Tanah untuk Rakyat

Depan kantor tuan bupati/ tersungkur seorang petani/ karena tanah/ karena tanah.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Tanah untuk RakyatTanah untuk Rakyat
cover caption
Petani sedang mencangkul tanah pada masa pendudukan Jepang.

BAIT puisi di atas berjudul “Matinya Seorang Petani” karya penyair Agam Wispi, yang menyaksikan tanah garapan petani miskin di Deli Serdang, Sumatra Utara digusur dengan traktor dan bedil pada Maret 1953.

Deli Planters Vereniging, asosiasi pengusaha tembakau, ingin menguasainya kembali sesuai kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Salah satu syarat pengakuan kedaulatan Indonesia antara lain aset milik Belanda harus dikembalikan dan dijamin. Para petani penggarap protes dan melakukan perlawanan. Korban 21 orang tertembak, enam di antaranya tewas dalam insiden yang dikenal sebagai Peristiwa Tanjung Morawa.

BAIT puisi di atas berjudul “Matinya Seorang Petani” karya penyair Agam Wispi, yang menyaksikan tanah garapan petani miskin di Deli Serdang, Sumatra Utara digusur dengan traktor dan bedil pada Maret 1953.

Deli Planters Vereniging, asosiasi pengusaha tembakau, ingin menguasainya kembali sesuai kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB). Salah satu syarat pengakuan kedaulatan Indonesia antara lain aset milik Belanda harus dikembalikan dan dijamin. Para petani penggarap protes dan melakukan perlawanan. Korban 21 orang tertembak, enam di antaranya tewas dalam insiden yang dikenal sebagai Peristiwa Tanjung Morawa.

Peristiwa itu mendapat sorotan dari media maupun parlemen. Partai Komunis Indonesia (PKI) mencemooh Menteri Dalam Negeri Mohamad Roem dengan sebutan “Mohamad Roem Traktor Maut”. Sidik Kertapati dari Sarekat Tani Indonesia (Sakti) mengajukan mosi tidak percaya yang mendapat dukungan dari Partai Nasional Indonesia (PNI). Perdana Menteri Wilopo akhirnya menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno.

Tanah selalu jadi api dalam sekam. Sengketa tanah pun tak henti mewarnai sejarah Indonesia. Dan senjata mudah memuntahkan peluru kepada para petani yang lemah. Konflik agraria membuktikan apa yang dikatakan Mochammad Tauhid, tokoh penting dalam pemikiran agraria di Indonesia:

“Soal agraria (soal tanah) adalah soal hidup dan penghidupan manusia, karena tanah adalah asal dan sumber makanan bagi manusia. Perebutan tanah berarti perebutan makanan, perebutan tiang hidup manusia. Untuk itu, orang rela menumpahkan darah, mengorbankan segala yang ada demi mempertahankan hidup selanjutnya.”

Buruh perempuan memilah daun tembakau di gudang perusahaan tembakau di Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatra Utara. (Tropenmuseum).

Konflik Agraria

Konflik agraria sudah terjadi sejak zaman kolonial Belanda. “Kasus sengketa tanah terjadi karena adanya pemberian hak oleh pemerintah,” kata Mohammad Iskandar, pengajar sejarah di Universitas Indonesia.

Pada 1870 pemerintah kolonial memberlakukan Undang-undang (UU) Agraria (Agrarisch Wet) yang memberikan hak erfpacht (sekarang Hak Guna Usaha) kepada para pemodal asing untuk mengusahakan perkebunan.

“Tanah menjadi sumber konflik karena tanah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan Belanda dan penduduk pribumi dijadikan buruh,” ujar Idham Arsyad, sekretaris jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria.

Hak erfpacht menggusur tanah pertanian rakyat karena asas domein verklaring, bahwa tanah yang tak bisa dibuktikan milik seseorang dianggap milik negara, dan negara melemparkan hak pengelolaan kepada para pengusaha. “Orang pribumi tidak bisa bersaing dengan orang kaya Eropa yang mampu membeli banyak tanah,” kata Iskandar.  

Para petani kemudian melakukan perlawanan yang sering kali dibalut fanatisme keagamaan. Antara lain peristiwa Cikandi Udik (1845), kasus Bekasi (1868), kasus Amat Ngisa (1871), pemberontakan Cilegon (1888), kerusuhan Ciomas (1886), pemberontakan Gedangan (1904), pemberontakan Dermajaya (1907), peristiwa Langen di Banjar, Ciamis (1905), peristiwa Cisarua dan Koja, Plered (1913–1914), dan peristiwa Rawa Lakbok, Ciamis (1930).

Pemerintah Indonesia meneruskan sikap toleran Jepang dengan membiarkan rakyat menduduki tanah, sambil menunggu payung hukum agraria nasional terbentuk.

Ketika Belanda ditaklukkan Jepang, banyak perkebunan besar milik perusahaan Belanda dan asing ditinggalkan dan terlantar. Militer Jepang mendorong rakyat untuk mengolah dan menanaminya dengan bahan kebutuhan perang seperti jarak dan sereh wangi.

“Dengan izin dan dorongan pemerintah Jepang itulah maka tercipta persepsi di kalangan rakyat bahwa mereka memperoleh kembali tanah mereka yang dulu melalui rekayasa hukum dirampas oleh Belanda,” tulis Gunawan Wiradi dalam Seluk Beluk Masalah Agraria. Toh, pemberontakan petani tetap terjadi seperti di Indramayu pada 1944, karena rakyat tak sanggup menanggung penindasan.

Setelah kemerdekaan, penggarapan tanah perkebunan oleh rakyat berlanjut. “Pemerintah Indonesia meneruskan sikap toleran Jepang dengan membiarkan rakyat menduduki tanah, sambil menunggu payung hukum agraria nasional terbentuk,” tulis Ahmad Nashih Luthfi dalam Melacak Sejarah Pemikiran Agraria.

Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1946 untuk menghapus desa-desa perdikan yang bebas pajak, di mana elite-elitenya menguasai sebagian besar tanah di desa-desa. Pemerintah juga mengeluarkan UU No. 13 Tahun 1948 untuk mengambil alih semua tanah 40 perusahaan gula Belanda di Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.

Celakanya, hasil perjanjian KMB menjungkirbalikkan kebijakan reforma agraria tersebut. Para petani yang tak lagi punya pegangan hukum melakukan perlawanan. Salah satunya Peristiwa Tanjung Morawa yang menjatuhkan Kabinet Wilopo.

Petani perempuan pada masa pendudukan Jepang.

Upaya Reforma Agraria

Sejak awal kemerdekaan, pemerintah berupaya merumuskan UU agraria baru untuk mengganti UU agraria kolonial. Pada 1948 pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogya. Namun, gejolak politik membuat upaya itu selalu kandas. Panitia agraria pun turut berganti-ganti: Panitia Agraria Jakarta 1952, Panitia Suwahyo 1956, Panitia Sunaryo 1958, dan Rancangan Sadjarwo 1960.

Setelah Peristiwa Tanjung Morawa, pemerintah mengeluarkan UU Darurat No. 8 Tahun 1954 tentang pemakaian tanah perkebunan hak erfpacht oleh rakyat. Pendudukan lahan tak lagi dianggap sebagai pelanggaran hukum. Pemerintah akan berupaya menyelesaikannya melalui pemberian hak dan perundingan di antara pihak-pihak yang bersengketa.

Pada 1957, karena Belanda terus mengulur penyelesaian Irian Barat, Indonesia secara sepihak membatalkan perjanjian KMB. Hal ini kemudian diikuti dengan nasionalisasi perkebunan-perkebunan asing. “Entah karena pertimbangan apa, hampir semua perusahaan asing yang diambil alih itu dipimpin oleh militer. Inilah awal mula dari masuknya peranan tentara ke dalam ekonomi,” tulis Gunawan Wiradi.

Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir. Tanah partikelir, kata Arsyad, merupakan tanah yang oleh penguasa kolonial disewakan atau dijual kepada orang-orang kaya dengan disertai hak-hak pertuanan (landheerlijke rechten), yakni berkuasa atas tanah beserta orang-orang di dalamnya. Misalnya, hak mengangkat dan memberhentikan kepala desa, menuntut rodi atau uang pengganti rodi, dan mengadakan pungutan-pungutan. “Hak dipertuanan itu seperti negara dalam negara,” ujar Arsyad. Dengan UU tersebut hak-hak pertuanan hanya boleh dimiliki oleh negara.

Upaya transfer tanah dari elite ke rakyat sebagai konsekuensi dari penghapusan tanah-tanah partikelir, dan sebelumnya penghapusan desa perdikan, dilakukan dengan ganti rugi, sebagaimana ganti rugi yang diberikan pada upaya nasionalisasi perkebunan-perkebunan milik orang Eropa pada 1958.

“Artinya reforma agraria dipandu oleh negara dengan skenario ganti rugi untuk meminimalisasi konflik,” tulis Ahmad Nashih Luthfi.

Barisan Tani Indonesia tahun 1962. (Japan Press Services/Edi Cahyono’s Library).

UUPA dan Aksi Sepihak

Setelah pergulatan selama 12 tahun, melalui prakarsa Menteri Pertanian Soenaryo, kerja sama Departemen Agraria, Panitia Ad Hoc DPR, dan Universitas Gadjah Mada membuahkan rancangan UU agraria. Melalui perdebatan politik dan kompromi, RUU itu disetujui DPR-GR pada 24 September 1960 sebagai UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA).

“UU Pokok Agraria menjadi titik awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru mengganti produk hukum agraria kolonial,” kata Arsyad. “Prinsipnya adalah tanah untuk rakyat.”

UUPA meletakkan landasan hukum berkenaan dengan distribusi penggunaan tanah yang dianggap monumental sekaligus revolusioner. UUPA antara lain mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik. Tanggal ditetapkannya UUPA, yakni 24 September, kemudian dijadikan Hari Tani Nasional; rezim Soeharto menggantinya sebagai Hari Ulang Tahun UUPA, menganggapnya hanya sebagai peristiwa di masa lalu.

UUPA menjadi titik awal dari kelahiran hukum pertanahan yang baru mengganti produk hukum agraria kolonial. Prinsipnya adalah tanah untuk rakyat.

Dengan landasan UUPA, dimulailah program reforma agraria. Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian penentuan tanah-tanah berlebih atau melebihi batas maksimum pemilikan yang selanjutnya dibagikan kepada petani tak bertanah. Termasuk juga pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH).

Tapi pelaksanaan ketiga program tersebut terhambat. Menurut Margo L. Lyon dalam “Dasar-dasar Konflik di Daerah Pedesaan Jawa”, termuat dalam Dua Abad Penguasaan Tanah, alasannya adalah administrasi yang buruk, korupsi, serta oposisi dari pihak tuan-tuan tanah dan organisasi keagamaan. Karena pelaksanaan landreform (reforma agraria) yang lamban, PKI dan BTI mengorganisir program-program gerakan petani untuk melaksanakan UUPA atau sebagai reaksi terhadap gerakan-gerakan provokatif atau hambatan dari tuan tanah atau pemilik perkebunan. Terjadilah apa yang dikenal dengan aksi sepihak.

“Sebenarnya, hampir seluruh gerakan kedua belah pihak dapat didefinisikan sebagai aksi sepihak karena sebagian besar diadakan tanpa menghiraukan prosedur normal,” tulis Margo.

Salah satu sengketa agraria yang mencuat pada masa itu adalah Peristiwa Jengkol di Jember dan Kediri pada November 1961. Para petani, dengan dukungan BTI, protes dan menolak pengosongan tanah yang dilakukan Perusahaan Perkebunan Negara-Baru. Para petani diusir dengan cara mentraktor tanah itu. Akibatnya 38 orang tewas. Aksi sepihak menjadi isu yang didiskusikan di tingkat nasional. Ia juga jadi bahan perdebatan sengit antara Njoto dari Harian Rakjat dan B.M. Diah dari harian Merdeka.

Akibat banyaknya aksi sepihak dikeluarkanlah UU No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform untuk memberi sanksi mereka yang menolak untuk bekerja sama dalam pelaksanaan UUPBH.

“Pada 1965 terjadi huru-hara politik di tingkat nasional dan pembantaian rakyat di pedesaan-pedesaan, sesuatu yang kemudian membuat semua usaha mewujudkan landreform itu berhenti,” tulis Ahmad Nashih Luthfi.

Presiden Soeharto mengajak Perdana Menteri Australia John Malcolm Fraser ke ranch di Tapos. (IPPHOS).

UUPA Dipetieskan

Pemerintahan Soeharto menjungkibalikkan proses reforma agraria dan mencap segala kegiatan yang berkaitan dengan UUPA sebagai hantu komunis. Pada 1967 lahir UU Penanaman Modal Asing, UU Pokok Kehutanan, dan UU Pertambangan, yang bertentangan dengan UUPA.

“Jiwa UU Agraria kolonial 1870 seolah menjelma kembali pada periode ini yang kemudian menimbulkan banyak konflik agraria sehingga semakin memperkelam sejarah agraria di Indonesia,” tulis Gunawan Wiradi.

Menurut Arsyad, karena ideologi Orde Baru adalah pembangunan, tanah kemudian dipersepsikan sebagai kepentingan umum dalam kerangka pembangunan. Saat itulah terjadi banyak gejolak perampasan tanah. Kasus Tapos pada 1971, misalnya, di mana PT Rejo Sari Bumi (RSB) yang sebagian besar sahamnya dimiliki anak-anak Soeharto merampas lahan petani Desa Cibedug dan desa lain di sekitarnya untuk mewujudkan obsesi Soeharto memiliki ranch.

Orde Baru dengan mudah merampas tanah-tanah rakyat, dengan ganti rugi maupun tidak. Penguasa mendasarkan kepada hukum positif, sedangkan rakyat pada hukum adat atau keterangan pengelolaan tanah sementara. Menurut Iskandar, ini buah dari kelemahan pemerintah yang tak melakukan penyuluhan kepada rakyat tentang arti hak kepemilikan tanah. Bagi penduduk, girik atau letter C sudah cukup menjadi bukti hak milik, padahal ketentuannya hanya diberikan hak untuk mengusahakan. Untuk menjadi hak milik, mereka harus mengurus ke Departemen Agraria untuk mendapatkan sertifikat.

“Karena itulah waktu Orde Baru banyak tanah mudah digusur karena penduduk hanya memiliki letter C,” ujar Iskandar.

UUPA sendiri sejak 1965 hingga sekarang dipetieskan. Berbagai kebijakan negara yang lahir kemudian bertentangan dengannya, sehingga konflik agraria semakin mencuat. Data konflik agraria yang diungkap Konsorsium Pembaruan Agraria tahun 1970–2001 tercatat 1.753 kasus, yang mencakup luas tanah 10.892.203 hektar dan mengakibatkan setidaknya 1.189.482 keluarga menjadi korban. Pergantian rezim ke era Reformasi hingga kini tak mengurangi konflik agraria yang menimbulkan korban jiwa di pihak petani. Dan konflik agrari timbul karena UUPA tak pernah dijalankan.*

Majalah Historia No. 5 Tahun I 2012.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
645b700120c38b3f0d02f8bb