Kedai Kopi Es Tak Kie. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
DI jalan depan sebuah kedai kopi, orang tak henti berseliweran. Riuh. Maklum, letaknya nyempil di dalam pusat pertokoan di daerah Glodok, Jakarta Pusat. Kedai itu berada di Jalan Pintu Besar Selatan III. Namun orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Gang Gloria, merujuk pada nama gedung bioskop pada 1920-an: Gloria Bioscoop.
Kedai itu sederhana. Tak ada papan nama terpampang di depan kedai. Letaknya pun terhalang padatnya pedagang kaki lima. Jika Anda kurang teliti, sulit menemukannya. Memasukinya, bangku dan meja kayu jatinya langsung membawa kenangan pada suasana kedai-kedai kopi Tionghoa tempo dulu. Di sudut kiri belakang kedai, tempat para barista meracik kopi, barulah terlihat sebuah plang bertuliskan “Es Kopi Tak Kie”.
DI jalan depan sebuah kedai kopi, orang tak henti berseliweran. Riuh. Maklum, letaknya nyempil di dalam pusat pertokoan di daerah Glodok, Jakarta Pusat. Kedai itu berada di Jalan Pintu Besar Selatan III. Namun orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Gang Gloria, merujuk pada nama gedung bioskop pada 1920-an: Gloria Bioscoop.
Kedai itu sederhana. Tak ada papan nama terpampang di depan kedai. Letaknya pun terhalang padatnya pedagang kaki lima. Jika Anda kurang teliti, sulit menemukannya. Memasukinya, bangku dan meja kayu jatinya langsung membawa kenangan pada suasana kedai-kedai kopi Tionghoa tempo dulu. Di sudut kiri belakang kedai, tempat para barista meracik kopi, barulah terlihat sebuah plang bertuliskan “Es Kopi Tak Kie”.
“Dulu, di depan sempat ada plang namanya. Tapi di zaman Orde Baru, karena Presiden Soeharto melarang penggunaan nama berbau Tionghoa, lalu dicopot. Tahun 1971 buat plang baru, tapi dipasang di dalam. Karena kalau di luar, pajak reklamenya besar,” ujar Latif Yulus alias Ayauw, pemilik kedai berusia 63 tahun.
“Biar sederhana kedai ini sudah melintasi tiga zaman; Belanda, Jepang, dan era kemerdekaan.”
Usaha kedai kopi ini dirintis Liong Kwie Tjong, petani asal Kanton di Tiongkok Selatan yang merantau ke Batavia. Awalnya, pada 1927, dia menjual kopi dalam sebuah gerobak yang mangkal di sekitaran pasar Glodok. Dia memberi nama “Tak Kie”, yang berarti kedai kopi sederhana yang menyimpan kebijaksanaan dan mudah diingat orang. “Ya seperti kedainya, bahkan sampai saat ini, sederhana, apa adanya,” kata Yulus.
Lima tahun kemudian, karena ketekunannya, Kwei Tjong bisa membeli sebuah tempat di daerah Gang Gloria. Pada tahun itu pula, Liong Tjoen, ayah Yulus yang baru berusia 20 tahun, mengambil alih usaha. Saat itu, meski pengunjung hanya berasal dari sekitaran Glodok, kedai Tak Kie tak pernah sepi. Pada 1931, Liong Tjoen membeli tempat di sebelah kanan kedai, yang kemudian dijadikan satu. “Ya jadinya seperti sekarang,” kata Yulus.
Hingga kini, kenikmatan kopi Tak Kie sudah melegenda. Abang Erwin dalam buku Peta 100 Tempat Makan Legendaris menulis, “Tak Kie bukanlah nama orang Tionghoa tapi nama merek kopi. Tempat ini sudah ada sejak 1920-an. Es kopi memang hanya minuman kopi dingin. Tapi bubuk kopi yang digunakan memang khas kopi Tak Kie.”
Masa-masa Gejolak
Sempat mengalami masa-masa sulit di zaman Jepang, kedai Tak Kie kembali bergeliat. Bahkan, pada akhir 1950-an, pengunjung Tak Kie sangat ramai, meski Tak Kie bukan satu-satunya kedai kopi di kawasan Glodok. “Saya ingat waktu itu ada Kedai Kopi Sin Sin. Tapi satu per satu kemudian tutup karena kondisi di Glodok sendiri tidak selalu kondusif,” kata Yulus.
Memasuki 1960-an, lezatnya kopi Tak Kie sampai ke telinga orang-orang di luaran Glodok. Menurut Yulus, dia beberapa kali memergoki artis kenamaan macam Tan Tjeng Bok dan Fifi Young menyeruput kopi di Tak Kie. Namun, geger politik tahun 1965 membuat Tak Kie tiarap. “Suasananya mencekam. Kedai tidak berani buka. Tapi tidak lama, hanya sempat tutup seminggu,” ujar Yulus. “Waktu pertama kali buka kembali, suasananya begitu sepi. Orang-orang belum berani datang, karena kalau orang kumpul-kumpul, ngobrol saja, langsung ditegur tentara, identitasnya pun dicatat.”
Dia memberi nama “Tak Kie”, yang berarti kedai kopi sederhana yang menyimpan kebijaksanaan dan mudah diingat orang.
Tuduhan militer bahwa Gerakan 30 September didukung Tiongkok memengaruhi nasib orang-orang Tionghoa. Dua tahun setelah tragedi 1965, kerusuhan pecah di Glodok. Yulus, yang saat itu bekerja di sebuah studio foto, menjadi korbannya. “Waktu itu kabarnya ada anggota RPKAD yang dipukuli warga Tionghoa di Glodok. Ya sudah Glodok diserbu. Saya sempat kena pukul tentara,” ujarnya.
Usut punya usut, konflik berawal dari datangnya seorang anggota Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus), ke area tempat perjudian di Glodok untuk meminta uang keamanan. Tak dapat jatah, tentara itu mengadu kepada kawan-kawannya, bilang bahwa dia dipukul dan baret tentaranya diinjak-injak orang Tionghoa di Glodok. “Mungkin mintanya terlalu besar jadi tidak dikasih,” ujarnya.
Sempat tutup, kedai Tak Kie akhirnya kembali dibuka. Tapi, menurut Yulus, keadaannya tak pernah benar-benar normal seperti semula. “Setiap habis kerusuhan, jumlah pengunjung kedai pasti menyurut,” ujarnya.
Bakti Anak
Setelah Liong Tjoen meninggal pada 1973, Yulus mengelola Tak Kie. “Sebelum meninggal, ayah sempat berpesan agar saya meneruskan usaha kedai serta menjaga saudara-saudara saya,” ujarnya.
Yulus anak kedua dari sembilan bersaudara. Karena kakaknya seorang perempuan, bisnis dan nasib keluarga diserahkan kepadanya. Begitu memimpin Tak Kie, Yulus melakukan inovasi. Dia tak lagi menyediakan kopi jadi alias sudah digiling yang dibeli dari toko-toko kopi di sekitaran Glodok. Dia mulai membeli biji-biji kopi Robusta maupun Arabika, dari Lampung hingga Sidikalang, lalu mencampur dan meraciknya hingga menghasilkan segelas kopi nikmat yang dikenal dengan sebutan “Es Kopi Tak Kie”.
Belakangan, Yulus juga bikin racikan terbaru yang diberi nama kopi “Tak Tak”, artinya kopi yang menantang. “Rasanya memang lebih kuat atau lebih keras dari kopi jenis lain yang ditawarkan di sini. Kalau tidak biasa ngopi, sebaiknya jangan mencoba,” ujarnya.
Yulus mengelola Tak Kie bukan tanpa cobaan. Saat pecah peristiwa Mei 1998, kedai sempat tutup sekitar dua minggu. “Wah itu paling parah. Banyak toko-toko di Glodok dibakar. Sekeliling kedai, api menyala di mana-mana. Saya dan keluarga bersembunyi di rumah. Pasrah saja, untungnya kedai tidak apa-apa,” kisah Yulus.
Meski sempat merasa trauma dengan kejadian tersebut, Yulus kembali membuka kedai kopinya. “Saya sudah janji sama ayah untuk menjaga kedai kopi ini. Biarlah hal ini menjadi bukti bakti saya pada almarhum ayah. Kalau mau pindah juga pindah ke mana? Saya lahir, besar, sampai tua seperti ini masih di sini. Kalau bisa dibilang malah saya ini ya orang Betawi.”
Meski nyempil di sebuah gang kecil yang suasananya semrawut, ketenaran Tak Kie tak redup. Kedai ini kerap dijadikan lokasi pembuatan film, misalnya Demi Dewi yang dibintangi Wulan Guritno dan Widyawati. Selain itu, orang terkaya di Indonesia, Liem Sioe Liong, pun pernah mengunjungi kedai ini. “Terakhir Jokowi, waktu kampanye putaran kedua, sempat mampir ke sini,” kata Yulus.
Hampir semua pengunjung di kedainya adalah orang-orang yang ingin menikmati kopi dengan suasana tempo dulu. “Prayogo Pangestu, salah satu pengusaha besar di Indonesia, beberapa kali juga sempat kemari. Dia bilang, waktu kecil kerap diajak ayahnya ke sini,” kata Yulus.
Berdiri sejak 1927, selain menjual nikmatnya secangkir kopi, Tak Kie juga menawarkan manisnya kenangan suasana kedai kopi Tionghoa tempo dulu. Entah sampai kapan bertahan.*