Tamat Menjelang Seabad

Dianggap melawan negara, Oei Tiong Ham Concern disita pemerintah. Hubungan dengan para politisi tak berhasil menyelamatkan kerajaan bisnis pertama di Asia Tenggara ini dari penyitaan.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Tamat Menjelang SeabadTamat Menjelang Seabad
cover caption
Pimpinan dan staf Oei Tiong Ham Concern di kantor pusat di Semarang. (Repro Oei Tiong Ham Raja Gula dari Semarang).

PADA 10 Juli 1961, Pengadilan Ekonomi Semarang memutuskan Oei Tiong Ham Concern dirampas untuk negara dan menjatuhkan vonis in absentia (tanpa kehadiran terdakwa) bersalah kepada tujuh pemegang saham Oei Tiong Ham Concern –satu terdakwa, Tjong Tjiat meninggal di Amsterdam pada 1957. 

Pertimbangannya: mereka mempunyai surat tanda pemilikan harta dan kekayaan di Indonesia tanpa izin Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN), tanpa izin menjual saham-saham perusahaan yang didirikan di Indonesia, dan menguasai saham-saham perusahaan di Indonesia tanpa memiliki izin dari LAAPLN. 

Dengan ketetapan tersebut, pemerintah menyita semua perusahaan Oei Tiong Ham Concern di Indonesia: perusahaan dagang Kian Gwan, perusahaan gula Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken, serta perusahaan-perusahaan lain yang bergerak di bidang perkebunan, pengolahan karet, dan pabrik biskuit. 

PADA 10 Juli 1961, Pengadilan Ekonomi Semarang memutuskan Oei Tiong Ham Concern dirampas untuk negara dan menjatuhkan vonis in absentia (tanpa kehadiran terdakwa) bersalah kepada tujuh pemegang saham Oei Tiong Ham Concern –satu terdakwa, Tjong Tjiat meninggal di Amsterdam pada 1957. 

Pertimbangannya: mereka mempunyai surat tanda pemilikan harta dan kekayaan di Indonesia tanpa izin Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN), tanpa izin menjual saham-saham perusahaan yang didirikan di Indonesia, dan menguasai saham-saham perusahaan di Indonesia tanpa memiliki izin dari LAAPLN. 

Dengan ketetapan tersebut, pemerintah menyita semua perusahaan Oei Tiong Ham Concern di Indonesia: perusahaan dagang Kian Gwan, perusahaan gula Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oei Tiong Ham Suikerfabrieken, serta perusahaan-perusahaan lain yang bergerak di bidang perkebunan, pengolahan karet, dan pabrik biskuit. 

Bahkan, pemerintah menyita harta pribadi keluarga Oei, seperti tanah dan rumah beserta isinya. “Rumah saya di Jakarta disita,” kata Oei Tjong Tjay, anak Oei Tiong Ham dari istri ketujuh, dalam wawancara dengan Yoshihara Kunio, dimuat dalam Konglomerat Oei Tiong Ham. “Tetapi alih-alih pemerintah yang mengambil alihnya, seorang anggota tentara tetangga kami, begitu ia mendengar mengenai penyitaan tersebut, langsung saja pindah ke rumah kami, menempatinya dan mengambil semua milik kami.” 

Tak terima atas keputusan pengadilan, Ting Swan Tiong dan Mohammad Suyudi, pengacara Oei Tiong Ham Concern, naik banding. Keduanya juga menyerang prosedur in absentia. Selain para terdakwa dikenal, prosedur in absentia hanya bisa diterapkan pada kasus-kasus pelanggaran ringan. Selain itu, Pengadilan Ekonomi tak memperkenankan bantuan pengacara. “Kedua butir ini sudah cukup untuk menolak keputusan Pengadilan Ekonomi Semarang,” tulis Tjoa Soe Tjong, “Tuntutan Hukum Terhadap Perusahaan Oei Tiong Ham,” dimuat dalam Konglomerat Oei Tiong Ham

Selama proses banding, kegiatan Oei Tiong Ham Concern tetap berjalan. “Semua karyawan hanya tinggal menantikan keputusan akhir dari Mahkamah Agung, di sela-sela kegiatan bekerja mereka, sementara itu Oei Tiong Ham Concern telah memenuhi usia 100 tahun, sejak didirikannya oleh almarhum Oei Tjie Sien pada 1863,” tulis Liem Tjwan Ling dalam Oei Tiong Ham Raja Gula dari Semarang.

Oie Tjie Sien, Oei Tiong Ham, dan Oei Tjong Hauw.

Melewati Masa Sulit

Oei Tjie Sien lahir 23 Juli 1835 di Hokkian. Karena terlibat dalam pemberontakan Taiping melawan rezim Manchu yang mendirikan Dinasti Ch’ing (1851–1864), bersama dua saudaranya, dia berlayar menuju Semarang. Di Semarang, dia berdagang dan membuka kedai. 

Pada 1 Maret 1863, bersama temannya Ang Tai Liong, Tjien Sien mendirikan Firma Kian Gwan, artinya “sumber dari seluruh kesejahteraan”, yang kemudian jadi perseroan terbatas NV Handel Maatschappij Kian Gwan. Perusahaan niaga ini berkembang pesat, bahkan mengekspor hasil bumi ke Siam (Thailand) dan Saigon (Vietnam). 

Di tangan putranya, Oei Tiong Ham, perusahaan itu berkembang menjadi perusahaan raksasa yang bergerak dalam bidang perdagangan, industri gula, perkebunan karet, industri farmasi, jasa keuangan, properti, angkutan kapal, dan lain-lain. 

Untuk keperluan ekspansi bisnisnya, Kian Gwan membuka kantor cabang di London (Inggris), Amsterdam (Belanda), New York (Amerika Serikat), Calcutta (India), Hong Kong, Tokyo dan Osaka (Jepang), Singapura, Sydney (Australia), Bangkok (Thailand), Penang (Malaysia), Rangoon (Myanmar), serta Shanghai, Taipei, dan Tianjin (China). Seluruh perusahaan bernaung dalam Oei Tiong Ham Concern. 

Oei Tjong Ie. Pabrik Alkohol di Shanghai, China.

Oei Tiong Ham lahir di Semarang, 19 November 1866. Pendidikannya hanya sekolah Tionghoa berbahasa Hokkian gaya lama (su-siok) yang hanya mengajarkan sastra dan berhitung. Dia mulai terlibat dalam perusahaan di usia 20 tahun, dan memimpin penuh Kian Gwan setelah ayahnya meninggal pada 1900. Hanya dalam seperempat abad sejak ayahnya meninggal, Tiong Ham telah menjadi pengusaha sukses. Namanya termasyhur di kalangan pengusaha internasional. Dia mendapat julukan “Raja Gula dari Pulau Jawa”. 

Ketika Tiong Ham meninggal pada 1924 di Singapura, kekayaannya ditaksir mencapai 200 juta gulden. Dalam surat wasiatnya, dia menunjuk sembilan anaknya sebagai pewaris kerajaan bisnisnya. Tujuhbelas anaknya yang lain masing-masing mendapatkan 400 ribu gulden. 

Sepeninggal Tiong Ham, kendali Oei Tiong Ham Concern berada di bawah kepemimpinan kedua anaknya, Oei Tjong Swan (anak dari istri ketiga) dan Oei Tjong Hauw (anak dari istri kelima). Tjong Swan lalu menjual semua sahamnya kepada saudara-saudaranya dan pindah ke Belanda. Tjong Hauw menempatkan para pewaris perusahaan lainnya di kantor-kantor cabang Oei Tiong Ham Concern di luar negeri. Sementara di Indonesia, dia dibantu Oei Tjong Tjay. 

Di bawah Tjong Hauw, Oei Tiong Ham Concern maju pesat dan berhasil melewati masa sulit selama malaise (depresi besar), Perang Dunia II, dan perang kemerdekaan. Tjong Hauw meninggal dunia karena serangan jantung pada 21 Januari 1950. Rapat pemegang saham pada 1951 memilih Oei Tjong Tjay sebagai penggantinya. Oei Ing Swie, anak Tjong Hauw, juga menginginkan posisi itu. Jalan keluarnya dibentuklah Dewan Direksi yang terdiri dari delapan orang pemegang saham, dipimpin Tjong Tjay dan Ing Swie.

Pabrik Gula di Ponen, Jombang milik Oei Tiong Ham Concern.

Penyebab Penyitaan

Sebelum Perang Dunia II, Kian Gwan Indonesia mendepositokan dana cadangannya yang besar dalam mata uang gulden di De Javasche Bank, yang menempatkan dana tersebut di Amsterdam. Pada 1951, pemerintah Indonesia menasionalisasi De Javasche Bank, dan kemudian jadi Bank Indonesia dua tahun kemudian. 

Karena dana cadangan Kian Gwan Indonesia berada di Amsterdam, pemerintah Indonesia menginginkan mereka memulangkan dana tersebut. Tetapi, harga jual resmi satu gulden cuma tiga rupiah, sedangkan di pasar gelap mencapai delapan kali lipatnya. Dengan alasan tersebut mereka menolak keinginan pemerintah dan mempertahankan dana tersebut di Amsterdam. 

Kemudian Kian Gwan Indonesia menghadapi masalah karena tak dapat membayar utang kepada kreditur, termasuk cabang Kian Gwan di luar negeri dan para pemegang sahamnya. Para kreditur mengajukan tuntutan ke pengadilan Belanda untuk memperoleh dana cadangan tersebut pada 1958. Pengadilan Belanda mengabulkannya. Dengan terpaksa, Bank Indonesia cabang Amsterdam mencairkan dana tersebut. Pemerintah Indonesia pun kesal, menganggapnya hanya akal-akalan, bahkan ilegal. Kasus inilah yang membuka pintu bagi penyitaan Oei Tiong Ham Concern. 

Untuk menjaga bisnisnya, Tjong Tjay sebenarnya sudah mendekati tokoh-tokoh politik: Sumitro Djojohadikusumo dan Sudarpo Sastrosatomo dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Mohammad Roem dan Sjafruddin Prawiranegara dari Masyumi, serta beberapa orang dari fraksi moderat Partai Nasional Indonesia (PNI). Tjong Tjay misalnya memberikan sepertiga saham NV Asosiasi Perdagangan Indonesia kepada PSI dan memberikan jabatan direktur di perusahaan farmasi Phapros kepada Hadisubeno, wakil ketua PNI yang juga wali kota Semarang. 

Namun, kakaknya, Tjong Ie, melihat sebaliknya. Dia menganggap seharusnya pengelola dan Dewan Direksi menjalin hubungan dengan militer. “Pejabat yang bisa diandalkan pada masa itu adalah orang-orang militer, tapi Dewan Direksi kami selalu menghindarkan diri dari berurusan dengan kalangan militer,” kata Tjong Ie. 

Tjoa Soe Tjong. Pabrik Alkohol di Shanghai, China.

Tjong Tjay merasa pilihannya tepat. Menurutnya, pada 1950-an yang mengendalikan pemerintahan adalah para politisi. Namun, kelak dia menyesali langkahnya. Ketika pemerintah hendak dan kemudian menyita Oei Tiong Ham Concern, tak ada dukungan partai yang diandalkannya. 

“Secara umum kebijakan kami ialah mendukung PSI. Tetapi, kami telah memilih partai yang salah. Semua pemimpin PSI telah kehilangan kekuasaan ketika penyitaan terjadi. Contohnya Sumitro dikirim ke luar negeri ketika penyitaan terjadi. Sebetulnya pada masa itu PSI telah dilarang oleh Sukarno,” kata Tjong Tjay. 

Sama seperti PSI, Masyumi dilarang pemerintah pada 1961. Hubungan dengan PNI juga tak bisa mencegah penyitaan. Ketika situasi politik yang antikapitalistik, sentimen anti-Tionghoa, dan tak adanya pemimpin politik yang cukup berkuasa untuk melindungi bisnisnya, Tjong Tjay meninggalkan Indonesia dan pergi ke Belanda pada 1958. “Karena tidak ada pemegang saham Oei yang tertinggal, manajemen dipercayakan kepada Tjoa Soe Tjong (direktur eksekutif),” tulis Yoshihara. 

Di tengah situasi nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing, Oei Tiong Ham Concern terkena imbas. Ketika Jaksa Agung Gunawan Gautama memperkarakan para pemegang saham Oei Tiong Ham Concern, tak seorang pun dari keluarga Oei yang tinggal di Indonesia. 

“Apabila kami pergi ke Indonesia, pemerintah akan memenjarakan kami,” kata Tjong Tjay. “Pemerintah telah memenjarakan delapan dari sepuluh orang manajer utama kami, salah satunya Tjoa Soe Tjong yang mendekam sekira delapan bulan.” 

Pada 10 Juli 1961, Pengadilan Ekonomi Semarang menjatuhkan vonis in absentia bersalah kepada tujuh pemegang saham Oei Tiong Ham Concern. Upaya naik banding gagal. Mahkamah Agung memperkuat keputusan Pengadilan Ekonomi Semarang. Dengan keputusan tersebut, seluruh harta benda milik Oei Tiong Ham Concern di Indonesia ditetapkan dirampas untuk negara.

Jaksa Agung Gunawan Gautama yang memperkarakan Oei Tiong Ham Concern. PT RNI hasil menyita Oei Tiong Ham Concern.

Burung Hong Dibakar 

Kendati sudah diambil alih negara, kegiatan usaha Oei Tiong Ham Concern tetap berjalan di bawah pengawasan Menteri/Jaksa Agung. Atas rekomendasi akuntan publik agar cabang-cabang perusahaan Oei Tiong Ham Concern tetap disatukan, Kejaksaan Agung memutuskan para direktur perusahaan tersebut tetap memegang manajemen. 

“Sekarang kami harus bekerja sama dengan pemerintah. Kerja sama itu memberikan semacam latihan yang intensif kepada staf tentang bagaimana harus berurusan secara bijaksana dengan para pejabat sipil, militer, dan kepolisian,” tulis Soe Tjong. 

Pada 1963, semua perusahaan dan pengelolaanya diserahkan kepada menteri Urusan Pendapatan, Pembiayaan, dan Pengawasan (P3) –saat ini menjadi Departemen Keuangan. Untuk melanjutkan aktivitas usaha eks Oei Tiong Ham Concern, pada 1964 Departemen Keuangan membentuk PT Perusahaan Perkembangan Ekonomi (PPEN) Rajawali Nusantara Indonesia yang sekarang lebih dikenal dengan nama PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI).

“Ketika Menteri Keuangan meminta kami mengusulkan nama baru bagi perusahaan, kami menyarankan nama Garuda (burung mitos Indonesia),” ujar Soe Tjong. 

Burung besar dalam mitos orang Tionghoa adalah Hong. Burung lambang panjang umur ini seratus tahun sekali membakar diri, untuk muncul lagi dari abunya dan hidup selama seratus tahun berikutnya. “Oei Tiong Ham Concern telah melewati usia keseratus tahun yang pertama, dan meskipun ia tidak membakar diri, tapi dibakar, ia akan bangkit lagi. Walaupun tidak sebagai burung Hong asli, tapi sebagai Garuda Indonesia,” ujar Soe Tjong. 

Usulan diterima. Tapi, nama Garuda diganti Rajawali. Berdirilah RNI. Badan usaha milik negara ini masih berdiri dengan kantor di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Ia bergerak dalam agroindustri, farmasi dan alat kesehatan, serta perdagangan. 

Menurut Yoshihara, pemerintah Indonesia tak dapat menyentuh cabang-cabang dan harta kekayaan Oei Tiong Ham Concern di luar negeri. Kantor-kantor di Singapura, Amsterdam, New York, dan Bangkok tetap hidup, tapi sangat terpengaruh oleh penyitaan itu karena kegiatannya terkait perdagangan dengan Indonesia. “Tanpa ikatan dengan Indonesia, sulit bagi perusahaan-perusahaan tersebut bisa terus hidup,” tulis Yoshihara. 

Akibatnya cabang New York dan Malaya tutup, cabang Amsterdam mengurangi kegiatannya secara drastis, cabang Singapura tinggal menjadi perusahaan rekayasa kecil, dan hanya cabang Bangkok yang masih berjalan cukup baik pada masa sesudah penyitaan. Perusahaan Oei Tiong Ham rasanya tak bakal bangkit lagi, terkubur masa lalunya yang gilang-gemilang.*

Majalah Historia No. 12 Tahun I 2013

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64d5ad9c76941960572422f0
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID