Pada masa Orde Baru, televisi merupakan barang mewah. Pemerintah pun membagikan televisi untuk dipasang di tempat-tempat umum, namun malah ditemukan di rumah bupati.
TVRI dan peralatan siarannya. (Repro 30 Tahun Indonesia Merdeka).
Aa
Aa
Aa
Aa
MENTERI Negara Bidang Ekuin (Ekonomi, Keuangan, dan Industri) merangkap Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro melantik Astrid Susanto sebagai penasihat Bappenas pada 1974. Ahli komunikasi itu mendapat tugas meluaskan layanan televisi. Dia pun memberikan laporan pendek yang mencakup perlunya keseimbangan persyaratan teknis dan pertimbangan politis terkait persatuan nasional dan keamanan.
Astrid mengembangkan rencana sabuk transmisi di seluruh Indonesia demi kepentingan militer dan budaya untuk menandingi luberan siaran asing di daerah-daerah perbatasan. Selain transmisi, dia mengajukan program distribusi ribuan pesawat televisi ke desa-desa. Dia mendapatkan ide itu dari pengalaman selama pendudukan Jepang yang “memiliki radio di mana-mana”. Dia juga mendasarkan alasan isu kaya dan miskin.
“Untuk menghindari tuduhan bahwa pemerintah hanya memperhatikan yang kaya dan berpendidikan (dengan Palapa), Menteri Widjojo menyetujui saran saya untuk mendistribusikan pesawat televisi,” ujar Astrid, dikutip Philip Kitley dalam Konstruksi Budaya Bangsa Di Layar Kaca.
MENTERI Negara Bidang Ekuin (Ekonomi, Keuangan, dan Industri) merangkap Ketua Bappenas Widjojo Nitisastro melantik Astrid Susanto sebagai penasihat Bappenas pada 1974. Ahli komunikasi itu mendapat tugas meluaskan layanan televisi. Dia pun memberikan laporan pendek yang mencakup perlunya keseimbangan persyaratan teknis dan pertimbangan politis terkait persatuan nasional dan keamanan.
Astrid mengembangkan rencana sabuk transmisi di seluruh Indonesia demi kepentingan militer dan budaya untuk menandingi luberan siaran asing di daerah-daerah perbatasan. Selain transmisi, dia mengajukan program distribusi ribuan pesawat televisi ke desa-desa. Dia mendapatkan ide itu dari pengalaman selama pendudukan Jepang yang “memiliki radio di mana-mana”. Dia juga mendasarkan alasan isu kaya dan miskin.
“Untuk menghindari tuduhan bahwa pemerintah hanya memperhatikan yang kaya dan berpendidikan (dengan Palapa), Menteri Widjojo menyetujui saran saya untuk mendistribusikan pesawat televisi,” ujar Astrid, dikutip Philip Kitley dalam Konstruksi Budaya Bangsa Di Layar Kaca.
Program itu mulai berjalan pada 1976. Peluncuran satelit Palapa, yang diresmikan Presiden Soeharto pada 17 Agustus 1976, menjadi tonggaknya.
Sehari sebelumnya, di depan Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden Soeharto mengatakan pemerintah sudah menempatkan 608 televisi umum di beberapa kecamatan di sembilan provinsi. Rencananya, sebanyak 3.000 pesawat televisi akan disebarkan lagi. “Karena pembangunan berorientasi kepada kepentingan rakyat banyak, maka usaha penerangan diarahkan kepada menggairahkan rakyat yang tinggal di pedesaan yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat Indonesia,” ujar Soeharto.
Menteri Penerangan Maladi menjabat tangan Ibu Leimena, 28 Agustus 1961. (ANRI).
Manusia Sosialis
Usulan membangun televisi sudah disampaikan Departemen Penerangan pada 1953 karena desakan perusahaan-perusahaan Amerika, Inggris, Jerman, dan Jepang yang berlomba memasarkan perangkat keras. Amerika bahkan sudah memamerkannya di Jakarta Trade Fair pada akhir 1955, yang menarik perhatian dan mempesonakan banyak orang.
Maladi, kala itu kiper sekaligus penyiar RRI, pernah mengatakan kepada Presiden Sukarno tentang keuntungan politis menjelang Pemilu 1955. Karena terlalu mahal, pembuatan televisi ditunda. Pada 1959, ketika dia menjabat menteri penerangan, dia kembali mendesak. Kali ini argumennya cukup meyakinkan: Asian Games, pentas olahraga terbesar se-Asia, dihelat di Jakarta tahun 1962. Sukarno akhirnya memberi restu.
Maladi bergerak cepat. Dia membentuk Panitia Persiapan Televisi (P2TV) pada 25 Juli 1961, yang memastikan stasiun televisi ini menyiarkan acara-acara Asian Games IV minimal satu even per hari. Dalam himpitan waktu, pembangunan sarana dan prasarana dikebut. Dia juga memesan 10.000 unit pesawat televisi kepada Thayeb Mohammad Gobel, pengusaha radio transistor merek Tjawang.
Saya sarankan pesawat-pesawat televisi ditempatkan di alun-alun. Tetapi ketika saya berkeliling meninjau, saya lihat pesawat-pesawat itu kebanyakan di rumah para bupati.
Sebuah siaran uji coba dilakukan dengan menyiarkan upacara peringatan HUT kemerdekaan Indonesia ke-17 di halaman Istana Merdeka. Berhasil. Indonesia menjadi negara keempat di Asia yang memiliki media televisi setelah Jepang, Filipina, dan Thailand. Dan sesuai rencana, TVRI akhirnya menyiarkan perhelatan Asian Games sejak 24 Agustus sampai 4 September 1962.
Pada 20 Oktober 1963, Presiden Sukarno mengeluarkan Keppres No. 215/1963 tentang pembentukan Yayasan TVRI sebagai pengelola tunggal pertelevisian di Indonesia. Keppres itu juga menyebutkan, “keberadaan TVRI ditujukan sebagai alat hubung masyarakat dalam melaksanakan pembangunan mental, khususnya manusia sosialis Indonesia.”
Sejak itu TVRI menjadi alat komunikasi pemerintah. Namun, Sukarno tak bisa memanfaatkannya lebih lama. Dia jatuh dari kekuasaan akibat peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Presiden Soeharto meresmikan relay TVRI di Dili, Timor Timur, 16 Juli 1978. (Perpusnas RI).
Masuk Desa
Ketika Asian Games berlangsung, penjualan pesawat televisi meningkat. Diperkirakan 10 ribu hingga 15 ribu pesawat televisi digunakan. Sebagian besar diborong departemen pemerintah untuk dibagikan gratis kepada para pegawai negeri dan dipasang di jalan-jalan kota. Namun, tulis Kitley, televisi tak lebih ditonton 80.000 orang atau dua persen dari jumlah penduduk. “Tak jelas siapa yang mampu menikmati peristiwa televisi yang hebat ini,” tulisnya.
Pesawat televisi adalah barang baru yang mahal. Tak semua orang bisa memilikinya. Program pemerintah, yang disiarkan TVRI, pun seolah mubazir. “Sukarno tak memilik cukup waktu untuk melakukan penyebaran pesawat televisi ke seluruh negeri yang jumlahnya sekira 37 ribu, itu pun hanya di tiga atau empat kota besar,” tulis Michael H. Anderson dalam Politics and Transnational Advertising.
Setelah peluncuran satelit Palapa pada 1976, produksi pabrik pesawat televisi maupun impor naik. Begitu pula penjualannya. Setelah pidato Presiden Soeharto pada 16 Agustus 1976, program TV Masuk Desa digalakkan. Untuk desa yang belum teraliri listrik, disediakan pula generator. Menurut Bappenas, pada 1976/1977, tersebar 3.000 pesawat televisi umum di kecamatan-kecamatan seluruh tanah air.
“Dengan cara ini rakyat yang belum mampu membeli televisi dapat turut menikmati acara siaran sekaligus tercipta pemerataan televisi sebagai sarana penerangan bagi seluruh golongan masyarakat,” tulis Bappenas.
Kartu iuran TVRI tahun 1999.
Jumlahnya terus naik dari tahun ke tahun. Lonjakan terjadi pada 1987/1988 di mana jumlah televisi umum yang ditempatkan mencapai 54.318 unit, meningkat hampir dua kali dibandingkan tahun 1982/1983.
Astrid Susanto tentu senang idenya terealisasi. Namun, “Sebagai orang Jawa, saya sarankan pesawat-pesawat itu ditempatkan di alun-alun. Tetapi ketika saya berkeliling meninjau, saya lihat bahwa pesawat-pesawat itu kebanyakan di rumah para bupati –alasan mereka, mereka membutuhkan akses informasi dari Jakarta!” ujar Astrid.
Peningkatan distribusi televisi memastikan masyarakat desa bisa ikut menikmatinya. Dengan persebaran televisi, Departemen Penerangan bisa mengawal program-program pemerintah hingga ke pelosok desa. Berbagai tayangan pedesaan pun disiapkan. Dari yang bersifat layanan masyarakat hingga film. Dari siaran pedesaan hingga keluarga berencana. Menurut Ade Armando dalam Televisi Jakarta di Atas Indonesia, TVRI memproduksi 80 persen dari jam siarannya dengan siaran-siaran pembangunan.
Program TV Masuk Desa kian menyusut seiring daya beli masyarakat yang membaik. Televisi tak lagi jadi barang mewah. Namun, TVRI sendiri mulai ditinggalkan penontonnya, terutama sejak munculnya stasiun televisi swasta. Kekurangan dana selalu jadi kilah, karena larangan siaran niaga pada 1981 dan sulitnya memungut iuran televisi yang terus jadi polemik. Sejak 2002, TVRI pun ditetapkan sebagai lembaga penyiaran publik, yang mesti melayani informasi untuk kepentingan publik.*