, yang pada 1704 memberontak terhadap Amangkurat III (bertakhta 1703–1708; wafat 1734). Puger melarikan diri ke Semarang, pusat Kompeni Belanda di pesisir Jawa. Kompeni mengakui dia sebagai Susuhunan Pakubuwana I (bertakhta 1704–1719) dan mengumpulkan kekuatan untuk menyerang keraton Kartasura. Sebelum penyerangan itu dapat dilaksanakan, pada 1705 Amangkurat III melarikan diri dari keratonnya ke Jawa Timur. Lalu Pakubuwana I bersama Ratu Pakubuwana masuk ke keraton yang ditinggalkan kosong itu. Akan tetapi ada isu yang cepat muncul: pusaka-pusaka kerajaan adalah barang-barang kebesaran bekekuatan gaib yang biasanya dianggap syarat mutlak sebelum seorang raja dianggap sah.