Tanjung Barulak Bergejolak Menolak Pajak

Ulah Mario Dandy Satrio picu seruan tolak membayar pajak di masyarakat. Seruan serupa pernah memicu pertumpahan darah di Tanjung Barulak, Sumatra Barat.

OLEH:
Yose Hendra
.
Tanjung Barulak Bergejolak Menolak PajakTanjung Barulak Bergejolak Menolak Pajak
cover caption
Prasasti di pojok atas tangga Masjid Raya Syuhada yang memuat 19 nama penduduk yang menjadi korban jiwa dalam Perang Basosoh. (Yose Hendra/Historia.ID).

PENGANIAYAAN yang dilakukan Mario Dandy Satrio terhadap Cristalino David Ozora berbuntut panjang. Mario yang kini mendekam dalam penjara, justru menitikkan getah kepada korps perpajakan.

Mario adalah putra dari Rafael Alun Trisambodo, mantan kepala bagian umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak. Kehidupan hedon yang dipertontonkan Mario di media sosial memantul pada isi rekening sang ayah yang dinilai tak wajar. Alhasil, Rafael menjadi sasaran penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

PENGANIAYAAN yang dilakukan Mario Dandy Satrio terhadap Cristalino David Ozora berbuntut panjang. Mario yang kini mendekam dalam penjara, justru menitikkan getah kepada korps perpajakan.

Mario adalah putra dari Rafael Alun Trisambodo, mantan kepala bagian umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak. Kehidupan hedon yang dipertontonkan Mario di media sosial memantul pada isi rekening sang ayah yang dinilai tak wajar. Alhasil, Rafael menjadi sasaran penyelidikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Rafael kini telah dipecat dari statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Tapi kekayaannya senilai Rp56 miliar dinilai janggal, sehingga terus dicecar oleh otoritas. Teranyar, ada sekira Rp500 miliar transaksi pada 40 rekening milik Rafael yang dinilai janggal.

Fenomena ini kemudian merembet ke aparatur pejabat lain di Kemenkeu. Hingga saat ini, PPATK melansir ada sekitar Rp300 triliun transaksi janggal melibatkan petinggi di Kemenkeu.

Efek domino kasus ini adalah memudarnya kepercayaan publik kepada petugas dan institusi perpajakan, kendati bulan Maret ini merupakan masa bagi publik untuk membayar maupun laporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Seruan untuk tidak membayar pajak bermunculan setelah kasus Mario.

Salah satu figur publik yang vokal menyerukan untuk tidak membayar pajak adalah mantan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. Melalui akun Instagram pribadinya pada Selasa (28/2/2023), Said Aqil menyerukan masyarakat, terutama warga NU, untuk tidak membayar pajak jika Rafael Alun Trisambodo terbukti menyelewengkan pajak.

“Keputusan para kyai bahwa kalau uang pajak selalu diselewengkan, NU akan menempuh sikap tegas, warga NU tidak usah bayar pajak,” kata Said dalam video di Instagram pribadinya.

Merespons hal ini, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo minta masyarakat untuk tetap membayar pajak.

“Membayar pajak adalah kewajiban berbangsa dan bernegara. Sudah saatnya kita lakukan sebaik-baiknya,” kata Suryo Utomo dalam konferensi pers Sinergi Kemenkeu dan KPK dalam Pengawasan Pegawai Kemenkeu di Jakarta, Rabu (1/3/2023).

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Penolakan pajak yang berujung pada perlawanan rakyat dalam definisi kolonial Belanda disebut pemberontakan, atau diistilahkan Perang Belasting.</div>

Seruan untuk tidak membayar pajak bukanlah gagasan baru. Di zaman kolonial Belanda, seruan ini benar-benar menjadi aksi penolakan yang berdarah-darah dan melahirkan para syuhada. Pada Juni 1908, penolakan membayar pajak masif berlangsung di sejumlah nagari di Dataran Tinggi Minangkabau (Padangsche Bovenlanden).

Penolakan pajak yang berujung pada perlawanan rakyat dalam definisi kolonial Belanda disebut pemberontakan, atau diistilahkan Perang Belasting, berlangsung pada 15-16 Juni 1908. Paling sohor, dan yang memulai adalah Kamang, sebuah nagari di timur kota Bukittinggi. Selain Kamang, Perang Belasting juga terjadi di Lubuk Alung, Kayu Tanam, Pariaman, pinggiran Danau Singkarak seperti Malalo, Pandai Sikek, Tilatang, Magek, Panyalaian, dan Tanjung Barulak.

“Periode kedua dalam Belasting dimulai pada 15 Juni 1908. Setiap hari (15-16 Juni), ratusan orang (penduduk) memberontak dan tak takut mati dalam menanti pasukan Hindia Belanda yang membawa bayonet dan senjata,” demikian nukilan berita Sumatra Bode, 2 Januari 1909.

Untuk memadamkan api perlawanan rakyat ini, pemerintahan kolonial mengirimkan 20 batalion tentara ke Sumatra Barat.

Penulis sejarah Rusli Amran menjelaskan, tatkala budidaya kopi tak lagi menguntungkan, maka di tahun 1908, pemerintah kolonial menghapuskan sistem tanam paksa tersebut dan menjalankan pajak perorangan.

Ide pajak langsung sebagai solusi mandeknya budidaya kopi ini muncul dari sebuah konferensi di Bukittinggi pada Februari 1905. Namun dalam konfrensi itu, muncul pandangan bahwa pemaksaan pajak pada penduduk akan berbenturan dengan sendi tata cara hidup orang Minang yakni harato pusako (pusaka tinggi). Harato pusako merupakan warisan dalam sistem kekerabatan matrilineal yang tak boleh dijual begitu saja.

Singkat cerita, Gubernur Jenderal J.B. van Heutzs, yang diangkat pasca-Perang Aceh, punya beban untuk mencari uang sebanyak-banyaknya. Uang itu untuk menggantikan kas yang sebelumnya tergerus untuk operasional Perang Aceh.

“Persetan dengan adat pusako. Jalankan pajak segera! Sekarang bukan lagi zaman Pidari. Kalau kita takut menyentuh harato pusako, berarti kita memberi kesempatan pada rakyat untuk tidak membayar pajak karena mereka akan selalu berlindung di belakang harato pusako itu. Kalau toh rakyat menganggap keramat harato pusako itu, maka seharusnya mereka berusaha sekuat tenaga membayar pajak dari sumber-sumber lain. Kalau setiap orang menunaikan tugasnya, harato pusako tidak akan digerogoti!” tulis Rusli Amran mengulang pernyataan Heutzs, dalam Sumatra Barat Plakat Panjang.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Pemaksaan peraturan pajak pada akhirnya menimbulkan pemberontakan rakyat serempak di Sumatra Barat.</div>

Titah sudah keluar dari mulut Heutzs, kemudian digodok menjadi peraturan pemerintah. Tepat 21 Februari 1908, dikeluarkan tiga Peraturan Pemerintah No. 93, 95, dan 96. Ketiga peraturan ini dimuat dalam Lembaran Negara lima hari kemudian. Pemberlakuannya dimulai sejak 1 Maret 1908.

Peraturan Pemerintah No. 93 menetapkan pajak sebesar 2 persen terhadap semua penduduk di Sumatra Barat yang disebut pajak atas perusahaan dan pemasukan-pemasukan lainnya.

“Tetapi yang terpenting ialah pasal 4. Dengan terang-terangan disebut bahwa pemasukan harta pusaka juga dikenakan pajak. Yang bertanggung jawab ialah mamak mewakili seluruh keluarga atau kaumnya,” ungkap Rusli.

Peraturan Pemerintah No. 95 memuat pengenaan pajak 3 gulden setahun untuk potong hewan seperti sapi, kerbau, dan kuda. Sementara untuk babi dikenakan pajak 1,5 gulden. Lalu, Peraturan Pemerintah No. 96 menghapuskan penyerahan wajib kopi pada pemerintah sekalian budidaya kopi per tanggal 1 Maret 1908.

Menurut Rusli, langkah yang diambil Gubernur Jenderal Heutzs adalah suatu tindakan menentang banyak hal. Ia tak hirau dengan nasihat gubernur jenderal sebelumnya. Ia menafikan keputusan konferensi yang digelar di Bukittinggi tiga tahun sebelumnya.

Heutzs bahkan tidak memedulikan nasihat Residen Sumatra Barat Taylor Weber yang telah mengingatkan, agar harato pusako di Minangkabau jangan sekali-kali diganggu gugat. Apalagi peraturan pajak ini jelas-jelas mengkhianati Plakat Panjang, konvensi 25 Oktober 1833, rentang waktu Perang Pidari.

Plakat Panjang merupakan solusi damai yang ditawarkan Belanda kepada masyarakat Minangkabau. Isinya antara lain, tidak saling berperang, residen atau pejabat pemerintahan di pantai tak boleh ikut campur pemerintahan di nagari, pemerintah tidak akan mengadakan pajak berupa uang lagi tapi berharap perluasan penanaman kopi dan lada untuk kepentingan bersama.

Pada akhirnya, Weber mengundurkan diri setelah peraturan pajak diumumkan. Ia tak mau bertanggung jawab atas segala akibatnya.

Weber benar. Pemaksaan peraturan pajak pada akhirnya menimbulkan pemberontakan rakyat serempak di Sumatra Barat. Perlawanan mulai bermunculan pada pertengahan Juni 1908. Sejumlah nagari di Sumatra Barat, terutama Dataran Tinggi Minangkabau, berkecamuk. Mengangkat kelewang kemudian direspons Belanda dengan menembakkan senjata api.

Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz. (Rijksmuseum/Wikimedia Commons).

Tiga Bulan Masa Bersiap

Muhammad Danan (90), kini menyandang penghulu kaum bersuku Simabur dengan gelar Angku Datuak Panghulu Nan Itam, mendapatkan kisah perlawanan itu dari orang tuanya. Gelar yang menempel di belakang namanya adalah gelar sako, gelar pusaka tinggi yang diwariskan turun-temurun kepada seorang lelaki untuk memimpin kaumnya menurut garis matrilineal. Gelar ini pernah melekat pada dedengkot Perang Rakyat Tanjung Barulak saat menentang pajak tahun 1908.

Danan yang waktu itu masih muda, bahkan melihat baju hitam penuh tebuk selongsong peluru. “Saya ketemu baju hitam, banyak tabuk (lubang atau tebuk) oleh peluru. Diserahkan ke rang gaek (orang tua), dan kemudian beliau mengatakan bahwa ini baju yang dipakai waktu perang masjid oleh Dt. P. Nan Itam.”

Danan banyak mendapatkan cerita menarik dalam perang itu. Seperti Angku Dt. P. Nan Itam yang tidak mempan ditembak. Dada Dt. P. Nan Itam sebenarnya menjadi sasaran peluru dengan bukti baju yang dikenakannya pada waktu itu, banyak bolong bekas kena peluru. Namun ia tak gugur.

Tanjung Barulak saat itu dipimpin kepala nagari bernama Angku Dt. Rajo Lelo. Pemberlakuan bayar pajak yang ditolak keras, disadari oleh kaum adat dan kaum agama kelak akan berujung perang. Maka di sejumlah surau, pengajian yang bahkan berupa kaji batin diintensifkan.

Di surau Tuk Husein, misalnya. Di sana para, ulama berkumpul sebelum perang melawan pemberlakukan pajak.

“Tiga bulan lamanya masa-masa menolak pajak sejak mulai diberlakukan, kajian di surau Tuk Husein semakin bergelora. Banyak yang ikut pengajian itu. Gurunya adalah Katik Sutan dari Maninjau. Di sana dipelajari ilmu batin. Dan di sela itu juga bagaimana mengasah senjata seperti kelewang,” ungkap Danan.

Masa-masa yang sudah diperkirakan itu akhirnya menjadi nyata. Di pertengahan Juni 1908 itu, pertempuran pecah tak terelakkan.

Balaikota Minangkabau di Batipuh antara tahun 1910 dan 1930. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

Perang Basosoh

Tanjung Barulak hari ini berada di Kecamatan Batipuh, Tanah Datar, Sumatra Barat. Ia merupakan nagari yang dibelah Jalan Lintas Sumatra.

Pada 13 Juni 1908, petugas pajak menyambangi Nagari Tanjung Barulak, 14 km selatan Kota Padang Panjang atau 3 km di utara Danau Singkarak. Empat kepala keluarga berikut kaumnya di Tanjung Barulak yang menerima nota tagihan pajak, dengan tegas menolak membayarnya.

Keesokan harinya, kepala laras pergi menemui mereka yang menolak membayar pajak. Hasilnya tetap nihil.

Selasa, 16 Juni 1908, pemerintah kolonial mendapat bocoran, nagari-nagari di selatan Padang Panjang akan memberontak sebagai wujud penolakan terhadap kebijakan pajak yang ada. Sebuah operasi militer ke selatan Padang Panjang pun diluncurkan.

Dalam operasi militer ini, bivak didirikan di Nagari Bungo Tanjung dan juga Nagari Batu Taba, pinggiran Danau Singkarak. Bivak di Bunga Tanjung dipimpin Letnan Baptis. Pendirian bivak ini tak terlepas dari operasi militer untuk menekan penduduk yang diinformasikan menolak kebijakan pajak.

Tanggal 16 Juni 1908 itu juga, pasukan kolonial di bawah komando Kapten Van Nieuwland digerakkan. Dari Bunga Tanjung, para serdadu berjalan ke arah selatan atau hilir. Tujuannya Tanjung Barulak dan Malalo, nagari di sisi barat Danau Singkarak.

Berkat laporan mata-mata, sudah ada 19 orang penduduk yang diidentifikasi akan mengadang pasukan Belanda di Tanjung Barulak. Di Tanjung Barulak, pasukan ini mencari rumah mereka yang dianggap aktor utama dalam menolak kebijakan pajak namun gagal didapatkan.

Orang-orang sedari pagi sudah memenuhi masjid mudiak atau masjid nagari di Jorong Palembayan, Nagari Tanjung Barulak. Di seberang masjid beratap ijuk itu berdiri kokoh bukit kecil bernama Limau Puruik. Masjid yang penuh sesak itu ramai oleh kumandang bacaan zikir.

Seorang mata-mata mengarahkan pasukan Belanda tersebut ke masjid itu. Informasinya di sana banyak yang berkumpul untuk menanti kedatangan pasukan Belanda. Mereka disebut-sebut siap untuk mati demi mempertahankan penolakan membayar pajak.

Menjelang siang, pasukan Belanda berjalan ke arah hilir (menuju Tanjung Barulak) dari Pitalah Bunga Tanjung, namun diketahui warga Tanjung Barulak bernama Pandeka Rafiun. Secepat kilat ia ke masjid, lalu memukul beduk masjid. Kepada mereka yang tengah berkumpul di masjid, Pandeka menyorakkan bahwa posisi pasukan Belanda sudah di Kapalo Koto, kurang 1 km dari Masjid Nagari Tanjung Barulak.

Tak berselang lama, Belanda datang. Utusan mereka kemudian menjemput A. Dt. Rajo Lelo. Diwanti-wantinya Dt. Rajo Lelo, masjid akan dibakar jika rakyat di sana bertahan di dalam masjid dan tak menyerahkan diri.

Juru bicara pasukan Belanda meminta mereka yang ada di masjid (surau) untuk keluar. Namun hanya lima pria yang muncul keluar. Tidak ada tembakan yang menembus dinding masjid karena hanya perempuan yang ada di dalam.

“Dibawa juga orang Maninjau bergelar Katik juga. Dibujuknya orang keluar dari masjid. Diminta serahkan senjata ke Belanda, kita (kata Katik) tidak mungkin melawan Belanda,” kisah Danan.

Seketika, alarm berbunyi di masjid itu. Pasukan Belanda dikepung oleh banyak orang dalam upaya melucuti senjata mereka.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Orang-orang itu bertarung sampai mati, atau lebih tepatnya, mencari kematian daripada harus tunduk pada tindakan administratif terkait pajak</div>

Surabaiasch Handelsblad memberitakan kejadian itu pada terbitan Kamis, 18 Juni 1908. Diterangkan, kala pasukan Belanda mendekati masjid itu, ada sekitar 16 orang, terdiri dari lelaki dan perempuan di sana.

Danan kemudian melanjutkan, Katik Kayo terpengaruh. Ia serahkan senjatanya. Dalam proses penyerahan senjata itu, Dt. Pangulu Nan Itam dengan sekelebat menghunuskan pisau ke salah seorang serdadu Belanda. Serdadu itu rebah dan seketika meninggal.

Kecamuk pun terjadi. Dt. Pangulu Nan Itam ditembak. Tapi ia tidak meninggal. Hanya terasa sedikit sakit dan rebah ke arah sungai kecil di samping masjid. Dt. P. Nan Itam ini, kata Danan, baru meninggal tahun 1914.

“Atas perintah seorang haji tua, pasukan itu kemudian diserang oleh orang-orang yang berpunuk, sehingga terjadilah perkelahian terlebih dahulu,” tulis Surabaiasch Handelsblad.

Perlawanan rakyat Tanjung Barulak dipimpin oleh Katik Kayo. Di belakangnya, ada tiga orang yang menjadi wakil komandan: Dt. P. Nan Itam, Datuak Tianso, dan Datuak Damuanso.

Perang Basosoh (sesuatu di luar batas kewajaran, liar, gigih, tak takut mati) pun tak terelakkan.

“Orang-orang itu bertarung sampai mati, atau lebih tepatnya, mencari kematian daripada harus tunduk pada tindakan administratif terkait pajak,” demikian penggalan berita di laman Surabaiasch Handelsblad.

Pertempuran begitu sengit. Percikan darah membasahi tanah di lokasi yang masih sama keadaannya sekarang: masjid dengan benteng bukit Limau Puruik itu.

Dalam Perang Basosoh, ada lakon yang mencuat bernama Ansa. Ia membawa pasukan Belanda satu lawan satu. Oleh pasukan Belanda, Ansa ditembak tapi berhasil mengelak dengan lihai. Ansa adalah pesilat yang cukup sohor di kampung itu.

Terbebas dari peluru, Ansa dengan cepat langsung menebaskan parang ke si Belanda. Lawan pun terkapar.

Danan mengatakan, komandan dalam operasi militer Belanda ini dibawa dari Aceh. Tatkala komandan ini sedang mengikat Masa Jamil (salah seorang yang ikut perang dari Tanjung Barulak), leher sang komandan ditebas oleh si Balik. Ia langsung mati.

“Aceh kecil,” kata orang Belanda meratapinya, seperti ditirukan kembali oleh Danan. Julukan merendahkan itu terlontar sebab sang komandan itu tidak luka apapun dalam Perang Aceh yang hebat, tapi nyawanya justru melayang di nagari Tanjung Barulak.

Sebaliknya, si Balik kena tembak. Perang semakin berkobar. Setelah komandan Belanda mati, seorang letnan naik ke atas bukit Limau Puruik. Ia menembakkan peluru secara membabi buta ke arah masjid palagan Perang Basosoh.

“Mertua saya bernama Tankin gelar Pangeran ikut perang itu, mengalami luka-luka,” ujar Danan.

Kibasan kelewang atau janok penduduk ada yang berhasil menumpahkan darah di pihak Belanda. Korbannya antara lain Letnan Van Gumster dan Sersan Horn. Pergelangan tangan kiri mereka tertebas parang. Asisten Residen De Nijs yang ikut, pun menderita dislokasi pinggul akibat jatuh.

Sementara pasukan Belanda menggunakan karabin dan senjata api untuk menghentikan perlawanan. Belasan orang gugur.

“Di afdeling (afdeeling) Batipuh dan Sepuluh Koto, asisten residen, inspektur di bawah perlindungan departemen polisi militer (Marehaussee) di bawah komando Kapten Van Nieuwland, pergi ke laras Boenga Tandjoeng (Nagari Tanjung Barulak termasuk bagian Kelarasan Bunga Tanjung masa itu), yang terletak di dekat Danau Singkarak, untuk menyelidiki penyimpangan sehubungan dengan pajak yang akan diperkenalkan. Di Negari Tandjoeng Barulak, pejabat tersebut menemukan kerumunan (orang-orang) berkumpul di masjid, yang dengannya pasukan bentrok. Untuk alasan apa kita tidak tahu. Satu sersan pribumi tewas, Letnan Van Gumster dan dua anak di bawah umur luka serius dan lima anak di bawah umur luka ringan, sementara di pihak pribumi 14 orang tewas dan satu terluka,” tulis De Sumatra Post terbitan 30 Juni 1908.

Masjid Raya Syuhada di Tanjung Barulak, Sumatra Barat. (Yose Hendra/Historia.ID).

Data korban agak berbeda didapatkan pada sebuah prasasti di pojok atas sisi tangga ke masjid. Ada 19 nama yang menjadi korban dipahat di prasasti itu. Kebanyakan niniak mamak (penghulu atau pimpinan kaum atau suku).

Dua belas orang yang gugur dalam pertempuran itu yakni Taher, Tamin, Katik Kayo, Dt. Damuanso, Dt. Bagindo, Dt. Garanggu, Dt. Talelo, Pakiah Kayo, Dt. Sipado, Gindo Malin, Dt. Tianso, dan Balik. “Sebagian dikubur di masjid, sebagian dibawa pulang,” kata Danan.

Sementara tujuh orang mengalami luka, yakni Dt. P. Nan Itam, Pasa Jamil, Pakiah M. Lelo, R. Gindo Malin, L. Pk. Basa, Tankin, dan Kaimah.

Di pihak Belanda, orang yang meninggal dan luka-luka dibawa ke stasiun kereta api di Simpang (masih di Tanjung Barulak). Sore itu juga, kereta terakhir membawa Letnan Van Gumster dan delapan personel lain yang terluka parah untuk dirawat di rumah sakit di Padang Panjang.

Usai pertempuran hebat itu, pada 18 Juni 1908, penduduk Tanjung Barulak mencari tahu pengkhianat atau mereka yang membantu pihak kolonial. Pada akhirnya, diketahui seorang penghulu telah bersengkokol.

Tak berselang lama, seorang penghulu kepala dibunuh penduduk di Tanjung Barulak. Selain itu, malam 17 Juni 1908 itu juga penduduk ramai-ramai mendatangi bivak Letnan Baptis di laras Bunga Tanjung.

Perang Basosoh berhasil dipadamkan pasukan Belanda. Sejumlah orang Tanjung Barulak kemudian ditangkap, dibawa ke Padang Panjang.

“Dibawa orang-orang itu ke Padang Panjang, dan mau dioper ke luar (negeri lain). Tapi oleh jaksa asal (danau) Maninjau yang bertugas di Padang Panjang, ia bantah dasar atau alasan untuk mengoper mereka ke luar. Tidak bisa katanya. Kenapa tidak bisa? Tuan-tuan salah, masuk nagari orang tidak permisi. Jaksa itu menyebut kesalahan Belanda. Akhirnya mereka hanya ditahan di Padang Panjang,” beber Danan.

Masjid yang menjadi palagan pada Juni 1908 silam sudah berupa bentuk, tapi tetap di lokasi yang sama. Untuk menghormati para pejuang dan mereka yang meninggal dalam peristiwa itu, masjid kemudian diberi nama Masjid Raya Syuhada.*

Penulis adalah kontributor Historia.ID di Padang, Sumatra Barat.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64198085c1e726cd2f0e44c8