Tempat Profesional Berlaga

Dari para pengusaha penggila bola, lahirlah Galatama yang melahirkan bintang-bintang ternama dan membawa sepakbola Indonesia berjaya.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Tempat Profesional BerlagaTempat Profesional Berlaga
cover caption
Ricky Yacob memberikan pengarahan kepada anak-anak didiknya di SSB Ricky Yacobi. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

SEMBARI mondar-mandir di sisi lapangan, dia terus mengawasi anak-anak berusia 8–12 tahun bermain sepakbola. Sorot matanya tajam. Sebentar-sebentar dia berteriak memberi pengarahan. Meski sudah rada gemuk, dia tak lelah mendampingi murid-muridnya mengolah si kulit bundar.

Selepas gantung sepatu, Ricky Yacob melakukan aktivitas rutin sebagai direktur sekaligus pelatih Sekolah Sepak Bola (SSB) Ricky Yacobi di kawasan Senayan, Jakarta. Dia mendirikan sekolah itu pada September 1999 karena sadar pentingnya pembibitan pemain. Selain itu, tak adanya kompetisi di tiap jenjang usia jadi penyebab mandeknya regenerasi pesepakbola nasional yang berujung pada bobroknya prestasi tim nasional.

SEMBARI mondar-mandir di sisi lapangan, dia terus mengawasi anak-anak berusia 8–12 tahun bermain sepakbola. Sorot matanya tajam. Sebentar-sebentar dia berteriak memberi pengarahan. Meski sudah rada gemuk, dia tak lelah mendampingi murid-muridnya mengolah si kulit bundar.

Selepas gantung sepatu, Ricky Yacob melakukan aktivitas rutin sebagai direktur sekaligus pelatih Sekolah Sepak Bola (SSB) Ricky Yacobi di kawasan Senayan, Jakarta. Dia mendirikan sekolah itu pada September 1999 karena sadar pentingnya pembibitan pemain. Selain itu, tak adanya kompetisi di tiap jenjang usia jadi penyebab mandeknya regenerasi pesepakbola nasional yang berujung pada bobroknya prestasi tim nasional.

“Yang di bawah ini mesti dibenahi dulu, disediakan wadah kompetisi. PSSI ya sibuk dengan tim nasional dan konfliknya. (Kompetisi) amatir ini, daerah-daerah ini, mesti dihidupkan kembali. Di situ kita bisa lihat mana anak yang bener-bener bagus sehingga kita punya database. Jadi nggak terjadi lagi PSSI mau cari pemain usia sekian, 800 orang mesti diseleksi selama tiga hari. Bagaimana menyeleksinya?” ujar Ricky Yacob.

Ricky Yacob telah malang melintang di dunia sepakbola. Karier sepakbolanya dihabiskan di klub Arseto Solo. Selain beberapa kali membela tim nasional, yang mempersembahkan medali emas dalam SEA Games di Jakarta tahun 1987, namanya kian bersinar ketika dia membela klub Matsushita Jepang. Ricky Yacob tumbuh sebagai pemain profesional berkat kompetisi Liga Sepakbola Utama (Galatama).

Galatama lahir berkat gagasan Kadir Jusuf (Jo Kian Djit), seorang Tionghoa. Kadir adalah pemain sepakbola dan wakil manajer klub sepakbola Bangka Belitung Sports Association (BBSA) di Pangkal Pinang, yang kemudian jadi kolomnis dan pengamat sepakbola. Nama-nama lain juga turut berperan besar bagi kelahiran Galatama. Yang terpenting antara lain Sigit Harjojudanto (putra Presiden Soeharto), T.D. Pardede, Alexander Wenas, dan Benny Ardi. Sejak jauh hari mereka menginginkan adanya kompetisi sepakbola profesional di dalam negeri. Tujuannya: memajukan persepakbolaan nasional serta menyejahterakan pesepakbola dan klub.

Mereka membawa konsep itu kepada Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, yang kala itu menjabat ketua umum PSSI. Pembentukan Galatama lumayan alot, karena meski sudah digagas pada 1977, realisasinya baru terlaksana hampir dua tahun kemudian.

Pada 17 Maret 1979, kompetisi Galatama resmi dibuka. Pertandingan Arseto (Jakarta) melawan Pardedetex di Stadion Utama Senayan, Jakarta menjadi pembukanya. Arseto menang 3-2 atas lawannya. Selama 15 tahun bergulir, persaingan antarklub untuk meraih posisi puncak begitu ketat. Niac Mitra dan Pelita Jaya menjadi klub yang kerap merajai kompetisi ini (lihat tabel). Klub yang menjadi juara Galatama berhak ikut Piala Champions Asia. Juara Galatama juga diadu melawan juara Perserikatan, yang juga bernaung di bawah PSSI dan sebelumnya menjadi satu-satunya kompetisi sepakbola di Indonesia.

Galatama berada di bawah Badan Liga, organ PSSI. Ia menjadi kompetisi profesional pertama di Indonesia dan salah satu yang paling awal di Asia. “Sampai orang dari Korea, Jepang datang kemari untuk melihat sistem sepakbola Indonesia,” kenang Ricky Yacob.

Timnas Indonesia juara SEA Games 1987. Berdiri (kiri-kanan): Robby Darwis, Marzuki Nya’mad, Azhari Rangkuti, Ponirin Meka, Ribut Waidi, Ricky Yacob. Jongkok (kiri-kanan): Nasrul Koto, M. Junus, Rully Nere, Jaya hartono, Patar tambunan. (Repro Rekaman Peristiwa ’88).

Intervensi dan Otonomi

Sebelum ada Galatama, PSSI punya kompetisi sepakbola Perserikatan yang diikuti klub-klub milik pemerintah daerah. Ajang ini mulai digelar pada 1931. Formatnya kejuaraan yang berjalan sebulan penuh. Para pemain di klub-klub Perserikatan datang dari klub-klub kecil yang mengikuti liga-liga di bawahnya. Persija, misalnya, memiliki kompetisi yang mengikutsertakan klub-klub di wilayah Jakarta.

Praktis, sejak Galatama bergulir, PSSI menaungi dua organ berbeda: Badan Liga dan Perserikatan. “Tapi ini satu suara, Perserikatan jalan, Galatama jalan,” ujar Ricky.

Ketika kali pertama bergulir, ada 14 klub yang mengikuti kompetisi Galatama. Jumlah itu kemudian meningkat menjadi 18 klub. Namun, peran PSSI masih sangat sentral. PSSI bukan hanya mengatur jadwal liga tapi juga merusak jadwal itu sendiri. Jika ada event internasional, PSSI mengambil banyak pemain Galatama dan mengubah jadwal liga. PSSI juga pernah memaksa klub Galatama untuk meminjamkan pemainnya ke klub Perserikatan yang bertanding di luar negeri. Seringnya intervensi PSSI membuat Galatama berjalan tersendat.

Para pengurus Galatama mulai menuntut otonomi kepada PSSI, terutama menyangkut hak penuh mengatur jadwal kompetisi sendiri. “Selama ini klub-klub selalu didikte lewat berbagai SK (Surat Keputusan) PSSI,” ujar Sigit Harjojudanto yang menjabat ketua harian Galatama, dikutip Tempo, 19 Juni 1982.

PSSI akhirnya mengabulkan tuntutan itu pada 1982. Galatama pun menyusun anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART). Satu hal yang fenomenal, ART Galatama mencantumkan status “profesional” kepada pemain yang tergabung dalam Galatama. Galatama menekankan standar profesionalisme. Sebuah klub harus memiliki minimal 15 pemain profesional. Gaji pemain minimal Rp500 ribu per bulan. Bonus lain lagi, kisarannya Rp100 ribu–500 ribu. Dengan begitu pemain bisa mencurahkan keahliannya dalam sepakbola tanpa perlu memikirkan mencari nafkah untuk menghidupi keluarga.

Gaji menjadi pembeda utama Galatama dan Perserikatan. Di Perserikatan, para pemain boleh menekuni profesi lain bila sedang tak ada kompetisi. Di Galatama, tiap pemain dikontrak dan digaji untuk berprestasi. Masing-masing dituntut bermain baik dan membawa klubnya ke posisi terhormat. “Kalau dia nggak berprestasi di sepakbolanya, dia akan dikeluarkan,” ujar Ricky Yacob.

Klub Arseto Solo. Ricky Yacob berdiri di deretan belakang, kedua dari kanan.

Para pemain mendapat kontrak sedikitnya dua tahun, dengan pasal-pasal yang jelas dan berkekuatan hukum. Implementasinya pun ketat. Ada sanksi dari tiap pelanggaran yang dilakukan. “Misalkan kita nggak menjalankan tugas, biasanya potong gaji. Kalau nggak ya nggak dapet bonus,” ujar Agus Suparman, mantan striker Pelita Jaya Jakarta.

Pengusaha sekaligus bos Niac Mitra (Surabaya) Alexander Wenas optimis status profesional bakal membuka lebar penghasilan, baik bagi klub maupun pemain. Setidaknya pemasukan bisa diperoleh melalui sponsor. Terbukti beberapa klub memasang logo merek produk di jersey mereka. Misalnya Toyota di kaos Niac Mitra (Surabaya), Sony di kaos Arseto (Solo), Mitsubishi di kaos Krama Yudha Tiga Berlian (Palembang), dan Indomilk –lalu Bank Summa– di kaos Pelita Jaya (Jakarta).

Dengan dana dari sponsor, selain bisa menaikkan gaji pemain agar memenuhi persyaratan profesional, beberapa klub tak segan mengontrak pemain asing. Pardedetex menggaet Jairo (Brazil) dan Niac Mitra mengotrak Fandi Ahmad (Singapura). Namun pemain asing itu akhirnya hengkang menyusul kebijakan Ketua Umum PSSI Kardono yang melarang penggunaan pemain asing di klub-klub Galatama.

Namun, tentu saja keberadaan sebuah klub tak lepas dari pengurusnya. Arseto Solo, misalnya, tak bisa dilepaskan dari peran Sigit Harjojudanto, putra Presiden Soeharto. Sigit punya klub bernama Arseto, singkatan dari nama dua anaknya: Ario dan Seto. Didirikan pada 1978 di Jakarta, namun lantaran tak mendaftarkan diri sebagai bagian klub Persija, Arseto hijrah ke Solo. Salah satu pemain andalannya adalah Ricky Yacob, striker yang dua kali menjadi pencetak gol terbanyak pada musim 1986–1987 dan 1990. Sayangnya, itu tak membantu Arseto untuk merengkuh juara liga. Arseto hanya sekali jadi juara pada musim 1990–1992.

Yang lainnya setali tiga uang: pengusaha yang demen sepakbola. T.D. Pardede punya bisnis hotel dan sekolah sehingga mampu bikin klub Pardedetex di Medan. Benny Mulyono punya pabrik cat Warna Agung, dan klubnya pun bernama Warna Agung. Benny Ardi, pemilik PT Tempo Tbk., bikin dua klub sekaligus: Tunas Inti dan Tempo Utama. Atau Alexander Wenas, pengusaha rumah judi terbesar di kawasan Indonesia Timur, yang mendirikan Niac Mitra.

“Pengurus Galatama itu semua rata-rata individu. Contohnya, Krama Yudha ya Sarnoebi Sjaid pribadi, dari hasil perusahaan Mitsubishinya. Pardede juga begitu; karena senang bola, punya uang, dia bikin klub bola,” ujar Ricky Yacob.

Galatama kala itu, sepengalaman Ricky Yacob, lebih profesional ketimbang liga sepakbola Jepang. “Saat saya main di (klub) Matsushita tahun 1989, Matsushita juga semiprofesional, karena banyak pemainnya adalah karyawan perusahaan,” ujar Ricky Yacob. “Beda dengan pemain Galatama; kerjaannya cuma main bola.”

Bangkrut

Awalnya Galatama mampu membangun kompetisi dengan sehat dan benar dengan sistem kandang-tandang. Namun, inkonsistensi terjadi ketika klub bertambah atau berkurang. Setelah tiga musim berjalan, ketika ada 18 klub ikut berkompetisi, Galatama menggunakan sistem wilayah: Barat dan Timur. Juara dan runner up di masing-masing wilayah kemudian bertemu dalam partai empat besar untuk menentukan juara pertama hingga keempat.

Sistem wilayah ini kemudian direvisi ketika jumlah klub terus menyusut, yang menyebabkan sistem kandang-tandang kembali dipakai. Inkonsistensi ini disebabkan mudahnya klub mengundurkan diri atau bubar. Pardedetex, misalnya, dibubarkan pemiliknya karena sering dijadikan lahan atur skor demi para bandar judi.

Di sisi lain, klub baru dengan mudahnya muncul dan ikut kompetisi. Pelita Jaya salah satu contohnya. Lahir pada 1986 dan ikut memberi napas bagi Galatama yang tinggal menyisakan enam klub. Keluar-masuknya klub juga mempersulit penerapan sistem promosi dan degradasi.

Ketika tengah sekarat, Galatama mendapat napas baru ketika masa transisi Ketua Umum PSSI Sjarnoebi Said ke Kardono. Muncul klub-klub Galatama yang beberapa di antaranya masih eksis hingga kini seperti Arema Malang, Bandung Raya, Petro Kimia Gresik, dan Barito Putra. Seiring makin banyak klub, diterapkan pula tim Divisi Utama dan Divisi Satu. Bahkan PSSI mampu menggelar turnamen nasional yaitu Piala Liga, meski hanya bertahan lima kali. Krama Yudha Tiga Berlian meraih hattrick dengan tiga kali memenangi Piala Liga pada 1987–1989.

Seiring perjalanan, pamor Galatama menurun. Selain pelarangan pemain asing, kasus suap jadi perusak kompetisi ini. Baik klub maupun pemain terlibat dalam pengaturan skor demi memenuhi ambisi bandar judi. Persaingan antara Galatama dan Perserikatan juga dituding ikut memperkeruh keadaan. Pemain Perserikatan bukan saja kalah mentereng, tapi mereka juga sulit masuk ke klub di Galatama.

Selain itu, penonton yang jadi andalan pendanaan klub dari karcis yang terjual tak sebanyak yang diperkirakan sebelumnya. Jumlah penonton membludak hanya di kota-kota tertentu seperti Surabaya dan Malang. Klub-klub di Perserikatan justru bisa meraup pendukung fanatik karena kedekatan emosionalnya. Persib Bandung misalnya punya Bobotoh Maung Bandung, yang memenuhi Stadion Utama Senayan ketika Persib lolos enam besar pada 1980-an. Akibatnya klub-klub Galatama kesulitan keuangan. Satu per satu mengundurkan diri atau bubar. Ada juga klub yang dijual atau merger dengan klub lain.

Galatama akhirnya menjadi sejarah ketika PSSI menggabungkannya dengan Perserikatan ke dalam Liga Indonesia pada 1994. Betapapun, Galatama pernah menjadi tempat berlaga para pesepakbola profesional dalam persepakbolaan nasional.

“Galatama itu satu tontonan yang menarik. Semua bintang di situ. Pemain nasional waktu itu sebagian besar dari sana,” ujar Ricky Yacob. Dari Galatama, lahir banyak bintang besar. “Banyak orang menyebutnya universitasnya sepakbola.”*

Majalah Historia No. 6 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6463264f44ea290c3b93907b