Tenggelamnya Arafat

Perusahaan pelayaran milik umat ini buang jangkar selamanya karena terlilit utang hingga akhirnya dilikuidasi pemerintah.

OLEH:
Annisa Mardiani
.
Tenggelamnya ArafatTenggelamnya Arafat
cover caption
Kapal Pacific Abeto yang digunakan PT Arafat untuk mengangkut jemaah haji. (Repro Tiga Tahun Pengabdian Arafat).

PADA sebuah bangunan tiga lantai di Jalan Johar No. 8 Jakarta, sebuah cita-cita pernah disandarkan. Pada 1964, PT Arafat, perusahaan pelayaran pengangkut jemaah haji Indonesia, berdiri dengan saham dimiliki jemaah haji dan karyawan perusahaan. Jika proyek ini berhasil, Arafat akan menjadi perusahaan umat terbesar di dunia. Namun ia akhirnya dilikuidasi karena dibelit banyak persoalan. Sejak itu pula pemberangkatan haji lewat laut ditiadakan.

Kabar likuidasi itu membuat beberapa orang yang pernah pergi haji dengan kapal laut menjadi sedih. Haji Amura, warga di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, berbagi kesedihan melalui surat pembaca Tempo, 16 September 1976. Dia menuturkan faedah pergi haji melalui laut dibandingkan melalui udara. Antara lain waktu perjalanan yang lama bisa dimanfaatkan jemaah untuk memperdalam pengetahuan manasik haji dan memperbanyak amal ibadah berupa salat berjamaah. “Apakah dengan dilikuidasinya PT Arafat, pemerintah akan menghapuskan sama sekali pengangkutan jemaah haji melalui laut?”

PADA sebuah bangunan tiga lantai di Jalan Johar No. 8 Jakarta, sebuah cita-cita pernah disandarkan. Pada 1964, PT Arafat, perusahaan pelayaran pengangkut jemaah haji Indonesia, berdiri dengan saham dimiliki jemaah haji dan karyawan perusahaan. Jika proyek ini berhasil, Arafat akan menjadi perusahaan umat terbesar di dunia. Namun ia akhirnya dilikuidasi karena dibelit banyak persoalan. Sejak itu pula pemberangkatan haji lewat laut ditiadakan.

Kabar likuidasi itu membuat beberapa orang yang pernah pergi haji dengan kapal laut menjadi sedih. Haji Amura, warga di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat, berbagi kesedihan melalui surat pembaca Tempo, 16 September 1976. Dia menuturkan faedah pergi haji melalui laut dibandingkan melalui udara. Antara lain waktu perjalanan yang lama bisa dimanfaatkan jemaah untuk memperdalam pengetahuan manasik haji dan memperbanyak amal ibadah berupa salat berjamaah. “Apakah dengan dilikuidasinya PT Arafat, pemerintah akan menghapuskan sama sekali pengangkutan jemaah haji melalui laut?”

PT Arafat sendiri dibentuk pemerintah untuk mengatasi kesulitan pengangkutan jemaah haji. Keputusan Presiden No. 122 Tahun 1964 tentang Penyelenggaraan Urusan Haji antara lain mendorong pendirian perusahaan pelayaran yang khusus melayani perjalanan haji. Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Moeljadi Djojomartono, tokoh Muhammadiyah kepercayaan Presiden Sukarno, lalu menginstruksikan pendirian PT Arafat.

PT Arafat berdiri pada 1 Desember 1964. Modalnya: tambahan Rp50.000 dari ongkos haji (ONH) resmi yang diwajibkan kepada setiap jemaah sebagai saham. Artinya, saham perusahaan dimiliki jamaah haji, bahkan juga seluruh jajaran perusahaan hingga karyawan perusahaan.

“Bentuk perusahaan ini memang unik, tidak ada duanya di dunia karena statusnya swasta, tapi campur tangan pemerintah cukup besar,” ujar Kolonel H. Acmad Parwis Nasution, mantan Direktur Utama PT Arafat seperti dicatat Tempo, 26 Agustus 1978.

Menteri Agama Saifuddin Zuhri tak setuju dengan kebijakan Moeljadi sehingga menolak ketika diminta duduk dalam kepengurusan. Namun PT Arafat tetap berjalan.

Kantor pusat PT Arafat. (Repro Tiga Tahun Pengabdian Arafat).

Monopoli

Modal awal yang terkumpul dari jemaah berjumlah Rp16 milyar. Kapal Belle Abeto dan Pasific Abeto tiba di Teluk Jakarta. PT Arafat tampaknya siap menjalan tugas pemerintah untuk memonopoli pengangkutan haji.

Tapi karena devisa negara terbatas, PT Arafat tak mendapat keleluasaan untuk mengelola modalnya. Ia hanya mendapat hak sewa-beli sementara modalnya ngendon di Bank Indonesia. Tiba-tiba, pada 1965, pemerintah mengeluarkan kebijakan pemotongan nilai rupiah. Dampaknya langsung terasa. Nilai modal PT Arafat menyusut dan hanya bisa digunakan untuk tiga kali angsuran sewa-beli.

Meski banyak pihak khawatir PT Arafat merugi tapi nyatanya perusahaan ini tetap bertahan. Bahkan kepada media, Direktur Utama PT Arafat Brigjen Roeshan Roesli menyatakan perusahaan ini selalu untung.

Bentuk perusahaan ini memang unik, tidak ada duanya di dunia karena statusnya swasta, tapi campur tangan pemerintah cukup besar.

Pada 1970, PT Arafat mendapat tantangan baru. Penggunaan kapal laut untuk pergi haji lambat laun ditinggalkan lantaran hadirnya maskapai penerbangan yang melayani pengangkutan jamaah haji: Garuda Indonesia Airlines. Tentu hal ini mempengaruhi keberlangsungan perusahaan.

PT Arafat mulai kalah saing. Meskipun masih ada jemaah haji yang memilih sarana laut, tak dipungkiri lebih murah dan lebih cepatnya sarana udara membuat kebanyakan jemaah memilih pergi dengan kapal udara. Jumlah jemaah haji laut menjadi kian merosot.

Utang perusahaan juga terus menumpuk. Kecelakaan beberapa kali menimpa kapal-kapal PT Arafat. Dalam situasi genting, ONH justru diturunkan yang membuat PT Arafat kesulitan beroperasi.

Ketika situasi semakin kritis, Roeshan Rusli mengundurkan diri dan digantikan Kolonel Parwis Nasution. Ali Sadikin, ketua Dewan Pengawas PT Arafat, pun mengundurkan diri.

Kapal Belle Abeto yang digunakan PT Arafat untuk mengangkut jemaah haji. (Repro Tiga Tahun Pengabdian Arafat).

Likuidasi

Upaya penyelamatan perusahaan sempat dilakukan di detik-detik terakhir. PT Arafat disuntik modal lagi. Penghematan dilakukan. Pembelian dengan tender, pemotongan bahan makanan awak kapal, pengecatan kantor oleh karyawan sendiri, bahkan biaya kesehatan dan tunjangan telepon direksi ditiadakan.

Upaya penyehatan berjalan sia-sia. Atas dasar begitu runyam masalah yang dihadapi PT Arafat, pemerintah akhirnya melikuidasi perusahaan umat ini. Perintah likuidasi disampaikan dalam rapat pemilik saham yang dihadiri Wakil Presiden Adam Malik. Selo Soemardjan, kala itu sekertaris wakil presiden, menjelaskan: “Alasan pemerintah ialah adanya utang Arafat sejumlah kurang lebih Rp12 milyar.”

PT Arafat tak bisa melunasi utangnya. Bahkan untuk melakukan operasi pengangkutan ibadah haji pun tak ada modal lagi.

Jenderal A.H. Nasution selaku ketua Dewan Perwakilan Para Pemegang Saham (DP3S) menerangkan kepada Tempo, 26 Agustus 1978 bahwa kelangsungan hidup PT Arafat berada di tangan pemerintah. Ketika pemerintah memutuskan untuk melikuidasi, DP3S tak bisa berbuat apa-apa lagi. Namun keputusan untuk meniadakan pengangkatun jemaah haji melalui laut telah mematikan “keran hidup” perusahaan. “Kami sangat terkejut dan menyesal,” kata Nastion.

PT Arafat tinggal nama. Padahal jasanya besar selama belasan tahun melayani pengangkutan ibadah haji. Ketika bukan musim haji perusahaan ini bahkan melayani transportasi laut antarpulau bagi rombongan pemerintah, misalnya ketika Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat. “Belle Abeto dan Mei Abeto menjadi alat pengangkut rombongan Menteri Perdagangan, Luar Negeri, Penerangan, dan para wartawan dalam serta luar negeri,” tulis Kompas, 10 Agustus 1969.

Perusahaan milik umat yang dimotori pemerintahan ini justru dimatikan oleh kebijakan pemerintah sendiri. Dan sejak itu, pemerintah mengambil alih penyelenggaraan haji dan meniadakan peran swasta.

PT Arafat tak pernah bangkit lagi, buang jangkar selamanya.*

Majalah Historia No. 6 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64813ec0c78de33caefec6b6