Tak Kuasa Mencegah Punah

Habitat mereka didesak, satu per satu digasak. Kini, banyak flora dan fauna Indonesia terancam punah oleh perburuan dan perdagangan.

OLEH:
Fajar Riadi
.
Tak Kuasa Mencegah PunahTak Kuasa Mencegah Punah
cover caption
Burung cenderawasih yang dijuluki burung surga. (Tropenmuseum).

LAPANGAN Banteng, Jakarta, dulu benar-benar ada bantengnya. Sekira 1644, ketika Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker menjabat, dia kerap berburu banteng di lapangan yang kala itu masih belantara. Tak tanggung-tanggung, sekali berburu dia mengerahkan 800 orang untuk membantunya.

Setelahnya, tak cuma orang-orang Belanda kaya yang berburu. Warga setempat pun ikut-ikutan, termasuk orang-orang Tionghoa. Tak cuma banteng, harimau juga jadi sasaran. Hasilnya lumayan. Kongsi Dagang Belanda (VOC) pada 1762 pernah memberikan hadiah besar kepada seorang pemburu yang berhasil menaklukkan 27 ekor macan kumbang.

Banteng, yang sejak dulu jadi binatang buruan itu, kini menjadi salah satu satwa yang jumlahnya kian merosot. Di Taman Nasional Baluran, Situbondo, misalnya, populasinya turun dari hanya 320 ekor pada 1996 menjadi 22 ekor pada 2011. Sementara hampir semua subspesies harimau terancam punah.

Tak hanya banteng dan harimau. Ada banyak satwa yang terancam punah: dari orang utan Sumatra (Pongo abelii) hingga badak bercula satu (Rhinoceros sondaicus), dari babi rusa Sulawesi (Babyrousa celebensis) hingga maleo (Macrocephalon maleo). Jika tak ada perlindungan, mereka akan mengikuti nasib harimau Sunda (Panthera tigris sondaica) dan harimau Bali (Panthera tigris balica) yang jauh-jauh hari telah dinyatakan punah.

LAPANGAN Banteng, Jakarta, dulu benar-benar ada bantengnya. Sekira 1644, ketika Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker menjabat, dia kerap berburu banteng di lapangan yang kala itu masih belantara. Tak tanggung-tanggung, sekali berburu dia mengerahkan 800 orang untuk membantunya.

Setelahnya, tak cuma orang-orang Belanda kaya yang berburu. Warga setempat pun ikut-ikutan, termasuk orang-orang Tionghoa. Tak cuma banteng, harimau juga jadi sasaran. Hasilnya lumayan. Kongsi Dagang Belanda (VOC) pada 1762 pernah memberikan hadiah besar kepada seorang pemburu yang berhasil menaklukkan 27 ekor macan kumbang.

Banteng, yang sejak dulu jadi binatang buruan itu, kini menjadi salah satu satwa yang jumlahnya kian merosot. Di Taman Nasional Baluran, Situbondo, misalnya, populasinya turun dari hanya 320 ekor pada 1996 menjadi 22 ekor pada 2011. Sementara hampir semua subspesies harimau terancam punah.

Tak hanya banteng dan harimau. Ada banyak satwa yang terancam punah: dari orang utan Sumatra (Pongo abelii) hingga badak bercula satu (Rhinoceros sondaicus), dari babi rusa Sulawesi (Babyrousa celebensis) hingga maleo (Macrocephalon maleo). Jika tak ada perlindungan, mereka akan mengikuti nasib harimau Sunda (Panthera tigris sondaica) dan harimau Bali (Panthera tigris balica) yang jauh-jauh hari telah dinyatakan punah.

Para bangsawan berburu rusa di Priangan, Jawa Barat tahun 1865. (Tropenmuseum).

Gara-gara Cenderawasih

Perburuan binatang sudah berlangsung lama, tetapi peraturan yang melarangnya baru muncul pada abad ke-20. Salah satu pemicunya adalah eksploitasi burung cenderawasih.

Dikenal sebagai “burung surga”, cenderawasih memikat banyak orang, termasuk orang-orang Eropa. Terjadilah perburuan dan perdagangan burung cenderawasih di Papua, Manokwari, Ambon, Ternate, dan Saparua pada abad ke-19. Bulu-bulu cenderawasih itu diekspor ke Paris dan London, untuk memenuhi kebutuhan fesyen.

Cemas dengan populasi cenderawasih, pada 1890 Residen Ternate F.S.A. de Clerq mengatakan: “Saat ini burung-burung hampir tidak pernah dijumpai di sepanjang pantai, dan pembunuhan telah bergerak hingga ke pedalaman, maka tidak lama lagi tidak ada sisa-sisa produk-produk ciptaan Tuhan Sang Maha Pencipta yang dapat menyenangkan para pengamat burung dari sebuah keajaiban dunia.”

Nasib cenderawasih menuai perdebatan. Banyak pihak angkat suara, mendesak tindakan perlindungan. Namun, pemerintah masih ragu. Perburuan hanya bisa dibatasi, tak mungkin diakhiri. Pelarangan total juga hanya akan menimbulkan penyelundupan. “Terjadi pertarungan ide antara keinginan untuk melindungi satwa burung di satu sisi dan keinginan mempertahankan perdagangannya di sisi lain,” tulis Panji Yudhistira dalam Sang Pelopor: Peranan Dr. S.H. Kooders dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia.

Pada Januari 1898, pemerintah mengirim Dr. J.C. Koningsberger, seorang zoologi pertanian, ke Kebun Raya Bogor untuk melakukan penelitian. Hasilnya menjadi masukan atas terbitnya Ordonansi Perlindungan Mamalia dan Burung Liar pada 1909.  

“Ini adalah ordonansi pertama soal perburuan. Sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda dan pendahulunya VOC tak merasa perlu mengatur soal berburu,” tulis Peter Boomgard dalam “Oriental Nature, its Friends and it Enemies: Conservation of Nature in Late-Colonial Indonesia 1889-1949”, termuat di Environment and History 5, No. 3 tahun 1999.

Namun, ordonansi tersebut mengecualikan begitu banyak jenis binatang lainnya. Semua jenis kera, termasuk orang utan, tidak termasuk yang dilindungi. Aturan itu juga tak membuat nasib cenderawasih membaik. Ekspor terus berlangsung. Sejumlah asosiasi perlindungan alam, termasuk Perkumpulan Perlindungan Alam Hindia Belanda, pun protes dan mendesak pemerintah membatasi ekspor.  

Akhirnya, pada 1922 dikeluarkanlah Keputusan Pemerintah (Gouvernements Besluit) yang melarang perburuan burung kasuari dan cenderawasih. Pun demikian dengan perburuan burung mambruk dan merpati.  

Pieter Gerbrand van Tienhoven. (vantienhovenfoundation.com).

Kendati demikian, perburuan satwa sepertinya tak bisa dihentikan. Pada Desember 1928, Pieter Gerbrand van Tienhoven, pendiri Komite Perlindungan Alam Internasional di Belanda (Nederlandse Commissie voor Internationale Natuurbescherming), menulis surat kepada gubernur jenderal Hindia Belanda yang menunjukkan terjadinya penurunan populasi binatang buruan secara internasional. Dia juga berkisah tentang keberhasilan Taman Nasional Yellowstone dan Albert Park di Amerika Serikat. Surat itu meminta pemerintah Hindia Belanda meniru model di AS itu.

Setahun kemudian, van Tienhoven berhasil mendorong mosi yang meminta pemerintah untuk membuat suaka margasatwa. “Mosi itu diterima secara aklamasi pada 1930,” tulis Paul Jepson dan Robert J. Whittaker, “Histories of Protected Areas: Internationalisation of Conservationist Values and their Adoption in the Netherlands Indies (Indonesia)”, termuat di Environment and History 8 yang terbit tahun 2002.

Pemerintah akhirnya merombak undang-undang perlindungan satwa liar. Terbitlah Ordonansi Perlindungan Satwa Liar tahun 1931 yang memperkenalkan “sistem list” untuk spesies yang dilindungi. Setahun kemudian, muncul Ordonansi tentang Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, yang memberi mekanisme hukum untuk melindungi mamalia besar dan habitatnya. Dan pada 1933, pemerintah mengadopsi prinsip bahwa suaka margasatwa harus mirip dengan apa yang negara lain sebut taman nasional.

Sesaat sebelum Jepang datang, pemerintah menetapkan Ordonansi Perlindungan Alam tahun 1941. Aturan-aturan penetapan dan pembentukan cagar alam serta suaka margasatwa diperbarui lagi, termasuk aktivitas-aktivitas yang diizinkan dan dilarang untuk dilakukan. Sampai akhir pemerintahan Jepang, terdapat 117 cagar alam dan suaka margasatwa di Indonesia.

Cenderawasih telah menggerakan beragam aturan untuk menghentikan perburuan sekaligus mendorong upaya perlindungan alam. Namun, ia sendiri tak pernah henti diburu. Kadung kesohor sebagai burung surga, cenderawasih kian terancam punah akibat perburuan dan perdagangan liar.

Anggrek hitam.

Terpikat Anggrek

Ketika Eliza Ruhamah Scidmore, ahli geografi dan perempuan pertama yang menjadi anggota board National Geographic, berkunjung ke Jawa, dia terpikat oleh kuntum-kuntum anggrek di Kebon Raya Bogor. “Sebuah pertunjukan yang mengagumkan ketika melihat kupu-kupu liar hinggap di atas kuntum-kuntum anggrek putih. Belum banyak diketahui seperti jenis anggrek lain yang ada di Venezuela dan Amerika Tengah,” tulisnya dalam buku perjalanannya, Java, The Garden of The East, terbit 1897.

Anggrek, sejak zaman kolonial, memang jadi primadona. “Ia diekspor dalam jumlah yang sangat besar, dan beberapa spesies menjadi langka di Jawa pada akhir abad ke-20,” tulis Boomgard. Jenis yang paling digemari kala itu adalah anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis). Saking tergila-gila, orang juga memburu anggrek di Sumatra dan Borneo. Pada 1930-an, sekian jenis di antaranya disebut-sebut makin langka, bahkan telah punah.  

Harga anggrek sifatnya fluktuatif. Spesies baru yang diperkenalkan di pasaran Eropa harganya selangit. Setelah orang-orang memburunya di hutan-hutan, persediaan di pasar melimpah dan tiba-tiba saja harganya anjlok.  

Residen Bagian Selatan dan Timur Kalimantan pernah menjadikan wilayah Kersik Luway sebagai cagar alam pada 27 September 1934. Alasannya, kawasan ini dihuni puluhan spesies anggrek yang banyak dicari orang, termasuk anggrek hitam (Coelogyne pandurata Lindl.) yang terkenal langka. Anggrek hitam kini jadi maskot flora provinsi Kalimantan Timur.  

Sejak 1999, melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa, pemerintah menetapkan 29 jenis anggrek yang dilindungi. Anggrek hitam salah satunya.

Badak Jawa. (Tropenmuseum).

Catatan Merah IUCN

Ketika ahli biologi asal Inggris, Sir Julian Sorell Huxley, menjabat sebagai direktur jenderal UNESCO, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, dia mengusulkan supaya diadakan kongres untuk membentuk lembaga perlindungan alam.

Akhirnya dibentuklah International Union for the Protection of Nature di Fountainebleau, Prancis, pada 5 Oktober 1948. Namanya diubah menjadi International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) pada 1956, dan sejak 1990 dikenal pula sebagai World Conservation Union. Tujuannya membantu komunitas di seluruh dunia dalam konservasi alam.

Secara berkala, IUCN mengeluarkan apa yang mereka sebut sebagai “IUCN Red List”, sebuah daftar status kelangkaan flora dan fauna di dunia. Kategorinya mulai dari “punah” sampai “tidak dievaluasi”. Daftar tersebut sangat berpengaruh terhadap status konservasi keanekargaman hayati di dunia.

Flora dan fauna di Indonesia kerap menjadi perhatian. Jalak Bali, misalnya. Ia adalah binatang endemi Bali terakhir yang masih ada setelah harimau Bali dinyatakan punah pada 1937. Burung yang pertama kali ditemukan oleh ornitolog berkebangsaan Inggris, Baron Stressman, pada 24 Maret 1911 ini, kini diberi label “kritis” dalam IUCN Red List. Artinya, ada di kategori ketiga setelah “punah” dan “punah di alam liar”.

Harimau Bali ditangkap pemburu Belanda dibantu penduduk pribumi. (Tropenmuseum).

Harga jalak Bali memang luar biasa mahal. Menurut penelitian Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali, sepasang burung ini bisa dihargai Rp17 juta. Bahkan, untuk yang sudah terlatih bisa mencapai ratusan juta rupiah. Tak ayal mereka terus diburu sekalipun undang-undang melarangnya.  

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, atau biasa dikenal dengan CITES, memasukkan jalak Bali ke dalam “Appendix I”, artinya dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Keberadaan jalak Bali kini lebih banyak di penangkaran daripada di dalam hutan.  

Daftar flora endemi Indonesia yang terancam punah juga panjang. Selain anggrek, kantong semar (Nepenthes sp), meranti Jawa (Dipterocarpus littoralis), damar tunam (Shorea lamellata), mangga kasturi (Mangifera casturi), dan bintangur (Calophyllum insularum), hanyalah sedikit dari nama-nama tumbuhan yang dicap dilindungi, tetapi wujudnya makin susah ditemui.

Kayu menjadi hasil hutan yang tak pernah sepi peminat. Meranti misalnya. Ia diperdagangkan secara ilegal. Maklum, harganya selangit. “Ketika seorang pengusaha membayar 10–20 euro untuk setiap meter kubik kayu meranti, di pasar internasional ia menjualnya seharga 200 euro. Sebuah selisih keuntungan yang setara dengan perdagangan kokain yang diperdagangkan dari Karibia menuju Eropa,” kata Tim Boekhout van Solinge dalam The Land of the Orangutan and the Bird of Paradise Under Threat.

Begitu juga Cendana, tanaman yang kini juga terancam punah. Konon, kayu cendana sudah menjadi primadona sejak zaman Hindia Belanda. Wangi aromaterapinya disukai banyak orang. Saking berharganya, semua pohon cendana, yang banyak tumbuh di Nusa Tenggara Timur, pernah dicap milik pemerintah. Bahkan, ada masanya setelah zaman kemerdekaan, aturan tersebut masih terus diberlakukan. Akibatnya, masyarakat malah enggan menanamnya. Ini juga menjadi salah satu sebab makin langkanya cendana.

Meranti Jawa.

Dari Pengkajian hingga Pemeliharaan

Urusan perburuan badak di Ujung Kulon tampaknya menjadi perhatian penting pemerintah pada awal-awal era kemerdekaan. Pada 1950, Dinas Kehutanan menunjuk petugas khusus untuk menangani isu-isu perlindungan alam, terutama untuk menangani kasus tersebut.  

Soal perlindungan alam dan konservasi dipegang oleh lembaga yang bergonta-ganti. Mulai dari Direktorat Kehutanan, Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Alam, hingga hari ini dipegang oleh Kementerian Kehutanan. Tak kurang dari 530 kawasan konservasi telah terbentuk. Terdiri dari Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Wisata Alam, Taman Hutan Raya, dan Taman Buru. Luasnya kurang lebih 28 juta hektar.

Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, barangkali menjadi yang paling lugas. Di dalamnya disebutkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang mulai dari pengkajian, penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budi daya tanaman obat-obatan, sampai pemeliharaan untuk kesenangan.

Disebutkan pula jenis-jenis tanaman yang tumbuh liar jenis Raflesia dan binatang liar seperti anoa, badak Jawa, biawak komodo (Varanus komodoensis), elang Jawa (Spizaetus bartelsi), owa Jawa (Hylobates moloch), sampai lutung Mentawai (Presbytis potenziani).  

Aturan soal perlindungan alam seolah-olah terus diperbaiki. Namun, hutan hujan tropis Indonesia terus dihancurkan. Sementara memagari binatang-binatang dan tanaman di dalam cagar dan suaka sepertinya hanya memperlambat mereka punah. Kalau sudah demikian, akan ada saatnya di pelosok hutan, jalak-jalak tak lagi berkicau, anggrek-anggrek tak lagi mekar, dan cendana tak mewangi.*

Majalah Historia No. 12 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
65fd5fc4a272a2d5ed752204