Telantar di Makkah

Perang Dunia II membuat jemaah haji Indonesia telantar di Tanah Suci. Dibentuk komite-komite penggalangan dana untuk memulangkan mereka.

OLEH:
Aryono
.
Telantar di MakkahTelantar di Makkah
cover caption
Kapal SS Garoet milik Rotterdamsche Lloyd. (krlmuseum.nl).

PADA 1940, sejumlah tokoh berkumpul di Jalan Kramat Raya 49, Jakarta. Mereka membahas cara menolong para mukim, baik pelajar maupun jemaah haji, yang telantar di Makkah akibat meletus Perang Dunia II. Dibentuklah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) cabang Jakarta untuk menggalang dana. MIAI adalah organisasi yang mempersatukan perhimpunan dan partai-partai Islam dengan sekretariat di Surabaya.

“Saat saya masih di sana ramai sekali diperbincangkan penggalangan dana membantu saudara muslim yang tinggal di Tanah Suci,” ujar Buya Sidi Ibrahim Boechari, berusia 80 tahun, yang pernah jadi pengurus Muhammadiyah Jakarta. Kramat Raya 49 kini jadi kompleks perguruan Muhammadiyah, termasuk kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.

PADA 1940, sejumlah tokoh berkumpul di Jalan Kramat Raya 49, Jakarta. Mereka membahas cara menolong para mukim, baik pelajar maupun jemaah haji, yang telantar di Makkah akibat meletus Perang Dunia II. Dibentuklah Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) cabang Jakarta untuk menggalang dana. MIAI adalah organisasi yang mempersatukan perhimpunan dan partai-partai Islam dengan sekretariat di Surabaya.

“Saat saya masih di sana ramai sekali diperbincangkan penggalangan dana membantu saudara muslim yang tinggal di Tanah Suci,” ujar Buya Sidi Ibrahim Boechari, berusia 80 tahun, yang pernah jadi pengurus Muhammadiyah Jakarta. Kramat Raya 49 kini jadi kompleks perguruan Muhammadiyah, termasuk kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah.

Pada 10 Mei 1940, Jerman menyerbu Belanda dan daratan Eropa. Perang tak merambah Jazirah Arab. Toh, kekacauan timbul olehnya. Para mukim dari Hindia Belanda tak bisa pulang atau menerima kiriman uang dari keluarga dan kerabat di Tanah Air.

Mohammad Madani Nawawi, salah seorang mukimin di Makkah, berinisiatif membentuk Komite Kesengsaraan Indonesia (Kokesin). Selain menggalang solidaritas di sana, seperti ditulis Badruzzaman Busyairi dalam R.H.O. Djoenaidi Pejuang Pengusaha dan Perintis Pers, Kokesin melayangkan surat permohonan bantuan keuangan dan kapal kepada Gubernur Jenderal, Volksraad, MIAI, dan Raja Ibnu Saud.

R.H.O. Djoenaedi, pemilik surat kabar Pemandangan yang dekat dengan tokoh-tokoh Islam, tergerak hatinya. Sejak 15 Agustus 1940, Pemandangan membuka dompet bantuan bernama Fonds Kesengsaraan Mukimin Indonesia di Makkah, yang dananya akan diteruskan ke Sekretariat MIAI di Surabaya. Nama-nama penyumbang dimuat di surat kabar.

Pimpinan Dewan Harian MIAI. Kiri-kanan: Mr. Kasman Singodimedjo, KH Mas Mansyur, W. Wondoamiseno, R.H.O. Djoenaedi, dan Harsono Tjokroaminoto. (Dok. Dr. Suryadi).

Komite-komite penggalangan dana bermunculan untuk membantu MIAI. Asa Bafagih, wartawan muda Pemandangan, berinisiatif mendirikan Penolong Kesengsaraan Mukimin Indonesia di Makkah (Pekamin) di Tanah Abang, Jakarta. Komite serupa muncul di Jawa Barat, Lampung, Sulawesi, Sumatra, Ambon, hingga Bangka Belitung.

MIAI juga menghimpun berbagai organisasi dan partai Islam untuk mengajukan mosi kepada pemerintah. Dalam rapat pleno tanggal 28 Oktober 1940, Gabungan Politik Indonesia (GAPI) menyatakan dukungannya atas langkah-langkah MIAI. Pemerintah akhirnya memperhatikan tuntutan MIAI dan GAPI.

Sejak Desember 1940, pemerintah mengucurkan dana f.8.000 per bulan. Sementara untuk kapal, pemerintah masih mencarinya. Sekretariat MIAI sendiri sudah mengirimkan f.32.000, yang sebagian besar dari para keluarga mukim. Bantuan dari pemerintah Saudi juga mengalir.

Namun situasi peperangan sudah kritis. Kokesin mengirimkan telegram kepada MIAI tentang bantuan kapal. Menurut Kokesin, ada 2.504 mukimin di Makkah yang butuh pertolongan, belum termasuk yang tinggal di Jeddah dan Madinah. Desakan Kokesin mendorong MIAI mengirim surat kepada Penasihat Urusan Pribumi di Batavia, G.F. Pijper.

Setelah menunggu lama, pemerintah akhirnya mendapatkan kapal SS Garoet milik Rotterdamsche Lloyd. Kabar baik itu disambut dengan pembentukan Komite MIAI Penerimaan Mukimin, disponsori R.H.O. Djoenaedi. Muncul pula Comite Kesengsaraan Moeslimin Indonesia di Makkah. Keduanya kemudian bergabung.

Pada 13 April 1941, kapal SS Garoet mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok. Para penumpang kapal, yang menjalankan puasa Ramadan dan merayakan Idulfitri selama pelayaran, sehat walafiat. Haru dan bahagia berbaur.*

Majalah Historia No. 6 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
648178dc7c43e00e924309f9