Pemerintah Orde Baru menyalurkan kondom melalui pos dan penjualan jamu. Kampanye alat kontrasepsi laki-laki ini gagal di antaranya karena kondom dianggap mengurangi kenikmatan.
Presiden Soeharto meresmikan pabrik pembuatan kondom di Jawa Barat pada 25 Februari 1987. (Repro Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya).
Aa
Aa
Aa
Aa
SELEPAS meraih gelar doktor antropologi dari Australian National University (ANU), Masri Singarimbun memutuskan menetap di Australia. Dia bekerja sebagai pembantu Atase Militer KBRI di Canberra sekaligus research fellow di ANU.
Pada 1973, ketika menghadiri sebuah pertemuan ilmiah di Australia, Rektor UGM Sukadji Ranuwihardjo menemuinya dan membujuknya pulang untuk mengembangkan almamaternya. Masri menerima tawaran itu, selain juga ingin membesarkan anak-anaknya di Indonesia. Pada tahun itu juga dia kembali ke Yogyakarta.
Selain mengajar, Masri mendirikan Lembaga Kependudukan UGM atau LK-UGM (kini, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan atau PSKK-UGM) dengan bantuan dana dari Ford Foundation dan menjadi direkturnya.
Melalui LK-UGM, Masri dan kolega melakukan sejumlah penelitian mengenai masalah kependudukan, terutama bagaimana agar program Keluarga Berencana (KB) berjalan efektif. Salah satunya mengenai penggunaan alat kontrasepsi kondom.
SELEPAS meraih gelar doktor antropologi dari Australian National University (ANU), Masri Singarimbun memutuskan menetap di Australia. Dia bekerja sebagai pembantu Atase Militer KBRI di Canberra sekaligus research fellow di ANU.
Pada 1973, ketika menghadiri sebuah pertemuan ilmiah di Australia, Rektor UGM Sukadji Ranuwihardjo menemuinya dan membujuknya pulang untuk mengembangkan almamaternya. Masri menerima tawaran itu, selain juga ingin membesarkan anak-anaknya di Indonesia. Pada tahun itu juga dia kembali ke Yogyakarta.
Selain mengajar, Masri mendirikan Lembaga Kependudukan UGM atau LK-UGM (kini, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan atau PSKK-UGM) dengan bantuan dana dari Ford Foundation dan menjadi direkturnya.
Melalui LK-UGM, Masri dan kolega melakukan sejumlah penelitian mengenai masalah kependudukan, terutama bagaimana agar program Keluarga Berencana (KB) berjalan efektif. Salah satunya mengenai penggunaan alat kontrasepsi kondom.
“Pak Masri sering disebut sebagai ‘bapak kondom’ karena ke mana-mana selalu membawa kondom. Beliau merasa itu bukan hal yang buruk melainkan positif agar orang semakin akrab dengan kondom,” ujar Muhadjir Darwin, salah satu staf peneliti senior di PSKK-UGM, dikutip Media Center PSKK-UGM.
Untuk tahu penerimaan khalayak terhadap kondom, Masri menguji di lingkungan terdekatnya. Suatu kali, dia sengaja menaruh sepiring kondom di meja kerjanya di Fakultas Ekonomi UGM dengan sebuah tulisan “silakan ambil”. Beberapa hari kemudian, jumlah kondom tak berkurang. Dia mencoba libur sehari. Ketika masuk kantor dia menemukan jumlah kondom di piring berkurang. Dia berkesimpulan, masyarakat membutuhkan kondom tapi masih “malu-malu mau”. Maka, dibuatlah Proyek Kondom Melalui Pos.
Menimbang Kontrasepsi
Ketika Masri memulai aktivitasnya, pemerintah tengah gencar menjalankan program KB setelah bertahun-tahun tak hirau dengan ancaman ledakan penduduk serta perlunya kesehatan ibu dan anak.
KB sebenarnya sudah dimulai pada 1950-an melalui aktivitas Yayasan Kesejahteraan Keluarga (YKK) dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Selain menghadapi protes dari masyarakat, tantangan utama justru datang dari pemerintah. Kendati bersimpati pada KB, Presiden Sukarno belum menganggap penting masalah pertumbuhan penduduk. Dia juga melihat aspek moralitas dan potensi oposisi dari kalangan agama. Sama seperti Sukarno, Soeharto juga bersikap hati-hati.
Pada akhirnya Soeharto menerima anjuran para teknokrat dan lembaga donor untuk menandatangani Deklarasi Pemimpin-pemimpin Dunia mengenai Kependudukan yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember 1967. Sejak itu program KB menjadi bagian integral dari pembangunan nasional.
Untuk mengumpulkan pandangan dari kalangan agamawan, Panitya Adhoc Keluarga Berentjana yang merupakan bagian dari Departemen Kesehatan membuat diskusi panel pada Februari 1967. Hasil diskusi diterbitkan jadi buku Pandangan Agama tentang ‘Keluarga Berentjana’. Isinya mendokumentasikan penerimaan umum atas prinsip-prinsip KB oleh kalangan agama.
“Diskusi dan pamflet itu menangkap momen penting dalam perubahan sosial, sebuah titik perubahan ketika konsensus nasional seputar moralitas dari KB berubah dari sangat negatif menjadi sangat positif,” tulis Terence H. Hull dalam “Formative Years of Family Planning in Indonesia”, termuat di The Global Family Planning Revolution suntingan Warren C. Robinson dan John A. Ross.
Pada November 1968 pemerintah mendirikan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN), yang kemudian menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN). Mulailah BKKBN bergerak.
Di awal BKKBN berdiri, ada tiga metode kontrasepsi yang digunakan akseptor KB. Terbanyak pengguna intrauterine device (IUD), disusul pil dan terakhir kondom. Saat itu satu dokter harus melayani 21 ribu orang atau 3.750 perempuan subur. Dari sinilah muncul ide dari kelompok profesional tentang perlunya penyebaran kontrasepsi nonmedis di luar klinik. Keinginan itu tak bertepuk sebelah tangan. Sejak 1973, BKKBN menggandeng institusi macam LK-UGM dan Yayasan Sejahtera Indonesia (YIS).
Kondom Melalui Pos
Sebuah iklan mini begitu menarik perhatian. Bunyinya: “Kepada Anda akan dikirim tiga kondom jika Anda mengirim prangko Rp30 kepada Dwijaya, Kotak Pos 85 Yogyakarta; untuk buku KB kirim perangko Rp50.”
Iklan tersebut dimuat di harian Kompas dan Kedaulatan Rakyat setiap minggu selama September-Oktober 1973. Pemasangnya: Dwijaya, lembaga bentukan LK-UGM. Sontak, 346 pemesan berdatangan dari beberapa wilayah di Indonesia. Uji coba Masri mendapat respons positif dari khalayak.
“Itu jelas kontroversial. Banyak yang menentang beliau terutama dari kaum ulama. Namun, dia tetap melakukan itu karena tujuannya positif,” ujar Muhadjir.
Sempat berhenti satu setengah tahun, dengan sokongan dana dari USAID dan BKKBN, LK-UGM kembali memuat iklan penjualan kondom. Kali ini ukuran iklan diperbesar menjadi satu kolom (4,3 x 10 centimeter). Mereka tak lagi menyebut “kondom” dalam iklannya tapi “karet KB”. Alasannya untuk mengganti citra tabu yang lama melekat pada kondom.
Secara bergantian iklan itu dipasang di beberapa media nasional dan lokal selama April–September 1975. Iklan tersebut menyebutkan pemesan cukup mengirim perangko senilai Rp45 untuk mendapat 9 karet KB dan Rp30 untuk 6 karet KB. Pada iklan bulan September, diubah menjadi Rp75 untuk 15 kondom dan Rp45 untuk 9 kondom. Selain itu, ada tambahan teks “aman dan ampuh untuk ber-KB” dan “cara suami cara termudah”.
Semua surat pemesanan yang tiba ke kantor pos di Yogyakarta, setiap hari diambil petugas dari Dwijaya dan dibawa ke kantor. Mereka menempati ruangan berukuran 2 x 4 meter di LK-UGM.
“Dengan frekuensi iklan berjumlah 312 kali muat dalam 22 koran dan majalah, proyek ini telah menerima 12.204 surat pesanan selama setengah tahun,” seperti dikutip Kondom Melalui Pos: Laporan Setengah Tahun yang diterbitkan LK-UGM.
Proyek ini adalah rintisan untuk mencari bentuk layanan baru KB tanpa tatap muka. Sebab, biasanya pembeli kondom segan atau malu jika harus ke klinik atau toko obat.
BKKBN sendiri membuat Pos KB, semacam pusat distribusi kontrasepsi, yang dimulai tahun 1975. Di Pos KB, masyarakat dapat mendapatkan karet KB dengan gratis. Namun mereka lebih nyaman memesan melalui pos. “Keuntungan proyek ini adalah peminat tidak perlu malu seperti kalau ia berhadapan dengan petugas klinik atau penjaga toko obat,” tulis Masri Singarimbun dalam Laporan Kondom Melalui Pos: Tanggapan-tanggapan Penerima.
Namun, LK-UGM bukan satu-satunya yang melakoni aktivitas tersebut.
Kondom dan Jamu
Sekira 1974, Yayasan Indonesia Sejahtera (YIS) menjalin kerja sama dengan BKKBN dalam membantu pelayanan kontrasepsi nonmedis, khususnya kondom. Gagasan itu kemudian berkembang dengan menyalurkan kondom melalui penjualan jamu. Yang ditunjuk adalah perusahaan Jamu Jago di Semarang.
“Kondom diterima YIS dari BKKBN secara cuma-cuma, sedangkan perusahaan jamu membayar kepada YIS Rp12 untuk setiap 3 buah kondom,” tulis Research Institute in Social Sciences-Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, dalam laporan penelitiannya, Pemasaran Kondom Melalui Pembauran pada Jalur Komersial Jamu di Jawa Tengah.
Sama seperti Dwijaya, promosi dilakukan melalui iklan di media cetak. Selama Oktober 1975 sampai Maret 1976, mereka melakukan promosi sebanyak 350 kali. YIS juga beriklan di radio dan menyebarkan poster.
“Jamu Jago kala itu memiliki divisi propaganda berupa mobil iklan yang berkeliling ke pasar-pasar. Untuk menarik pembeli, ada orang-orang cebol yang turut di dalam mobil iklan tersebut,” ujar Jaya Suprana, generasi ketiga keluarga Tjoeng Kwaw Suprana, pendiri pabrik Jamu Jago, kepada Historia.
Harga yang dipatok Jamu Jago semula Rp20 untuk satu kemasan (berisi 3 kondom), sama dengan harga satu kemasan jamu, lalu meningkat menjadi Rp40 per kemasan. Harga ini tergolong murah. Bandingkan dengan harga kondom yang beredar di pasaran, misalnya merek Kingtex seharga Rp250 per 3 buah, Yelia Skin seharga Rp75 per 2 buah, atau Wrinkle Zero O seharga Rp650 per lusin.
Kerja sama YIS dengan Jamu Jago, dalam penelitian Research Institute in Social Sciences- Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, tidak jelas kapan berakhirnya. Sebab, pada 1978 pun masih ditemukan pengecer Jamu Jago yang menjual karet KB, meski tak segencar tahun sebelumnya.
“Pada kisaran 1970-an hingga awal periode 1980-an, penggunaan kondom untuk kegiatan KB belum mendapat reaksi negatif atau tantangan dari masyarakat. Lain halnya dengan alat kontrasepsi lain seperti IUD bahkan sterilisasi,” ujar Inang Winarso, direktur eksekutif PKBI, kepada Historia.
Mengkeretnya Kondom
Pemerintah terus berupaya mengkampanyekan kondom sebagai salah satu alat kontrasepsi. Dalam sebuah kesempatan, awal 1980-an, Presiden Soeharto memperingatkan bahwa persoalan ledakan penduduk tidak bisa dianggap sebelah mata atau hiburan. Pernyataan ini direspons Sudomo, kala itu menteri tenaga kerja, “kalo ingin cari hiburan boleh. Tapi harus pakai kondom atau spiral,” ujarnya dikutip dari Presiden II RI dalam Berita: 1983–1984.
Kelompok Islam kerap kali mempersoalkan program KB dengan alasan agama dan moral. Dan militer tak segan mengambil tindakan. Peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, contohnya, dipicu khotbah pemimpin agama yang antara lain mengkritik pelaksanaan program KB. Beberapa tahun kemudian, polisi di Jawa Timur melarang sejumlah buku Islami yang mengutuk praktik pengendalian kelahiran dengan cara tertentu. Pemerintah juga mulai menekan kepentingan politik kelompok Islam.
Pada laporan tahunan yang diterbitkan Bappenas tahun 1987, pemerintah menyebut tengah berupaya melakukan “swasembada kondom”. Upaya itu seiring dengan pembangunan pabrik kondom di daerah Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. “Dengan berproduksinya pabrik ini, maka sebagian dari kebutuhan alat kontrasepsi telah dapat kita penuhi sendiri,” ujar Presiden Soeharto saat peresmian pada 25 Februari 1987.
Dampaknya memang terasa: penggunaan kondom meningkat. Namun, kondom sebagai alat kontrasepsi tidak pernah benar-benar populer. Jika pada 1976 penggunaan kondom mencapai 1,5 persen, sejak 1990-an menurun di bawah 1 persen. Pada 2003, BKKBN meluncurkan condom vending machine yang kemudian populer dengan nama ATM kondom tapi langsung mendapat reaksi negatif dari masyarakat.
Kegagalan kampanye kondom sebagai salah satu alat kontrasepsi disebabkan beberapa alasan. Antara lain dianggap kurang praktis dan mengurangi kenikmatan. Namun, banyak pihak juga menyoroti kurangnya penyadaran KB aktif bagi kaum pria.*