Tarian Perang Pangeran Sambernyawa

Di saat perang, tari dan iringan musik bergema. Tiga perang besarnya diabadikan dalam bentuk tari bedaya.

OLEH:
Yudi Anugrah Nugroho
.
Tarian Perang Pangeran SambernyawaTarian Perang Pangeran Sambernyawa
cover caption
Tari Bedhaya Diradameta. (Koleksi Wishnu Sudarmadji).

RADEN Mas (RM) Said dan pasukannya bergerak menghindari kejaran pasukan gabungan Kompeni. Semangat mereka meredup. Mereka lalu beristirahat di Nganjuk, selatan Taji. Gending dimainkan. Sinden beraksi. Pertunjukan tari bedaya, yang sudah hadir di lingkungan istana sejak masa Hindu, dimulai. Para prajurit bersorak-sorai bak merayakan kemenangan. Selain menghibur, RM Said ingin meningkatkan rasa percaya diri pasukannya.

Keesokan harinya pasukan RM Said bergerak ke arah tenggara. Mereka lalu bertahan di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang. Pasukan Kompeni pun bergerak ke sana. Pertempuran tak terelakkan.

RADEN Mas (RM) Said dan pasukannya bergerak menghindari kejaran pasukan gabungan Kompeni. Semangat mereka meredup. Mereka lalu beristirahat di Nganjuk, selatan Taji. Gending dimainkan. Sinden beraksi. Pertunjukan tari bedaya, yang sudah hadir di lingkungan istana sejak masa Hindu, dimulai. Para prajurit bersorak-sorai bak merayakan kemenangan. Selain menghibur, RM Said ingin meningkatkan rasa percaya diri pasukannya.

Keesokan harinya pasukan RM Said bergerak ke arah tenggara. Mereka lalu bertahan di hutan Sitakepyak, sebelah selatan Rembang. Pasukan Kompeni pun bergerak ke sana. Pertempuran tak terelakkan.

Kalah jumlah pasukan tak membuat RM Said gentar. Pasukannya berjuang mati-matian. RM Said berhasil memenggal kepala Kapten Van der Pol yang memimpin pasukan Kompeni, menjinjingnya, lalu mempersembahkannya untuk Mbok Ajeng Wiyah, panglima pasukan perempuannya.

“Mbok Ajeng Wiyah minta kepala Van der Pol kepada Pangeran Sambernyawa apabila dirinya bersungguh-sungguh ingin meminangnya,” ujar KRT Agus Haryo Sudarmojo, 40 tahun, keturunan keenam Mangkunegara I dan penulis buku Kepahlawanan dan Inspirasi Pangeran Sambernyowo.

Kendati pertempuran di hutan Sitakepyak pada 1756 itu merupakan yang terberat, RM Said meraih kemenangan –dan karenanya ia mendapat julukan Pangeran Sambernyawa. Dan kesenian berperan penting dalam memompa semangat pasukannya. Bahkan, tulis Zainuddin Fananie dalam Restrukturisasi Budaya Jawa: Perspektif KGPAA Mangkunegara I, RM Said memiliki korps kesenian yang bertugas memompa semangat. Saat perang, korps ini mengalunkan tembang di atas kuda dan mengiring di belakang pasukan yang tengah bertempur.

Tari Bedhaya Anglirmendhung. (Jibi Photo).

Awal Perlawanan

RM Said, yang lahir di keraton Kartasura pada 25 April 1725, tumbuh dengan penuh keprihatinan. Ayahnya, KPA Mangkunegara, putra Amangkurat IV (Pakubuwana I), difitnah berzina dengan seorang selir Pakubuwana I sehingga dibuang ke Ceylon (Sri Lanka) sebelum dipindahkan ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan.

Saat RM Said berusia 16 tahun, pasukan Tionghoa di bawah Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning menyerang dan menguasai keraton. Pakubuwana II, yang naik takhta karena dukungan VOC, melarikan diri. Begitu juga para bangsawan, seperti Pangeran Mangkubumi, putra Amangkurat IV dari selir. RM Said sendiri, bersama teman-temannya, menuju desa Nglaroh, tanah kelahiran neneknya. “Teman-temannya inilah yang nantinya menjadi pasukan inti tentara RM Said,” tulis Zainuddin Fananie. Di sana ia menyusun kekuatan dan bergabung dengan Sunan Kuning.

Pemberontakan dipadamkan Mangkubumi, yang diiming-imingi kekuasaan oleh Pakubuwana II. Karena Pakubuwana II ingkar, Mangkubumi bergabung dengan RM Said. Ia bahkan menikahkan putrinya, RA Inten, dengan RM Said.

Ketika Pakubuwana II wafat, RM Said menobatkan Mangkubumi sebagai raja Mataram. “Di titik inilah terdapat dua versi Pakubuwana III. Namun Pakubuwana III versi VOC kalah pamor dibanding Pakubuwana III versi rakyat Mataram,” ujar Agus Haryo.

Persekutuan ini pecah kongsi ketika Mangkubumi duduk di meja perundingan, yang melahirkan Perjanjian Giyanti. Tak setuju dengan perjanjian itu, RM Said berjuang melawan mertuanya yang menjadi Sultan Hamengkubuwana I (Kesultanan Yogyakarta) serta VOC dan Kasunanan Surakarta.

RM Said bertempur selama 16 tahun. Ia menugaskan seorang juru tulis perempuan dari laskar putri Ladrang Mangungkung untuk mencatat setiap kejadian di medan perang. Catatan harian itu kemudian dihimpun dalam Babad Lelampahan yang ditulis dalam bentuk tembang. Dari ratusan pertempuran yang dihadapinya, terdapat tiga pertempuran dahsyat yang kemudian diabadikannya dalam tari bedaya.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">RM Said mengabadikan perjuangannya dalam tari Bedhaya Anglirmendhung, yang berarti bagaikan langit di kala mendung.</div>

Langit di Kala Mendung

Pertempuran dahsyat pertama terjadi di benteng pertahanan RM Said di desa Kasatriyan, sebelah barat daya Ponorogo, pada 1752. Pasukan RM Said berhasil memukul mundur pasukan Pangeran Mangkubumi, mertuanya. RM Said mengabadikan perjuangannya dalam tari Bedhaya Anglirmendhung, yang berarti bagaikan langit di kala mendung.

Menurut Wahyu Santosa Prabowo dkk. dalam Sejarah Tari: Jejak Langkah Tari di Pura Mangkunagaran, penggambaran peperangan diwujudkan dalam tembang Durma. Tembang ini mengisi bagian utama tarian. Bagian kedua menggunakan syair Ketawang Tinon Asri, yang melukiskan suasana sukacita setelah menang perang. Sedangkan bagian ketiga menggunakan syair Ketawang Mijil Asri, yang menggambarkan puja-puji terhadap RM Said.

Tari ini dipagelarkan saat penobatan RM Said menjadi Mangkunegara I pada 17 Maret 1757. Penarinya berjumlah tiga orang. Pistol, sebagai aksesoris tarian, diselipkan di pinggang kiri penari. Bedhaya Anglirmendhung juga dipentaskan pada peringatan hari kelahiran Mangkunegara I pada 1787.

Pada 1790, Mangkunegara I menyerahkan tari ini kepada Pakubuwana IV. Wahyu Santosa Prabowo dkk. menduga, penyerahan ini merupakan upaya menjalin dan menyambung tali persaudaraan yang hampir putus karena perang perebutan takhta sesama trah Mataram.

Setelah Mangkunegara I wafat pada 1796, tari ini tak lagi digelar dalam acara penobatan dan hari lahir raja. Namun ia masih dilestarikan. Ketika diambil sebagai menantu oleh Pakubuwana V pada 1835, Mangkunegara III mempersembahkan tari ini kepada mertuanya. Di Kasunanan, Bedhaya Anglirmendhung diturunkan pangkatnya menjadi Srimpi. Alasannya politis, “karena status Mangkunegaran yang menurut padangan Kasunanan berada di bawah Kasunanan,” tulis Wahyu Santosa Prabowo dkk. Syair dan gending pun mengalami perubahan.

Pada 1981 atas prakarsa Mangkunegara VIII, Bedhaya Anglirmendhung direkonstruksi dan kembali ke Pura Mangkunegaran sebagai kelengkapan upacara resmi saat peringatan kenaikan takhta. Setelah era Mangkunegara IX, tari ini dimainkan tujuh penari dengan busana dodot alas-alasan (tanpa kaligrafi).

Bedhaya Anglirmendhung merupakan suatu proyeksi dari status Mangkunegaran yang tidak ubahnya seperti raja-raja Jawa. Walaupun Mangkunegaran berbentuk kadipaten, akan tetapi memiliki wilayah pemerintahan sendiri, jadi dalam kenyataannya kedudukan Mangkunegaran tidak di bawah keraton,” tulis Wahyu Santosa Prabowo, dkk.

Kiri: Monumen Tri Dharma Astana Mangadeg. (Public domain). Kanan: Penari Bedhaya Anglir Mendung. (Koleksi Wishnu Sudarmadji).

Gajah Mengamuk

Pertempuran dahsyat kedua terjadi di hutan Sitakepyak pada 1756. Untuk mengenang perlawanan dan jasa kelima belas prajuritnya yang gugur, RM Said menciptakan tari Bedhaya Diradhameta, yang berarti gajah mengamuk. Tarian ini dimainkan tujuh penari pria, dan seluruh penabuhnya juga pria.

Setelah lebih dari seratus tahun tak dipagelarkan, pada 2006, jurusan tari ISI Surakarta berinisiatif menggali dan merekonstruksi tari ini. “Kesulitan sumber daya manusialah yang membuat tari Bedhaya Diradhameta menjadi hilang,” ujar Wahyu Santoso Prabowo, 60 tahun, praktisi tari dan pengajar jurusan tari ISI. Sulit menemukan pria yang dapat menarikannya.

Hasil rekonstruksi ditampilkan dalam acara peringatan 250 berdirinya Praja Mangkunegaran pada 17 Maret 2007. Komposisi penarinya berjumlah tujuh pria dengan properti senjata berupa tombak dan panah. Menurut Wahyu, pola lantai merupakan cerminan dari penataan posisi pasukan dan strategi perang Pangeran Sambernyawa. Ungkapan kesedihan atas gugurnya pasukan inti (punggawa baku) terungkap dalam gending.

Pementasan didahului dengan membaca Al-Fatihah. “Itu sudah menjadi warisan sebagai ajaran RM Said. Jika tidak dibacakan Al-Fatihah, lebih baik tidak dipentaskan,” ujar Agus Haryo.

Bedhaya Diradhameta pernah dipentaskan di Museum Nasional pada Agustus 2007 dan Teater Salihara pada November 2008.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">RM Said mengubah tari Bedhaya Sukapratama, yang berarti kesukacitaan yang utama. Sayangnya, hingga kini, jejak tari ini masih kabur.</div>

Mencari Kesukacitaan Utama

Pertarungan dahsyat ketiga terjadi pada 1757. Ulah pasukan VOC yang membakar desa dan merampas harta penduduk Nglaroh membuat RM Said murka. Ia melancarkan serangan dadakan ke Benteng Vredeburg, tak jauh dari keraton Yogyakarta. Pasukan VOC kocar-kacir dan melarikan diri ke dalam istana. Pasukan RM Said mengejar dan terjadilah pertempuran hebat. Menjelang malam, RM Said menarik pasukannya.

Dari pertempuran ini, RM Said mengubah tari Bedhaya Sukapratama, yang berarti kesukacitaan yang utama. Tarian ini dipentaskan dengan tujuh penari pria. Sayangnya, hingga kini, jejak tari ini masih kabur. “Saat ini kami tengah merangkul akademisi dan praktisi tari, guna melengkapi monumen perjuangan RM Said, yaitu tari ketiga Bedhaya Sukapratama,” ujar Agus Haryo.

“Data mengenai Bedhaya Sukapratama sulit digali, terutama syair dan gendingnya,” ujar Wahyu Santosa Prabowo.

Setelah penyerangan Benteng Vredeburg, atas desakan VOC, Pakubuwana III mengajak Mangkunegara berunding. Perdamaian pun tercipta. RM Said mendirikan istana di pinggir Kali Pepe, yang kini dikenal sebagai istana Mangkunegaran. Melalui Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757, RM Said diangkat sebagai adipati miji (mandiri) dengan kedudukan sejajar dengan sunan dan sultan. Ia menyandang gelar Kanjeng Pangeran Adipati Arya Mangkunegara.

Kesenian merupakan bagian tak terpisahkan dari perjuangan RM Said, yang kemudian diangkat sebagai Pahlawan Nasional.*

Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 17 Tahun II 2014.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64140eba2810c5ff2bd851e7