Supaya Panglima Tertinggi Tak Celaka Lagi

Resimen Tjakrabirawa dibentuk setelah terjadinya percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno saat salat Iduladha. Sempat ditolak Sukarno.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Supaya Panglima Tertinggi Tak Celaka LagiSupaya Panglima Tertinggi Tak Celaka Lagi
cover caption
Kolonel CPM Maulwi Saelan (memakai baret), wakil komandan Resimen Tjakrabirawa, mengawal Presiden Sukarno dalam kunjungan kenegaraan ke Korea Utara. (Dok. Maulwi Saelan).

MAULWI Saelan, 87 tahun, kali pertama bertemu Presiden Sukarno pada 1958. Ketika itu, Sukarno mampir di Parepare, dalam perjalanannya dari Manado. Sebagai Wakil Komandan Batalion VII/CPM (Corps Polisi Militer) Makassar, Maulwi ditugaskan bertanggung jawab atas keamanan Sukarno selama di Parepare sampai Danau Tempe, tempat terakhir perjalanan kembali ke Jakarta.

Maulwi sangat terkesan dengan Sukarno. “Dia ramah dan perhatian kepada para pengawalnya,” kata Maulwi kepada Historia. Sementara itu, Sukarno sudah pula kenal Maulwi lewat penampilannya sebagai kiper sekaligus kapten timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne pada November 1956. Waktu itu timnas Indonesia berhasil menahan imbang Uni Soviet 0-0.

Setelah terjadinya percobaan pembunuhan terhadap Sukarno saat salat Iduladha pada 14 Mei 1962, Menko Hankam/KASAB Jenderal TNI A.H. Nasution mengusulkan pembentukan pasukan pengawal presiden dan keluarganya. Nasution meminta Letnan Kolonel CPM Moh. Sabur, ajudan presiden, untuk menyampaikan rencana itu kepada presiden. 

MAULWI Saelan, 87 tahun, kali pertama bertemu Presiden Sukarno pada 1958. Ketika itu, Sukarno mampir di Parepare, dalam perjalanannya dari Manado. Sebagai Wakil Komandan Batalion VII/CPM (Corps Polisi Militer) Makassar, Maulwi ditugaskan bertanggung jawab atas keamanan Sukarno selama di Parepare sampai Danau Tempe, tempat terakhir perjalanan kembali ke Jakarta.

Maulwi sangat terkesan dengan Sukarno. “Dia ramah dan perhatian kepada para pengawalnya,” kata Maulwi kepada Historia. Sementara itu, Sukarno sudah pula kenal Maulwi lewat penampilannya sebagai kiper sekaligus kapten timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne pada November 1956. Waktu itu timnas Indonesia berhasil menahan imbang Uni Soviet 0-0.

Setelah terjadinya percobaan pembunuhan terhadap Sukarno saat salat Iduladha pada 14 Mei 1962, Menko Hankam/KASAB Jenderal TNI A.H. Nasution mengusulkan pembentukan pasukan pengawal presiden dan keluarganya. Nasution meminta Letnan Kolonel CPM Moh. Sabur, ajudan presiden, untuk menyampaikan rencana itu kepada presiden. 

“Bur, saya kira itu tidak perlu,” tolak Sukarno. “Biarlah Mangil dan anak buahnya saja yang jumlahnya lebih kecil, sudah cukup untuk menjaga keamanan dan keselamatan saya dan keluarga.”

Beberapa waktu kemudian, Sabur kembali menghadap Sukarno. Kali itu dia membawa daftar calon komandan pasukan pengawal presiden. Ketiga perwira menengah tersebut berasal dari Angkatan Darat, yakni Kolonel CPM Sutardhio, Letnan Kolonel CPM Sabur, dan Mayor RPKAD Santoso. Sukarno memilih Sutardhio karena dia dan Komisaris Besar Polisi Sutarto selalu menjadi pimpinan keamanan ketika presiden melawat ke luar negeri. Namun, Sabur menyatakan kepada presiden bahwa Sutardhio masih sangat dibutuhkan oleh Angkatan Darat. 

“Bung Karno agak marah kepada Sabur. Bung Karno bertanya, kalau Sutardhio masih diperlukan Angkatan Darat, mengapa namanya diajukan sebagai calon komandan?” kata Mangil Martowidjojo dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945–1967. Sabur tidak dapat menjawabnya. Sukarno pun memutuskan memilih Sabur sebagai komandan. Wakilnya Kolonel CPM Maulwi Saelan.

“Saya termasuk yang ikut dipanggil dari Makassar untuk ikut menyiapkan pembentukan resimen tersebut, sekaligus ditunjuk sebagai kepala stafnya. Pertimbangan mengapa saya dipanggil, tidak dijelaskan,” kata Maulwi. 

Tentu saja pengalaman Maulwi dalam kemiliteran yang menjadi bahan pertimbangan. Maulwi pernah bertugas dalam Corps Infanteri, CPM, mengikuti pendidikan terjun payung di Batujajar, Bandung sehingga diangkat menjadi komandan Pomad Para pertama, kemudian Pomad Caduad Mandala/Trikora. Di samping itu, Maulwi juga mengikuti pendidikan Physical Security dan The Provost Marshal General’s School Associate Military Police Officer Advanced di Fort Gordon, Georgia, Amerika Serikat. 

“Karena tugas saya sebagai kepala staf Resimen Tjakrabirawa dan kemudian menjadi wakil komandan resimen tersebut, praktis setiap hari saya berhubungan dengan Bung Karno,” ujar Maulwi.

Komisaris Besar Polisi Mangil Martowidjojo (tengah), komandan Datasemen Kawal Pribadi Resimen Tjakrabirawa bersama anak buahnya. (Repro Kesaksian Tentang Bung Karno 1945–1967).

Resimen Tjakrabirawa

Untuk menyusun pasukan pengaman presiden, Sabur meminta satu batalion prajurit terbaik dari masing-masing angkatan (darat, laut, udara, dan kepolisian) untuk bertugas menjaga presiden. 

Sabur meminta Sukarno untuk menamai pasukan pengawal presiden. “Karena Bapak Presiden gemar melihat pertunjukan wayang kulit, nama pasukan pengawal presiden itu diberi nama Tjakrabirawa,” kata Mangil. Dalam lakon wayang purwa, Tjakrabirawa adalah senjata pamungkas milik Batara Kresna. 

Bertepatan dengan hari ulang tahunnya, 6 Juni 1962, Sukarno mengeluarkan Surat Keputusan No. 211/Pit/1962 tentang pembentukan Resimen Tjakrabirawa. Meskipun begitu, menurut Mangil, Tjakrabirawa baru diresmikan pada 6 Juni 1963 di Wina, Austria. “Dengan upacara kecil Sukarno menyerahkan tongkat komando dan baret merah tua kepada Sabur,” kata Mangil. 

Dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Sukarno menyebut pasukan Tjakrabirawa berkekuatan 3.000 orang yang berasal dari keempat angkatan bersenjata. Setiap anggota Tjakrabirawa berasal dari pasukan para yang andal. Umumnya mereka berlatar belakang pejuang gerilya yang menonjol. “Sebanyak 300 orang yang memiliki jenis darah sama denganku bertindak sebagai pengawal pribadi,” kata Sukarno. 

Menurut Mangil, susunan Resimen Tjakrabirawa meliputi, pertama, Batalion KK (Kawal Kehormatan), yang terdiri dari pasukan Raiders Angkatan Darat, Korps Komando (KKO) Angkatan Laut, Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara, dan Brigade Mobil (Brimob) Angkatan Kepolisian. 

Batalion I dan II KK bertugas di istana kepresidenan Jakarta; Batalion III dan IV menjaga Istana Bogor, Cipanas, Yogyakarta, dan Bali. Karena penugasan tersebut, markas Batalion I KK berada di Jalan Tanah Abang (kini markas Paspampres, Pasukan Pengawal Presiden) dan Batalion II menempati asrama Kwini (sekarang ditempati Marinir Angkatan Laut). 

Selain Batalion KK, Resimen Tjakrabirawa juga memiliki Detasemen Pengawalan Chusus (DPC), yang direkrut dari anggota CPM Angkatan Darat, bertugas mengamankan tempat kediaman presiden di mana saja presiden berada. Sedangkan untuk menjaga keselamatan pribadi presiden beserta keluarganya dipercayakan kepada Detasemen Kawal Pribadi (DKP) dari Kepolisian yang dipimpin oleh Komisaris Besar Polisi Mangil Martowidjojo. Sebagian besar dari anggota DKP sudah menjadi pengawal presiden sejak pemerintahan hijrah ke Yogyakarta pada 1946. 

Aku sendiri tidak takut akan keselamatan diriku, tetapi rakyatku yang selalu diliputi kekhawatiran.

Menurut Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang, Resimen Tjakrabirawa didukung pesawat angkut Lockheed C-140 Jet Star yang siaga di Halim Perdanakusumah; kapal KRI Varuna di pangkalan Komando Daerah Maritim III Tanjung Priok berikut satuan helikopter VVIP kepresidenan yang diterbangkan Angkatan Udara, meski secara operasional berada dalam komando Tjakrabirawa; sebuah Sikorsky S-61V pemberian Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy; sebuah Sikorsky S-58, dua Bell Jet Ranger berikut enam helikopter Agusta Bell-205 Iroquis. 

“Meski Tjakrabirawa memiliki sepuluh helikopter, namun hanya memiliki empat orang penerbang,” tulis Julius Pour. Yaitu Kolonel Udara Kardjono selaku komandan merangkap ajudan presiden, dibantu Kapten Udara Suhardono, Letnan I Udara Steven Adam, dan Letnan I Udara Achmad Ilham. Pangkalan Sikorsky S-61V di Istana Bogor, sementara sembilan helikopter lainnya disiagakan di Pangkalan Angkatan Udara Kemayoran. 

“Aku sendiri tidak takut akan keselamatan diriku, tetapi rakyatku yang selalu diliputi kekhawatiran,” demikian kesan Sukarno dijaga Tjakrabirawa. “Kalau aku tampil di suatu parade, mobilku yang terbuka itu memiliki tempat injakan khusus sehingga petugas keamanan bisa bergerak maju mundur untuk melindungi presiden. Kalau aku melakukan kunjungan kenegaraan, Tjakrabirawa menempatkan sejumlah orangnya di seberang jendela tempatku menginap. Bahkan ketika aku sedang berada di istana, dua orang senantiasa berada di dekatku, satu kompi menjaga sekeliling istana, yang lain lagi berjaga-jaga di luar kota.” 

“Dulu aku bisa keluar istana dengan diam-diam, kadang-kadang seorang diri. Sejak ada Tjakrabirawa hal ini tak mungkin lagi kulakukan,” kata Sukarno. “Satu-satunya yang tidak bisa dijaga oleh Tjakrabirawa adalah kesehatanku.”

Prosedur Pengamanan

Dalam tulisannya di majalah Tjakrabirawa, 5 Oktober 1962, Mayor Infantri A. Soedjanadi, Kasi II Resimen Tjakrabirawa, menyebutkan bahwa operasi pertama Resimen Tjakrabirawa adalah pengamanan Presiden Sukarno pada general rehearsal (gladi resik) pembukaan Asean Games IV pada 21 Juli 1962, yang menjadi landasan untuk operasi-operasi selanjutnya. 

“Untuk memberi sekadar gambaran mengenai operasi-operasi pengamanan dari Resimen Tjakrabirawa di luar kompleks istana, maka di sini dapat dijelaskan bahwa dalam hal itu kita berpedoman pada mobile parimeter defence (pengamanan keliling mobil) dengan suatu radius fictief 50 meter,” tulis Soedjanadi. 

Operasi-operasi pengamanan Resimen Tjakrabirawa dibagi menjadi tiga fase: pengamanan objek sebelum acara dimulai oleh tim clear advanceparty, pengamanan perjalanan oleh tim konvoi, dan pengamanan obyek selama acara berlangsung oleh tim-tim advance-party yang diperkuat. 

“Dalam pelaksanaan operasi-operasi pengamanan, kita tidak terlepas dari kerja sama dengan pasukan kawan misalnya kodam-kodam dan komisariat-komisariat kepolisian yang selalu memberi bantuan penuh,” tulis Soedjanadi. 

Menurut Maulwi, pelaksanaan tugas Resimen Tjakrabirawa berjalan baik dan lancar, baik pengawalan dan pengamanan presiden dan keluarganya di dalam negeri, maupun selama presiden melakukan lawatan ke luar negeri. “Banyak suka duka yang dialami tetapi lebih banyak sukanya,” kata Maulwi.

Presiden Sukarno memberikan duaja Resimen Tjakrabirawa kepada Kolonel CPM Moh. Sabur, Komandan Resimen Tjakrabirawa. (Repro Komando Tertinggi ABRI Resimen Tjakrabirawa).

Dibubarkan

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menjadi akhir sejarah Resimen Tjakrabirawa. Letnan Kolonel Untung, komandan Batalion I Tjakrabirawa, terlibat dalam gerakan tersebut. Rapat bersama keempat angkatan bersenjata mengeluarkan keputusan No. 6/3/1966 tanggal 22 Maret 1966, bahwa masing-masing angkatan menarik pasukannya dari Resimen Tjakrabirawa. 

Pada 28 Maret 1966, Komandan Resimen Tjakrabirawa Brigadir Jenderal Moh. Sabur menyerahkan pengamanan presiden kepada Direktur Polisi Militer Angkatan Darat, Brigadir Jenderal TNI Soedirgo. Selanjutnya, penjagaan istana kepresidenan di Jakarta, Bogor, Cipanas, Yogyakarta, dan Bali, digantikan Satgas Pomad di bawah pimpinan Kolonel CPM Norman Sasono. 

Detasemen Kawal Pribadi di bawah Komisaris Besar Polisi Mangil Martowidjojo masih diberi kesempatan mengawal presiden dan keluarganya, sampai tugas itu diserahkan kepada Satgas Pomad pada 9 Agustus 1967. 

Para pengawal dari DKP itu, kata Maulwi, mengalami tekanan batin ketika mengawal Sukarno di pengujung kekuasaannya. Tak jarang anggota Pomad AD membentak anggota DKP hanya karena dianggap melayani presiden secara berlebihan kendati sekadar menjalankan kewajiban saja. 

Tidak hanya dibubarkan, anggota Resimen Tjakrabirawa juga dijebloskan ke penjara oleh rezim Orde Baru. Maulwi ditahan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat selama empat tahun delapan bulan. Kemudian ditahan di Rumah Tahanan Nirbaya, Jakarta Timur selama setahun. 

Setelah lima tahun lebih dipenjara, Maulwi dipanggil ke kantor petugas militer. Dinyatakan bebas. Ditahan dan dilepas seenaknya. “Saya, Mursid (Mayjen TNI Mursid, mantan dubes Indonesia untuk Filipina, red.) dan beberapa kawan pengawal Bung Karno lainnya juga dibebaskan. Diantar pakai mobil pick up,” ujar Maulwi. 

Tak terima perlakuan semena-mena, begitu dibebaskan Maulwi sambangi markas CPM. “Saya tekan mereka. Saya tanya sama mereka saya ini komunis bukan? Apa saya ini terlibat G30S nggak? Mereka bilang nggak. Kalau begitu kasih saya surat keterangan kalau saya tak terlibat,” kata Maulwi yang kemudian mengelola pendidikan sebagai ketua Yayasan Syifa Budi di Kemang, Jakarta Selatan.*

Majalah Historia No. 14 Tahun II 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
652cef2426468dcc73276754