Presiden Sukarno di ruang kerjanya di Istana Merdeka, Jakarta, 1950. (IPPHOS/ANRI).
Aa
Aa
Aa
Aa
PADA 22 Agustus 1998, Soekardjo Wilardjito mendatangi kantor harian Bernas Yogyakarta. Maksudnya menanyakan alamat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang ada di Yogyakarta. Dia hendak menuntut dan mengurus hak pensiun dan tunjangan veteran istrinya serta rehabilitasi nama baiknya karena dituduh anggota Partai Komunis Indonesia.
Pihak Bernas menyarankan agar Soekardjo menyambangi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Soekardjo mengikuti saran itu.
Di LBH Yogyakarta, selain mengadukan nasibnya, Soekardjo mengaku sebagai bekas anggota pengawal Presiden Sukarno. Dia juga menceritakan peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar.
Menurutnya, empat jenderal, M. Panggabean, M. Jusuf, Basuki Rachmat, dan Amirmachmud pada 11 Maret 1966 sekira pukul 01.00 datang menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor untuk memintanya menandatangani surat dalam map warna merah jambu.
PADA 22 Agustus 1998, Soekardjo Wilardjito mendatangi kantor harian Bernas Yogyakarta. Maksudnya menanyakan alamat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang ada di Yogyakarta. Dia hendak menuntut dan mengurus hak pensiun dan tunjangan veteran istrinya serta rehabilitasi nama baiknya karena dituduh anggota Partai Komunis Indonesia.
Pihak Bernas menyarankan agar Soekardjo menyambangi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Soekardjo mengikuti saran itu.
Di LBH Yogyakarta, selain mengadukan nasibnya, Soekardjo mengaku sebagai bekas anggota pengawal Presiden Sukarno. Dia juga menceritakan peristiwa lahirnya Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar.
Menurutnya, empat jenderal, M. Panggabean, M. Jusuf, Basuki Rachmat, dan Amirmachmud pada 11 Maret 1966 sekira pukul 01.00 datang menghadap Presiden Sukarno di Istana Bogor untuk memintanya menandatangani surat dalam map warna merah jambu.
Saat M. Jusuf menyodorkan surat dalam map itu, M. Panggabean dan Basuki Rachmat mengeluarkan pistol FN 46 dari sarungnya dan dipegang dengan posisi laras ke arah bawah namun dalam keadaan sudah terkokang. Melihat situasi demikian, Soekardjo selaku anggota pengawal presiden yang sedang menggantikan ajudan presiden Komisaris Besar Polisi Sumirat juga mengeluarkan pistol FN 46 tetapi dicegah Sukarno.
Sukarno kemudian membuka map dan berkata, “Ini diktumnya kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan.” Mukanya terlihat memerah.
Basuki Rachmat menjawab, “Untuk mengubah waktunya sudah sempit.”
“Ya, sudah, kalau saya terpaksa menyerahkan mandat kepada Soeharto, tetapi kalau situasinya sudah kembali pulih, mandatnya kembalikan kepada saya,” kata Sukarno.
Sukarno menandatangani surat dalam map kemudian menyerahkan kembali kepada M. Jusuf.
Soekardjo mengaku melihat kejadian tersebut karena berada di belakang Sukarno dalam jarak sekitar tiga meter.
Dua hari setelah menyambangi LBH Yogyakarta, Soekardjo kembali mendatangi kantor harian Bernas dan memberi informasi mengenai peristiwa Supersemar. Pada 25 Agustus 1998 Bernas menurunkan kisah itu dengan judul “Saksi mata Supersemar buka rahasia Bung Karno ditodong saat teken Surat Perintah 11 Maret”. (Belakangan, tahun 2008, pengakuan Soekardjo dan perjalanan hidupnya dibukukan berjudul Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden). Menyusul kemudian Media Indonesia edisi Minggu, 30 Agustus 1998, memuat berita yang sama dengan judul “Pistol untuk Supersemar”.
Sontak, pengakuan Soekardjo menjadi santapan media dan menimbulkan polemik selama beberapa minggu.
Bantahan
Menurut Atmadji Sumarkidjo dalam biografi Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit, pernyataan Soekardjo menjadi diskusi dan wacana yang ramai di masyarakat selama beberapa minggu karena pengakuannya yang mengungkapkan tiga hal: penodongan dengan pistol yang belum pernah diungkapkan siapa pun, M. Jusuf membawa map yang berisi surat siap ditandatangani oleh Sukarno, dan M. Panggabean sebagai jenderal keempat yang tidak pernah terungkap sebelumnya.
M. Panggabean bereaksi cepat. Dia menyampaikan sanggahan di depan anggota redaksi dan wartawan harian ibukota dan Semarang pada 27 Agustus 1998. Dia bilang tak ikut menghadap Sukarno pada 11 Maret 1966 dini hari di Istana Bogor.
M. Jusuf, yang selama bertahun-tahun tidak mau berbicara soal Supersemar secara terbuka, juga terpaksa mengeluarkan pernyataan pers. M. Jusuf membantah bahwa M. Panggabean ikut ke Istana Bogor, tidak benar dirinya membawa map untuk disodorkan kepada Sukarno, dan tidak benar bahwa mereka meninggalkan Istana Bogor pada 01.00 dini hari, 12 Maret 1966.
“Setelah pada 4 September 1998, M. Jusuf mengeluarkan pernyataan pers yang membantah Soekardjo, polisi akhirnya bertindak. M. Jusuf dan M. Panggabean diperiksa polisi. Dari hasil pemeriksaan tersebut, polisi memeriksa Soekardjo sebagai tersangka menyebarkan kabar bohong,” tulis Atmadji.
Dia (Soekardjo, red.) itu omong kosong. Tidak ada nama dia dalam Tjakrabirawa.
Soekardjo dianggap membuat keresahan di masyarakat dan melanggar ketentuan pidana pasal XIV ayat 2 Undang-Undang No. 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Kasus Soekardjo disidangkan di Kejaksaan Tinggi Yogyakarta pada Oktober 2006. Jaksa/penuntut umum menyatakan bahwa Soekardjo bersalah melakukan tindak pidana “menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat” dan dituntut dengan penjara selama enam bulan.
Tuntutan tersebut tidak terbukti sehingga Pengadilan Negeri Yogyakarta membebaskan Soekardjo dalam putusan yang dibacakan pada 21 November 2006. Jaksa/penuntut umum tidak terima dengan putusan pengadilan, lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam putusan No. 800 K/Pid/2007 menolak permohonan kasasi karena putusan bebas tidak bisa dimintakan banding, dan pemohon kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan mengenai di mana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut.
Omong Kosong
Mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, Maulwi Saelan, mengatakan, “Dia (Soekardjo, red.) itu omong kosong. Tidak ada nama dia dalam Tjakrabirawa,” kata Maulwi kepada Historia.
Menurut Maulwi, ring satu Tjakrabirawa adalah Detasemen Kawal Pribadi dari Kepolisian yang dipimpin Komisaris Besar Polisi Mangil Martowidjojo, ring dua Corps Polisi Militer (CP), serta ring tiga dari infanteri Angkatan Darat, Korps Komando (Marinir) Angkatan Laut, dan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara. Selain itu, Soekardjo adalah anggota infanteri berpangkat letnan dua.
“Yang datang menghadap Sukarno hanya tiga orang, M. Jusuf, Basuki Rachmat, dan Amirmachmud,” ujar Maulwi. “KASAD M. Panggabean berada di Jakarta.”
Sejarawan Anhar Gonggong juga meragukan kisah Soekardjo. Menurutnya, tidak mungkin seorang prajurit Tjakrabirawa bisa mendekat ke ruangan tidur presiden.
Sejarawan Baskara T. Wardaya sependapat dengan Anhar, tetapi dengan alasan lain. Dalam Mencari Supriyadi Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno, Baskara menulis, sebelum 11 Maret 1966 sudah dikirim dua pengusaha yang dekat dengan Sukarno, yaitu Dasaad dan Hasjim Ning untuk membujuk Sukarno menyerahkan pemerintahan kepada Soeharto. Karena upaya itu tidak berhasil, dikirimkan tiga jenderal ke Bogor.
“Surat itu dikeluarkan memang dengan tekanan tetapi tidak perlu memakai pistol,” tulis Baskara. “Lagi pula waktu itu Bung Karno masih menjadi presiden, wibawanya belum hilang sama sekali, rasanya tidak ada jenderal yang berani menodongkan pistol kepada beliau.”
Soekardjo Wilardjito meninggal dunia pada 5 Maret 2013 di usia 86 tahun.*