Bank keliling pertama BNI mengajarkan anak-anak Indonesia untuk menabung. (Dok. BNI).
Aa
Aa
Aa
Aa
INFLASI menjadi satu dari sekian masalah yang harus diselesaikan pemerintahan Orde Baru. Melalui berbagai upaya pengendalian moneter, pemerintah berhasil menurunkan angka inflasi. Namun tetap saja inflasi masih cukup tinggi. Salah satu sebabnya, besarnya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Untuk menekannya, pemerintah merangsang masyarakat untuk menyimpan uang di bank.
“Menabung bagi masyarakat masih belum menjadi budaya ataupun kebiasaan. Kalaupun dilakukan, masyarakat masih lebih suka menabung dalam bentuk barang perhiasan berharga seperti emas,” ujar Radius Prawiro dalam biografinya yang ditulis Patmono S.K. dkk.
Radius Prawiro, kala itu gubernur Bank Indonesia, membuat terobosan. Untuk menarik dana masyarakat bagi kegiatan pembangunan, Bank Indonesia meluncurkan Tabungan Berhadiah pada Februari 1969 yang dilaksanakan bank-bank pemerintah dan swasta.
INFLASI menjadi satu dari sekian masalah yang harus diselesaikan pemerintahan Orde Baru. Melalui berbagai upaya pengendalian moneter, pemerintah berhasil menurunkan angka inflasi. Namun tetap saja inflasi masih cukup tinggi. Salah satu sebabnya, besarnya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Untuk menekannya, pemerintah merangsang masyarakat untuk menyimpan uang di bank.
“Menabung bagi masyarakat masih belum menjadi budaya ataupun kebiasaan. Kalaupun dilakukan, masyarakat masih lebih suka menabung dalam bentuk barang perhiasan berharga seperti emas,” ujar Radius Prawiro dalam biografinya yang ditulis Patmono S.K. dkk.
Radius Prawiro, kala itu gubernur Bank Indonesia, membuat terobosan. Untuk menarik dana masyarakat bagi kegiatan pembangunan, Bank Indonesia meluncurkan Tabungan Berhadiah pada Februari 1969 yang dilaksanakan bank-bank pemerintah dan swasta.
Tabungan Berhadiah 1969 dijalankan setelah terbit Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 1/1-KEP.DIR tanggal 13 Januari 1969. Suku bunga per bulan yang ditawarkan: 1,75 persen untuk tabungan 3 bulan, 2,25 persen untuk tabungan 6 bulan, dan 2,75 persen untuk tabungan 12 bulan. “Hal ini dimaksudkan untuk memupuk hasrat menabung bagi golongan yang masyarakat berpenghasilan relatif rendah,” ujar Presiden Soeharto dalam lampiran pidatonya di depan Dewan Perwakilan Rakyat, 15 Agustus 1974, tentang pelaksanaan Repelita I.
Tak heran jika sejak diluncurkan, peminatnya meningkat; dari 36 penabung pada Maret 1969 menjadi 1.497 orang pada Juni 1971. Namun, begitu suku bunga diturunkan, terjadi pula penurunan jumlah penabung. Akhirnya, pada 1 Agustus 1971, pemerintah menghentikan program ini dan menggantikannya dengan Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas) dan Tabungan Asuransi Berjangka (Taska).
“Gerakan Tabanas ini mengandung unsur pendidikan oleh karena dimaksudkan untuk mendorong penghimpunan dana yang berasal dari masyarakat yang rendah penghasilannya untuk dapat dimanfaatkan bagi pembangunan,” ujar Soeharto.
Gerakan Menabung
Pada 13 Mei 1971, Radius Prawiro memimpin sebuah rapat yang dihadiri direktur sejumlah bank. Rapat menghasilkan pedoman pelaksanaan Tabanas dan Taska. Setelah pedoman dibuat, Radius Prawiro mengeluarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 4/8/KEP/DIR tanggal 15 Juli 1971 tentang penyelenggaraan Tabanas dan Taska.
Berbeda dari Tabungan Berhadiah 1969, Tabanas tak terikat jumlah dan jangka waktu penyetoran maupun pengambilan. Setoran pertama sebesar Rp50, dan setoran selanjutnya minimal Rp25. Pengambilan hanya boleh dilakukan dua kali sebulan, dengan sisa saldo tak boleh kurang dari Rp50. Suku bunga yang ditawarkan: 18 persen per tahun yang akan dibayarkan setiap tanggal 1 pada April, Juli, Oktober, dan Januari, kemudian disesuaikan dengan perkembangan ekonomi dan moneter.
Selain itu, penabung diiming-imingi hadiah dalam bentuk uang melalui undian. Menariknya lagi, Tabanas bisa dipakai sebagai jaminan untuk pinjaman bank, bunga tak dikenai pajak penghasilan, dan asal-usul tabungan bebas dari pengusutan misalnya untuk keperluan pajak.
Untuk menyukseskan program ini, pemerintah melibatkan Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Ekspor Impor (Eksim), Bank Negara Indonesia (BNI) 1946, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Tabungan Negara (BTN), serta bank swasta yang memenuhi syarat.
Tak mau mengulangi kegagalan program Tabungan Berhadiah 1969, kali ini pemerintah melakukan kampanye gerakan menabung melalui Tabanas dan Taska secara nasional. Kampanye dimulai pada 20 Agustus 1971.
Bentuk kampanyenya bermacam-macam. Mulai acara bincang-bincang di televisi nasional, konferensi pers, pidato kepala daerah yang disiarkan lewat radio swasta dan RRI, pemasangan spanduk, penyebaran poster, pemasangan iklan –termasuk memakai jasa bintang film Widyawati– hingga sayembara.
Pendapatan rakyat sekarang ini pada umumnya masih rendah, namun juga masih ada kok rakyat yang bisa menabung.
Para pejabat pemerintah pun mesti rajin tampil menyosialisasikan program ini. Pada 19 Agustus 1971, misalnya, Widjojo Nitisastro, ketua Bappenas, dan Radius Prawiro mengisi acara bincang-bincang di TVRI dengan tema ekonomi. Dalam acara itu, sebagaimana dikutip Kompas 23 Agustus 1971, Widjojo optimis terhadap suksesnya gerakan menabung. “Pendapatan rakyat sekarang ini pada umumnya masih rendah, namun juga masih ada kok rakyat yang bisa menabung,” ujarnya.
Kampanye juga dilakukan melalui sayembara mengarang bacaan anak. Hasilnya, terbit buku Tabanas Membawa Bahagia yang ditulis Jauhari Iskak pada 1977. Dalam buku ini Jauhari mengisahkan seorang anak yang gemar menabung mendapat undian berhadiah sehingga mendorong orangtuanya untuk menabung pula.
“Mari marilah, tua dan muda, menabung uang di Tabanas Taska…” pun bergema melalui radio-radio. Lagu “Mars Tabanas-Taska” yang diciptakan Adil Tampubolon, ikut menggelorakan semangat menabung.
Pada tahun pertama, hasilnya kurang menggembirakan. Hingga Oktober 1971 dana yang terkumpul melalui Tabanas mencapai Rp 1,334 milyar dengan jumlah penabung 218.226 orang. Peningkatan masih berjalan lamban. Terlebih, ketika laju inflasi turun, pemerintah beberapa kali menurunkan suku bunga Tabanas. Pada April 1973, misalnya, suku bunga Tabanas diturunkan menjadi 9% setahun untuk jumlah yang melebihi Rp. 100.000,00 sedangkan untuk deposito tabungan di bawah Rp 100.000,00 ditetapkan 15 % setahun.
Tak heran jika kenaikan jumlah penabung tidak signifikan. Sampai akhir Maret 1974, penabung Tabanas mencapai 3.010.760 orang dengan jumlah dana sebesar Rp 36.733 juta.
Dalam pidato kenegaraan di depan sidang Dewan Perwakilan Rakyat pada 15 Agustus 1974, Presiden Soeharto menyingung sedikit soal Tabanas. “Suatu bagian yang sangat penting dalam rangkaian langkah-langkah untuk mengendalikan kenaikan harga-harga adalah usaha untuk mengurangi kecepatan laju pertambahan jumlah uang yang beredar. Untuk itu suku bunga deposito berjangka serta Tabanas telah dinaikkan…,” ujarnya. “Dengan jalan demikian maka sebagian daripada uang yang berkeliaran dalam masyarakat dan dipergunakan untuk kegiatan spekulasi dapat ditarik untuk masuk dalam perbankan.”
Deregulasi Perbankan
Nugroho SBM, dosen Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, masih ingat ketika masih sekolah menengah pertama, dia ikut menabung. “Kedua produk tabungan tersebut bebas biaya administrasi dan sangat terjangkau bagi para pelajar karena saldo minimalnya sangat kecil sehingga para pelajar bisa menyisihkan sedikit uang sakunya untuk ditabung,” ujarnya kepada Historia.
Ketika lulus SMP dan duduk di bangku SMA, dia berniat menutup tabungannya karena dirasa saldonya kecil. Ketika mengambilnya, dia kaget melihat uangnya bertambah. “Tak seperti tabungan sekarang yang pasti kalau saldonya kecil dan tidak pernah diisi maka akan habis dipotong biaya administrasi.”
Satu dekade lebih Tabanas hadir, peningkatan terus terjadi kendati kurang maksimal. Pada akhir September 1986, dana terkumpul mencapai Rp 1.218,9 milyar dengan jumlah penabung 15,6 juta orang. Ini berarti, menurut Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 1987/1988, terjadi peningkatan 15,1 % bila dibandingkan akhir tahun anggaran 1985/1986.
Ketika menjadi calon pegawai muda Bank Indonesia tahun 1987, Dodi Budi Wahyu melakukan penelitian mengenai efektivitas Tabanas. Dia lalu menerbitkannya dengan judul Prosedur Penerimaan dan Pengambilan Tabanas dan Beberapa Permasalahan. Berdasarkan penelitiannya, ada beberapa masalah menghadang, terutama bagi bank penyelenggara. Dia menulis setoran awal sebesar Rp 50 dan sekurangnya Rp 25 untuk selanjutnya dinilai terlalu rendah. “Saldo setoran yang terlalu rendah tidak sebanding dengan overhead cost sehingga berakibat ketidakefisienan bagi bank penyelenggara Tabanas,” tulis Dodi.
Tak seperti tabungan sekarang yang pasti kalau saldonya kecil dan tidak pernah diisi maka akan habis dipotong biaya administrasi.
Dia juga menyoroti lambannya pelayanan karena minim petugas yang membuat nasabah enggan menyetorkan uang ke bank. Masalah lainnya, pembatasan dalam pengambilan Tabanas sebanyak dua kali sebulan dirasakan sebagian nasabah terlalu mengikat dan menyulitkan.
Pada 27 Oktober 1988, pemerintah mengambil kebijakan liberalisasi perbankan yang memungkinkan siapapun, hanya dengan modal Rp 10 milyar, mendirikan bank baru. Sontak jumlah bank bertambah, juga kantor cabang hingga jumlah dana yang dihimpun. Profesionalitas dan pelayanan bank pun menjadi lebih baik.
Pemerintah juga menyerahkan sepenuhnya penyelenggaraan Tabanas dan Taska kepada bank-bank pelaksana. Bank mendapat kebebasan untuk menetapkan sendiri syarat-syarat yang menguntungkan dan merangsang masyarakat berpenghasilan rendah untuk menabung tanpa jaminan, bantuan hadiah, maupun pengaturan Bank Indonesia. Meski begitu, pamor Tabanas dan Taska tampaknya berada di ujung tanduk. Terlebih semua bank diperkenankan mengembangkan berbagai jenis tabungan sendiri tanpa perlu persetujuan Bank Indonesia.
Hingga September 1988, tulis Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 1989/1990, jumlah tabungan perbankan yang berhasil dihimpun mencapai Rp 1.837,8 milyar. Dari jumlah itu Tabanas masih merupakan komponen tabungan terbesar, yaitu Rp 1.387,7 milyar atau 75,5 persen dari keseluruhan tabungan.
TabunganKu
Pada 1 Desember 1989, Bank Indonesia di bawah Gubernur Andrianus Mooy, mengeluarkan SK Direksi BI No 22/63/KEP/DIR. Isinya: mencabut sejumlah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia yang menjadi dasar dan terkait dengan penyelenggaraan Tabanas dan Taska. Dasar pertimbangannya: “untuk menunjang usaha pengerahan dana masyarakat diperlukan iklim yang memungkinkan bank-bank menciptakan produk tabungan dan meningkatkan pelayanan kepada penabung.”
Pada tanggal yang sama, Surat Edaran Bank Indonesia No. 22/133/UPG menyebutkan bahwa jaminan Bank Indonesia terhadap Tabanas dan Taska juga dicabut. Ini bukan berarti Tabanas dan Taska tamat. Surat Edaran itu menyebutkan bank-bank yang menjadi penyelenggara Tabanas dan Taska bisa menetapkan sendiri sistem administrasi hingga besarnya bunga. Bank-bank juga diperkenankan tetap menggunakan nama Tabanas dan Taska dengan menambahkan identitas bank yang bersangkutan.
Salah satu yang masih mempertahankannya adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan nama Tabanas BRI. Namun, kendati tabungan ini adalah produk terlama dan terluas jangkauannya, ia tak bisa berkompetisi dengan produk tabungan lain, dari jumlah dana yang bisa terhimpun maupun jumlah nasabahnya.
Hendrawan Tranggana, direktur BRI kala itu, menerangkan bahwa ketiga produk tabungan BRI yaitu Tabanas, Simpedes, dan Simaskot mengalami kenaikan. “Namun dari ketiga produk tersebut, perkembangan Tabanas BRI kurang menggembirakan dan untuk meningkatkan efisiensi, direksi telah memutuskan menghapus produk per Juli 2001,” ujarnya, dikutip Bisnis Indonesia, 11 Agustus 2001.
Setelah lama tenggelam, Tabanas seolah bangkit dari kubur. Pada 20 Februari 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan ”Gerakan Indonesia Menabung”. Yang menarik, menandai awal gerakan tersebut, Bank Indonesia bekerjasama dengan sejumlah bank umum, Bank Pembangunan Daerah, dan Bank Perkreditan Rakyat, meluncurkan produk TabunganKu dengan persyaratan yang mudah dan ringan. Tujuannya: meningkatkan budaya menabung. TabunganKu juga diciptakan karena masih banyak penduduk dewasa di Indonesia yang belum memiliki tabungan di bank dan belum ada produk tabungan yang bebas biaya administrasi.
Banyak orang kemudian mengaitkan TabunganKu dengan Tabanas. Bank Indonesia tentu saja menolak. Menurut Bank Indonesia, berbeda dari Tabanas yang dicanangkan pemerintah, TabunganKu merupakan produk bersama bank-bank Indonesia.
“TabunganKu ini berbeda dengan Tabanas atau Taska, baik dari segi program maupun publikasi. Setelah TabunganKu diluncurkan, juga terkesan adem-adem saja, tidak ada iklan yang gencar dari pemerintah,” ujar Nugroho SBM.
Nugroho juga menyebut beberapa kendala yang siap menghadang: lemahnya kesadaran masyarakat untuk menabung, kecilnya pendapatan masyarakat, dan sikap konsumtif dari masyarakat yang sebenarnya mampu menabung.