Tentara Merah di Selingkung Gunung

Para mantan pejuang enggan menyerahkan senjata. Dihormati petani karena membagi tanah, ditakuti karena citra bromocorah.

OLEH:
Andri Setiawan
.
Tentara Merah di Selingkung GunungTentara Merah di Selingkung Gunung
cover caption
Ilustrasi: M. Awaludin Yusuf

HUJAN masih deras bakda Magrib ketika kau melepas mantel di depan sebuah rumah beratap limasan di Dusun Jetis, Jlarem, Kabupaten Boyolali. Di halaman rumput yang cukup luas itu, kau akan melihat sepasang mata bola mengintip dari jendela. Bisa jadi itu adalah Sastro Martono, lelaki berkacamata yang rambutnya telah memutih.

Sastro Martono akan membukakan pintu dan ketika kau menyebut nama Sastro Sadjat atau Imam Bagong, ia akan mempersilakanmu duduk. Sambil membetulkan jaket hangatnya, ia segera memanggil Sopinah istrinya untuk duduk bersama di ruang tamu.

Sastro Martono merupakan anak Sastro Sadjat, sementara Sopinah adalah anak Imam Bagong. Sastro Sadjat dan Imam Bagong adalah komandan Merapi Merbabu Complex (MMC), kelompok bersenjata legendaris di sekitar Gunung Merapi dan Merbabu.

Sastro Sadjat dulunya gerilyawan yang bertempur di perbatasan Kabupaten Semarang dan Boyolali pada agresi militer I dan II.

“Jadi perang clash pertama dan kedua itu tahun 1947 dan 1948 (1949). Jadi saya ingat betul pada saat itu. Saya sudah besar,” ujar Sastro Martono.

Sastro Martono mulanya tinggal di Desa Setugur, Kabupaten Semarang, namun belakangan menyeberang ke daerah Jlarem, Kabupaten Boyolali. Ia masih bersekolah di Sekolah Rakjat Jlarem kala orang-orang dewasa di desanya angkat senjata melawan Belanda.

HUJAN masih deras bakda Magrib ketika kau melepas mantel di depan sebuah rumah beratap limasan di Dusun Jetis, Jlarem, Kabupaten Boyolali. Di halaman rumput yang cukup luas itu, kau akan melihat sepasang mata bola mengintip dari jendela. Bisa jadi itu adalah Sastro Martono, lelaki berkacamata yang rambutnya telah memutih.

Sastro Martono akan membukakan pintu dan ketika kau menyebut nama Sastro Sadjat atau Imam Bagong, ia akan mempersilakanmu duduk. Sambil membetulkan jaket hangatnya, ia segera memanggil Sopinah istrinya untuk duduk bersama di ruang tamu.

Sastro Martono merupakan anak Sastro Sadjat, sementara Sopinah adalah anak Imam Bagong. Sastro Sadjat dan Imam Bagong adalah komandan Merapi Merbabu Complex (MMC), kelompok bersenjata legendaris di sekitar Gunung Merapi dan Merbabu.

Sastro Sadjat dulunya gerilyawan yang bertempur di perbatasan Kabupaten Semarang dan Boyolali pada agresi militer I dan II.

“Jadi perang clash pertama dan kedua itu tahun 1947 dan 1948 (1949). Jadi saya ingat betul pada saat itu. Saya sudah besar,” ujar Sastro Martono.

Sastro Martono mulanya tinggal di Desa Setugur, Kabupaten Semarang, namun belakangan menyeberang ke daerah Jlarem, Kabupaten Boyolali. Ia masih bersekolah di Sekolah Rakjat Jlarem kala orang-orang dewasa di desanya angkat senjata melawan Belanda.

“Londo itu pasti menyerangnya saat-saat siang. Pakai kapal terbang. Dilawan oleh tentara Indonesia dengan persenjataan yang sedikit, sederhana sekali, seperti senjata laras panjang. Itu saya masih ingat sekali. Itu kalau siang. Kalau malam namanya perang gerilya itu ya juga senjatanya seperti itu ditambah dengan bambu runcing,” ujarnya.

Desa Jetis berada di selatan hulu Kali Tanggi, berbatasan langsung dengan Desa Patemon di mana lurah Wirodinomo dibunuh. Desa ini dikuasai oleh tentara rakyat yang kemudian menduduki perkebunan-perkebunan Belanda. Salah satunya perkebunan kopi Malangbong, yang punya pabrik besar nan canggih pada masanya.

“Itu sudah pakai rel, pakai rel di atas. Jadi (hasil panen) lari sendiri terus masuk pabrik,” kisahnya.

Setelah wilayah perkebunan diduduki tantara rakyat, pabrik Malangbong ditembaki meriam dan dibakar hingga tak bersisa.

“Saya ingat sekali, malam-malam sekitar jam tujuh. Dibom dari arah sana,” katanya sambil menunjuk ke arah wilayah bekas perkebunan itu.

Tanah perkebunan lalu dibagikan kepada penduduk. Setiap keluarga mendapat pekarangan dan ladang. Bekas pabrik kini menjadi sekolah dasar dan bagian lainnya telah dimiliki sebuah pabrik tekstil.

“Pokoknya dulu sudah jadi hak milik rakyat,” tambah Sopinah.

“Kalau pekarangan itu hampir rata-rata 2000 m2. Mengenai ladang itu istilah Jawanya sak bahu itu sekitar 5000-6000 m2,” terang Sastro Martono.

Menurut Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro (buku 2), yang diterbitkan oleh Semdam VII / Diponegoro Semarang tahun 1971, pembagian tanah perkebunan itu diatur oleh Pemerintah Militer Daerah Kabupaten Boyolali (PMKB) melalui Peraturan Darurat No. VI dari Staf Komando PPS II Rayon III. Beberapa perkebunan di Boyolali yang terkena peraturan ini meliputi perkebunan Sukabumi, Malangbong, Barostampir dan Sukarame.

PMKB juga menerbitkan “Petunjuk Tentang Penjerahan Tanah2 Bekas Perusahaan dan Pemberikannja” pada 7 April 1949. Di dalamnya diatur cara menampung bekas karyawan dari perusahaan-perusahaan perkebunan.

Sebagai akibat perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), ada upaya dari pemerintah untuk mengembalikan perkebunan (onderneming) Belanda di sekitar lereng Merapi-Merbabu. Rakyat yang kecewa bergabung dengan MMC untuk melakukan perlawanan.

Sastro Martono kini juga tinggal di rumah yang dibangun di atas tanah pembagian itu. Namun, tanah ini bukan warisan ayahnya, melainkan mertuanya yang juga bekas gerilyawan.

Imam Bagong, ayah Sopinah, tercatat sebagai Komandan MMC Sektor M-611-T Tengaran. Ia dan Sastro Sadjat adalah kawan seperjuangan sejak agresi militer I hingga keduanya harus bersembunyi naik-turun gunung.

Berbeda dari suaminya, Sopinah tak terlalu mengerti apa apa yang terjadi tahun-tahun ketika ayahnya berjuang. Yang ia ingat, pada 1950-an ayahnya seringkali pergi dari rumah karena kejaran polisi. 

“Biasanya bersembunyi. Ada apa saya tidak tahu. Ketika di rumah, katanya kalau ada polisi begitu terus bersembunyi. Biasanya ya bersembunyi di gunung,” kata Sopinah.

Belakangan baru ia paham bahwa ayahnya, Imam Bagong dan mertuanya Sastro Sadjat, adalah dua komandan Merapi Merbabu Complex (MMC).

Sastro Martono dan istrinya, Sopinah. (Andri Setiawan/Historia.ID).

Seberang Sungai

Sementara Sastro Sadjat dan Imam Bagong meraih kemenangan atas pendudukan perkebunan, nasib sebaliknya dialami Wirodinomo yang rumahnya berseberang sungai dengan dusun Sastro Sadjat dan Imam Bagong.

Wirodinomo, seorang lurah di Kabupaten Semarang, baru saja pulang dari pengungsian ketika rumahnya digerebek sejumlah gerilyawan Republik. Dikisahkan ia tak mempan ditembak berkali-kali. Sang lurah lalu memperlihatkan lehernya dan menantang orang-orang yang ingin membunuhnya.

Benar saja, leher Wirodinomo langsung disabet parang oleh para gerilyawan yang kadung murka. Wirodinomo seketika tersungkur dan meninggal pada 1949 yang riuh itu.

Ngatiyem (81), masih berusia delapan tahun ketika ia mendengar kabar ayahnya dibunuh. Wirodinomo, ayahnya, baru setahun diangkat sebagai lurah Patemon, Kabupaten Semarang. Nahasnya, ia menjadi lurah ketika revolusi sosial masih menggulung elit-elit lokal di Indonesia.

“Alasannya pasti karena zaman dulu bapak lurahe Londo. Lurahe Londo, kan tentara selatan tidak senang,” terang Ngatiyem.

Wirodinomo memang Lurahe Londo, sebutan bagi lurah yang diangkat oleh Belanda. Sementara tentara selatan yang dimaksud Ngatiyem ialah tentara rakyat. Wilayah selatan merujuk pada Kabupaten Boyolali yang dikuasai TNI dan gerilyawan Republik. Sedangkan daerah utara meliputi Kabupaten Semarang yang diduduki Belanda. Patemon, desa di mana ayahnya menjadi lurah, berada di perbatasan dua wilayah ini.

Ngatiyem lahir pada 1941 dari keluarga priyayi. Sejarah keluarganya tak jauh dari lingkaran pejabat lokal. Kakeknya mantan lurah, pakdhenya mantan lurah. Ayahnya, sebelum diangkat menjadi lurah, merupakan seorang carik.

“Tapi Lurahe Londo ya begitu,” katanya.

Ngatiyem menyadari bahwa jabatan yang diemban keluarganya bak bumerang. Revolusi sosial meletus dan ayahnya, sama seperti banyak pejabat lokal kala itu, menjadi korban. Ngatiyem sakit hati, tapi ia memahami situasi masa itu yang ia sebut sebagai zaman geger.

Zaman geger diingat Ngatiyem sebagai zaman yang penuh ketidakpastian. Sebagai seorang anak berusia delapan tahun, dunianya terbelah dua. Sebuah sungai membatasi gerak orang-orang dari wilayah Belanda dan Republik. Orang-orang dari desanya tak boleh berjualan ke pasar yang berada di wilayah Boyolali. Padahal semula tak ada batas-batas semacam ini. Ini membuat penduduk di kedua wilayah terpolarisasi.

“Belanda yang memprovokatori, tetapi yang melakukan orang Jawa,” terang Ngatiyem merujuk pada perseteruan dua wilayah.

Menurut Ngatiyem, orang-orang yang pro Belanda harus sembunyi-sembunyi. Ayahnya misal, sempat mengungsi ke wilayah Kebonjeruk di mana Belanda membangun markas untuk mempertahankan Salatiga. Namun tak lama, karena merasa situasi telah aman, ia pulang lagi ke rumahnya. Sedang nasib telah menantinya.

“Orang Jawa (waktu itu) itu tidak ngerti politik, tidak tahu apa-apa. Tapi kalau diisi politik ya lama-lama pintar,” ujar Ngatiyem menerangkan bahwa keluarganya hanyalah korban politik Belanda.

“Aku ini hanya korban kehilangan almarhum bapak,” pungkasnya.

Sungai yang membelah wilayah Belanda dan Republik. (Andri Setiawan/Historia.ID).

Tentara Rakyat

Pasca perjanjian Renville, garis status quo atau dikenal pula sebagai garis Van Mook ditentukan untuk membagi wilayah Belanda dan Indonesia. Garis itulah yang juga membatasi desa Ngatiyem dengan Sastro Martono, membedakan jalan hidup lurah Wirodinomo dengan Sastro Sadjat dan Imam Bagong.

Perjanjian Renville juga mengharuskan pihak Indonesia menarik tentara dari wilayah Belanda. Namun, sebagian dari mereka ternyata tak mau meninggalkan keluarga serta harta benda. Mereka tetap tinggal dan kemudian bergabung tentara gerilya di wilayah Belanda.

Terdapat beragam pasukan gerilya yang dibentuk di wilayah Jawa Tengah pada periode tersebut. Sebut saja Pasukan Kjai Biru di wilayah Kendal, Pimpinan Gerilya Rakjat (PGR) di Ambarawa, Pasukan Markas Kuda Besi/Sabotase Service di Karanggede, Suruh dan Salatiga, hingga Pasukan Merbabu di lereng timur Gunung Merbabu.

Sedjarah TNI-AD Kodam VII/Diponegoro (buku 1) mencatat nama yang disebut terakhir terbagi menjadi tiga wilayah pimpinan: Pasukan Merbabu I yang bergerak di wilayah Getasan, Pasukan Merbabu II di wilayah Tengaran sebelah barat jalan besar, dan Pasukan Merbabu III untuk wilayah Tengaran sebelah timur jalan besar. Sastro Sadjat, bersama Ruslan, memimpin Pasukan Merbabu II yang terkenal dengan nama pasukan Batu (Barisan Tahan Udji).

Dalam wawancara dengan bekas anggota TNI bernama Kusdi, Dimas Anggoro dalam skripsinya di UKSW berjudul “Peran Masyarakat Tengaran dalam Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia di Kecamatan Tengaran 1947-1949,” menyebut bahwa pasukan Batu merupakan bikinan Slamet Riyadi.

Pada 1948, ketika Slamet Riyadi menjabat sebagai Comando Operasi Pertempuran di Sektor II, ia dibuat geram oleh para garong yang disebut meresahkan masyarakat. Beberapa garong tersebut adalah Sastro Sadjat, Joyo Suwondo, dan Multayat. Mereka kemudian ditangkap dan akan dibunuh. Namun Slamet Riyadi memberi kesempatan mereka dan memberi tugas untuk merampas 40 pucuk senjata api dari Belanda.

Delegasi Indonesia dalam Perjanjian Renville. Dari kiri ke kanan: Johannes Latuharhary, Ali Sastroamidjojo, Haji Agus Salim, Johannes Leimena, Setiadjit Soegondo, Amir Sjarifuddin. (Wikimedia Commons)

Dikisahkan, beberapa hari kemudian mereka berhasil mencuri 40 pucuk senjata api dari Tangsi Besar Salatiga. Slamet Riyadi mengambil setengahnya dan memberikan sisanya kepada mereka. Slamet Riyadi juga membentuk pasukan Barisan Tahan Udji (Batu) untuk mewadahi mereka.

Pasukan Batu ditempatkan di wilayah status quo Gudean, Klero dengan persenjataan lengkap. Mereka bertugas memantau pergerakan Belanda jika menerobos wilayah Republik serta menangkap mata-mata Belanda. Namun mereka sering salah tangkap.

Komandan COP Sektor II belakangan digantikan oleh Lettu Sumitro karena Slamet Riyadi dipindah tugas ke Wonogiri. Pasukan Batu yang loyal kepada Slamet Riyadi membangkang dan kembali menjadi garong. Pasukan inilah yang menurut Dimas menjadi cikal-bakal gerakan Merapi Merbabu Complex (MMC) yang basisnya berada di lereng Gunung Merbabu dan Merapi.

Sementara dalam arsip Anton Lucas Collection-Flinders University, Murtejo Hadi, bekas anggota MMC, menyebut bahwa Pasukan Batu dibentuk oleh bekas pejuang, bukan bekas gerombolan garong.

“Jadi orang-orang bekas pejuang yang tidak langsung ikut tentara, lantas mengundurkan diri dan membentuk Barisan Tahan Uji yang disingkat BATU, yang basisnya di Ungaran, Ngampel, dan Boyolali,” jelasnya.

Semdam VII/Diponegoro Semarang menyebut bahwa mereka yang disingkirkan mulanya adalah pejuang. Namun mereka kemudian dianggap bergerak menuju “ekstrim kiri”. Apalagi setelah KMB, daerah Salatiga dan Ambarawa dijaga anggota-anggota APRIS yang berasal dari KNIL dan Polisi RIS yang berasal dari Polisi Federal Belanda.

Cerita terbentuknya MMC memang lebih kompleks dari sekadar gerakan yang dimulai oleh gerombolan garong. MMC berkelindan dengan revolusi sosial hingga reforma agraria di pedesaan sekitar Merapi dan Merbabu. Pertemuan dan persimpangan antara MMC dan gerombolan garong, juga hubungannya dengan PKI, sama rumitnya.

Garis demarkasi di Klero, perbatasan Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali. (National Museum of World Cultures)

Bandit-Bandit Gunung

Suhardi, petani berusia 95 tahun dari Susukan, Kabupaten Semarang, mengingat pada 1950-an rentan sekali terjadi apa yang dinamakan penggrayakan. Grayak adalah istilah untuk orang-orang yang sering merampok penduduk desa. Biasanya mereka mengambil ternak seperti sapi.

“Kalau malam, rombongan berjalan mengambil sapi petani-petani. Tidak bilang apa-apa, mendobrak. Kalau petaninya melawan, ya dihajar,” terang Suhardi.

Grayak bekerja rombongan dengan jumlah puluhan orang. Mereka biasanya mendatangi sebuah dusun layaknya orang biasa. Berjalan kaki beramai-ramai, lalu menggedor rumah dan langsung mengambil sapi empunya rumah. Sapi-sapi hasil rampokan kemudian dijual esok harinya ke pasar hewan seolah-olah sapi milik sendiri.

“Grayak itu orangnya banyak. Ada sekitar 25 hingga 30, berjalan biasa beramai-ramai,” ingat Suhardi.

Dari Dusun Susukan yang relatif jauh dari kaki Merbabu, grayak sampai ke Gedong dan Ngaduman yang merupakan dua dusun tertinggi di Gunung Merbabu. Sukarto (90), warga Gedong, menyebut hampir semua rumah di dusunnya pernah digedor grayak.

“(Yang diambil) pakaian, juga lembu,” katanya.

Dusun Sukarto berada di Desa Tajuk, di mana bekelnya (kepala desa) pernah dibunuh oleh grayak. Kasusnya dimuat dalam surat kabar Suara Merdeka, 7 April 1951. 

Kertoredjo, bekel Tajuk, memberi usulan memperkuat keamanan dalam sebuah rapat kecamatan pada 4 April 1951. Kertoredjo bangga karena Tajuk tak pernah didatangi grayak. Namun pada malam harinya rumahnya didatangi grapyak.

Sekira pukul sembilan malam, tulis Suara Merdeka, rumah Pak Bekel didatangi gerombolan orang bersenjata api. Mendengar pintu diketuk, Pak Bekel membuka pintu namun seketika beberapa tembakan menerjang ke arahnya. Ia menemui ajalnya. Salah seorang keponakannya yang datang menolong juga ditembak.

Menurut Sukarto, rombongan grayak datang tak terlalu larut malam. Sekira jam tujuh hingga delapan malam mereka mulai beroperasi. “Kalau ditegur, yang punya rumah dipentungi,” lanjutnya.

Jika sudah begitu, penduduk biasanya pasrah. Jika malamnya rumah mereka digedor grayak, polisi baru datang besok sorenya untuk memeriksa. Kasus semacam ini tentu saja tak pernah terusut.

Racardus Yustinus Hari Susanto Hardjoloekito dalam skripsi di IKIP Sanata Dharma tahun 1993 berjudul “Gerakan Merapi Merbabu Complex (MMC) di Jawa Tengah Tahun 1950-1955”, menyebut wilayah Merapi-Merbabu didominasi oleh para jago atau bandit. Kelompok ini berkembang terutama di wilayah perbatasan Boyolali dan Klaten. Mereka kemudian memperluas wilayah hingga Magelang dan Salatiga. Beberapa jago yang sohor di antaranya Darmopendot, Kampret, Ngusman Ali, dan Hardjo Bagong. Suradi Bledheg kemudian hadir sebagai tokoh yang menyatukan para jago.

Desa Kembang salah satu tempat operasi MMC. (Andri Setiawan/Historia.ID).

Menurut Ricardus, kelompok jago ini disusupi oleh kepentingan Belanda. Laporan Kepala Polisi Luar Kota Klaten menyebut ada orang Belanda yang berunding dengan Suradi Bledheg terkait perampokan-perampokan ternak, terutama lembu, untuk mengacaukan perekonomian petani. Sebagai gantinya, mereka mendapat persenjataan dari Belanda.

Para jago atau grayak inilah yang kemudian seringkali dianggap sebagai satu-satunya representasi MMC. Padahal bekas gerilyawan yang tergabung dalam Persatuan Korban Rasionalisasi (PKR) juga kerap disebut MMC. Ricardus menempatkan mereka pada periode kedua MMC (1950-1955).

Beberapa orang tua yang hidup sezaman memang lebih mengenal grayak untuk menyebut semua gerombolan yang beroperasi di Merapi dan Merbabu. Namun sebagian juga paham bahwa MMC yang PKR merupakan organisasi tersendiri.

Suhardi misalnya, menyebut bahwa MMC merupakan organisasi bagi para gerilyawan yang tak diterima masuk TNI. 

“Tentara rakyat ikut berjuang, ikut perang, tapi akhirnya ada retooling, reorganisasi. Itu yang tadinya ikut berjuang, ya memakai bedil, toh nyowo (bertaruh nyawa), akhirnya ada yang diterima menjadi prajurit asli, ada yang tidak diterima,” katanya.

Kekecewaan itu, menurut Suhardi, memicu mereka untuk membuat perkumpulan sendiri. Apalagi mereka masih membawa senjata yang dulu dipakai untuk bertempur. Namun Suhardi tak tahu lebih lanjut bagaimana seluk beluk MMC.

Berbeda dari Suhardi, banyak orang, bahkan beberapa buku sejarah, seringkali menyamakan MMC dengan grayak, meski kelak ada titik temu antara keduanya. Kekeliruan paling banyak terjadi ketika menyebut Suradi Bledheg, tokoh grayak paling ditakuti.

Suradi Bledheg seringkali dianggap sebagai ikon MMC pada semua periode. Namanya melegenda dan disebut punya kekuatan mistis. Namun, beberapa anggota MMC menyangkal bahwa bromocorah dari Kemusuk ini sebagai anggota MMC yang PKR, apalagi seorang pemimpin.

Waluyo, jebolan MMC PKR yang pernah menjadi anggota Panitia Negara di Istana, dalam arsip Anton Lucas Collection menyebut bahwa Suradi Bledeg merupakan seorang bajingan. Meski demikian, ia disebut pernah bekerja untuk MMC PKR.

Waluyo pernah bertemu Suradi Bledeg dan berusaha menasehatinya. Ia mempersilahkan jika Suradi Bledeg menggarong para pengkhianat yang bekerjasama dengan Belanda. Bukannya malah menggarong petani.

“Jangan sekali-sekali menggarong orang yang baik-baik. Lha, lama-lama setelah menggarong kaum tani juga, maka keadaan menjadi panas,” terangnya.

Suradi Bledeg ditembak mati di Klaten dalam operasi pembersihan tahun 1952. Serangkaian operasi digelar untuk membersihkan sisa-sisa grayak pengikut Suradi Bledheg. Maka, periode grayak dalam sejarah MMC pun berakhir.

Namun, suhu politik di Gunung Merapi-Merbabu masih cukup panas. Para korban Reorganisasi dan Rasionalisasi sudah lama berhimpun. Mereka tersingkir dan kecewa. Enggan menyerahkan senjata dan bersembunyi di lereng-lereng gunung.

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/21-mmc/MMC-ok.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/21-mmc/MMC-ok.mp4"></video></div>

<div class="infografis-content text-center"><script src="//my.visme.co/visme-embed.js"></script><div class="visme_d" data-title="MMC" data-url="mxwpm183-mmc" data-w="800" data-h="1418" data-domain="my"></div></div>

Korban Re-Ra

Ketika Kabinet Amir Sjarifuddin II berkuasa, Z. Baharuddin, seorang komunis yang duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), menyampaikan mosi untuk menyederhanakan Angkatan Perang. Persoalan pembiayaan angkatan perang dan organisasinya yang tidak efektif dan efisien menjadi sebab mosi ini.

Mosi yang menjadi cikal-bakal Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) ini diterima pada 20 Desember 1947 dan segera disusun undang-undangnya. Tujuh hari kemudian, Amir menyiapkan perintah pelaksanaan berupa Penetapan Presiden No. 1/1948 yang ditandatangani Presiden Sukarno. Namun Kabinet Amir Sjarifuddin II keburu jatuh.

Pemerintahan beralih ke Kabinet Hatta I. Program Re-Ra berlanjut. Dalam otobiografinya Untuk Negeriku, Hatta menyebut bahwa jumlah tentara terlalu banyak dibanding dengan jumlah senjata yang tersedia. Untuk itu ia menyiapkan pekerjaan sipil untuk tentara yang dikeluarkan dari TNI. Salah satunya sebagai penggergaji kayu di Madiun.

“Aku mulai dengan mengeluarkan TNI Masyarakat dari tubuh TNI, yang selama ini dibiayai oleh Kementerian Pertahanan,” tulis Hatta.

Hatta memilih tentara yang berpendidikan militer KNIL dan PETA agar memenuhi standar internasional. Ia juga bekerja sama dengan Belanda untuk menyiapkan Tentara Federal dalam Negara Indonesia Serikat. Inilah yang membuat bekas tentara rakyat sakit hati.

Di tangan Hatta, Program Re-Ra berubah menjadi bumerang bagi kaum kiri. Pasalnya, TNI Masyarakat berisi laskar-laskar rakyat yang menyokong Kabinet Amir Sjarifuddin. Laskar-laskar ini cenderung diisi orang-orang berhaluan kiri.

Amir beserta kelompok sayap kiri tentu tak suka dengan kebijakan Hatta. Mereka kemudian mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang terdiri Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), dan Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia.

Situasi menjadi tegang setelah terjadi beberapa pembunuhan serta penculikan terhadap orang golongan kiri. Termasuk tewasnya Kolonel Soetarto, seorang perwira dari Divisi Panembahan Senopati, kesatuan yang mendapat pengaruh kuat FDR dan separuh pasukannya berasal dari Pesindo. Inilah yang menjadi salah satu pemicu Peristiwa Madiun 1948.

Setelah diberlakukan Re-Ra, muncul beragam organisasi yang menghimpun korban Re-Ra. Misalnya Persatuan Bekas Pejuang Bersenjata (Perbebsi) yang belakangan membentuk Legiun Veteran.

Re-Ra juga melahirkan Persatuan Korban Rasionalisasi (PKR). Menurut Semdam VII / Diponegoro Semarang, organisasi yang bermarkas di wilayah Kabupaten Semarang ini dipimpin oleh bekas Heiho bernama Sujud alias Kridomarsono. PKR kelak begitu berpengaruh di MMC karena berhasil mempengaruhi organisasi-organisasi serupa. Sementara, menurut Murtejo Hadi, embrio PKR adalah Pasukan Batu pimpinan Sastro Sadjat.

“Jadi mereka itu basis dari PKR yang pada umumnya dinamakan MMC,” ujar Murtejo Hadi.

Setidaknya ada tiga unsur yang membentuk PKR ketika Murtejo Hadi gabung MMC. Pertama, bekas pejuang atau tentara yang terkena Rasionalisasi. Kedua, orang-orang yang tidak diterima oleh masyarakat seperti penjudi, pemabuk, hingga orang yang tidak dapat membayar utang. Ketiga, para pemuda yang ingin masuk militer dan tertarik dengan PKR karena organisasi ini bersenjata. Dari sini, setidaknya dapat diketahui kenapa istilah MMC digunakan untuk menyebut organisasi-organisasi korban Re-Ra. 

Siswoyo, anggota Sekretariat CC PKI dalam Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri, menyoroti gerakan reforma agraria sebagai faktor pokok kemunculan MMC. Menurutnya, mayoritas anggota MMC merupakan massa dan aktivis-aktivis tani yang terlibat dalam reforma agraria di wilayah Merapi-Merbabu.

Kiri-kanan: Amir Sjarifuddin, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Haji Agus Salim. (Arsip Nasional Belanda)

Siswoyo menyebut MMC diisi oleh bekas gerilya perkotaan atau bekas anggota TNI. Bahkan beberapa elite desa jadi anggotanya seperti Lurah Bono, Lurah Wadas, dan Lurah Mundu di Klaten. Namun kaum tani tetap menjadi tulang punggung MMC. Buruh tani, tani miskin dan tani sedang yang mengisi mayoritas MMC merupakan anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) yang biasa disebut BTI nduwur.

“Hal ini wajar terjadi, seperti juga di negeri-negeri jajahan atau setengah jajahan, bahwa perang kemerdekaan Indonesia hakikatnya adalah revolusi agraria. Karenanya, tenaga pokoknya adalah kaum tani,” urainya.

N.A. Wisnuwardana dalam Jawa Tengah, Menyongsong Hari Esok yang Lebih Cerah menyebut hal senada. Berdasarkan keterangan seorang anggota MMC yang tertangkap pada 1957, MMC diilhami oleh PKI dan BTI. Banyak anggotanya juga merupakan anggota BTI.

BTI, yang punya kedekatan dengan PKI, didirikan November 1945. Organisasi massa petani ini kemudian berfusi dengan Rukun Tani Indonesia (RTI) pada September 1953. Nama yang dipakai tetap BTI.

Suparna Sastra Diredja, seorang pemimpin serikat buruh radikal di masa revolusi, menggambarkan lereng Merapi-Merbabu sebagai tempat mengungsi para buruh dan petani dari kota-kota yang diduduki Belanda. Di sana mereka mendapat pembagian tanah perkebunan untuk dikelola. Selain itu mereka mengumpulkan senjata dan bergabung dengan laskar untuk melawan Belanda. Gambaran Suparna tersua dalam novel sejarahnya yang berjudul MMC: Di Lereng Merapi Merbabu, tapi bisa dipastikan berdasarkan pengalaman pribadinya.

Sementara Rewang, anggota Politbiro CC PKI dalam memoarnya Saya Seorang Revolusioner, lebih menyebut MMC sebagai organisasi para pejuang yang tidak puas oleh politik kompromis pemerintah yang terlalu banyak memberi konsesi pada Belanda. Puncaknya, ketika pemerintah menerima Persetujuan KMB, MMC tak mau meletakkan senjata.

Namun, Rewang menyebut MMC urung menjadi kekuatan bersenjata yang revolusioner karena belum terpimpin oleh ideologi serta politik revolusioner kelas buruh. Menurutnya, ini menjadi bukti kesalahan PKI pada awal Revolusi Agustus 1945 yang tak mementingkan perjuangan bersenjata.

“Padahal perjuangan bersenjata adalah bentuk pokok perjuangan dalam revolusi. Kesalahan ini menyebabkan partai tidak mengorganisasi kekuatan bersenjata di daerah-daerah yang diduduki tentara Belanda,” terangnya.

Trikoyo Ramidjo, pengelola penerbitan Bintang Merah dan Bulletin PKI, menyebut bahwa D.N. Aidit dan M.H. Lukman pernah berdebat dengan senior PKI Alimin di rumahnya di Rawamangun, Jakarta Timur. Kala itu, Alimin ngotot agar MMC dipertahankan sebagai pendukung penting PKI.

Menurut Alimin, ada tiga hal yang harus diperkuat PKI: petani, partai itu sendiri, dan tentara merah. Tentara merah yang dimaksud Alimin ialah MMC. Aidit dan Lukman menolak.

Donald Hindley dalam tesisnya untuk gelar doktor di Australian National University pada 1961 yang berjudul “The Communist Party of Indonesia, 1951-1961: a Decade of The Aidit Leadership” menyebut bahwa para pemimpin PKI menyangkal hubungan dengan MMC. PKI juga mengutuk perampokan terhadap petani-petani di wilayah MMC.

“Namun, orang non-komunis yang saya ajak bicara di kawasan Merbabu-Merapi memandang MMC sebagai sisa-sisa pemberontak Madiun yang bertahan beberapa saat hingga pemimpinnya dibunuh oleh tentara atau polisi,” tulis Hindley.

Meski demikian, belum ada bukti komando dari D.N. Aidit atas MMC. Aidit juga tampaknya tak mendorong adanya angkatan bersenjata. Menurut Hindley, keuntungan merawat MMC terlalu kecil ketimbang risikonya. Apalagi, Aidit tengah berusaha membangun citra PKI yang terhormat, cinta demokrasi, dan antikekerasan.

TNI bersenjata dan masyarakat menangkap anggota pemberontakan FDR-PKI pada September 1948. (Arsip Nasional Belanda)

Turun Gunung

Sunario, mantan aktivis Front Nasional Jakarta, dalam arsip Anton Lucas Collection, menyebut bahwa MMC merupakan ide partai. Partai yang dimaksud tentu saja PKI. Ia menyebut beberapa nama yang terkait pembentukan MMC seperti Hadi Bengkring, Marso, Badak (Wondo), Nur Ali, Pus Raji, Rabiyo, dan Pratig.

“Mereka tidak terorganisasi. Tetapi saling mengerti. Aku tahu mereka semua siapa. Umumnya orang merah semua,” jelasnya.

Meski tak tahu pasti susunan organisasi MMC, Sunario menyebut ada yang berpangkat mayor, kapten, letnan hingga komandan resimen. Namun, siapa-siapa yang menduduki tiap pangkat tak pernah diumumkan secara resmi. Masing-masing pangkat juga memiliki identitas berupa gigi buatan yang berbeda. Gigi emas putih setara perwira pertama, dan gigi emas setara perwira menengah ke atas.

Hadi Bengkring, seorang senior PKI, disebut sebagai pembentuk Komando Resort MMC. Dua markas komando disebut berada di Salatiga dan Ambarawa.

“Dan itu mereka terus berhubungan. Tidak akan pisah. Mereka melakukan semua petunjuk-petunjuk dari partai,” sebutnya.

Hubungan MMC dengan PKI juga terlihat dalam memoar Siswoyo. Ia menyebut tak tahu-menahu soal jumlah anggota, kekuatan senjata, maupun komando, operasi dan sumber logistiknya. Namun, Siswoyo menyebut bahwa ia pernah memberi pendidikan khusus bagi mereka yang menyeleweng menjadi garong. Untuk mereka yang kambuh menjadi garong bisa dipecat atau diisolasi dari massa.

Ricardus menyebut PKR pecah menjadi dua: kelompok Multayat dan Sujud Kridosardjono. Multayat kemudian membentuk PKR Muda. Semntara Sujud Kridosardjono dan Umar Yunani mendirikan Organisasi Putra Proklamasi Republik Indonesia (OPKRI).

Umar Yunani merupakan tokoh MMC sohor. Ia bekas Perwira TNI Masyarakat di Salatiga dan merupakan ketua Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia (Sarbupri) di Bringin.

Sastro Martono dan Sopinah mengenal Umar Yunani. Umar adalah teman ayahnya dan kerap bertandang ke dusunnya. Sastro Martono tahu betul bahwa Umar seorang komandan MMC.

“Tapi kemudian jadi lawan?” ingat Sopinah tiba-tiba.

“Ya namanya orang, seperti itu. (Waktu itu) ya sudah pergolakan akhir-akhir. Mengkhianati MMC,” sahut Sastro Martono.

“Pura-pura diajak gerilya di mana begitu, terus ternyata ditangkap,” tambah Sopinah.

Sastro Martono buru-buru membenarkan, bahwa gerilya yang dimaksud Sopinah sebenarnya adalah perang melawan DI/TII. Ia menyebut MMC berjasa membendung masuknya DI/TII ke wilayah Merapi-Merbabu. Belakangan diketahui Umar Yunani tewas pada Juni 1955 dalam operasi pembersihan.

Salah satu kantor PKI. PKI tercatat berhubungan dengan MMC. (Arsip Nasional Belanda)

Semdam VII / Diponegoro Semarang menyebut operasi-operasi pembersihan MMC dimulai sejak 1950. Namun, pada 1951, MMC mulai dianggap gawat dan Panglima Divisi Diponegoro mengeluarkan Perintah Operasi MMMC bernama Merdeka Timur II (MT II).

MT II didukung delapan batalyon yang beroperasi di daerah Karesidenan Semarang, Kedu, dan Surakarta. Operasi ini berada di bawah Komando Panglima Divisi dan Letkol Suadi Suromihardjo sebagai Kepala Staf. Belakangan penyisiran diperluas hingga wilayah Kabupaten Kendal, Pekalongan, Demak, bahkan Purwodadi.

Hingga 1 April 1951, dilaporkan bahwa di wilayah Boyolali saja telah tertawan 359 orang. Dirampas pula 22 pucuk senjata, 1 senapan bren, dan 175 ekor lembu. Dan yang paling heboh adalah tertembaknya Suradi Bledheg.

Operasi MT II pun berakhir pada 16 Juni 1951. Sementara itu, di wilayah Salatiga, Ampel, Boyolali dan Ambarawa, MMC belum juga surut. Hingga pada Januari 1953 diadakan Operasi Tritunggal, gabungan polisi dan tentara. Perlahan, hingga 1956, wilayah ini dianggap bebas dari MMC.

Sunario menyebut, bekas anggota MMC ada yang ditransmigrasi ke Sumatra dan Kalimantan. Belakangan, di Sumatra mereka turut dalam perlawanan terhadap pemberontakan-pemberontakan seperti Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda.

Sastro Martono tak ingat kapan tepatnya ayahnya ditangkap. Tapi yang jelas, Sastro Sadjat divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Boyolali.

“Ketika disidang, divonis, saya juga nungguin. Ditangkap, disidang, terus ada barang bukti seingat saya senjata namanya bren. Senjata otomatis besar,” ingat Sastro Martono.

Sementara Imam Bagong akhirnya turun gunung. Atas penyerahan dirinya, ia tak ditahan. Imam Bagong kembali menjadi petani di dusunnya. Hidup bersama anaknya Sopinah yang telah menikah dengan Sastro Martono, anak lelaki sahabatnya yang mendekam di balik jeruji besi.

Pada 1960-an ketika PKI berjaya, Sastro Martono bergabung dengan Pemuda Rakyat. Sopinah tak mau ketinggalan, ia bergabung dengan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Kendati hanya anggota biasa, Sastro Sadjat dan Imam Bagong bangga anak-anak mereka tetap “merah”.

Pasca peristiwa G30S 1965, badai kembali menerpa keluarga ini. Sastro Martono ditangkap pada 1968, sementara Sopinah harus menghadiri panggilan dan apel-apel wajib. Sastro Martono, tanpa pengadilan, menjalani tiga tahun penjara beserta kerja paksa. Ia bersama tahanan politik lain dari Boyolali seringkali dipekerjakan membangun jembatan di seantero kabupaten. 

Hari menyakitkan kemudian datang pada 1970. Sastro Sadjat meninggal dunia di penjara ketika Sastro Martono masih menjalani hukumannya.

“Akhirnya meninggal di penjara tahun 1970-an,” kenangnya.

Hujan masih turun di luar dan gelas teh hampir tandas. Sastro Martono dan Sopinah tampaknya telah terang atas masa lalu keluarganya. Ia tahu, ada bagian dalam sejarah hidupnya yang memang patut dibanggakan dan ada yang memang perlu diterima apa adanya. Ia juga lega bisa bercerita mengenai hal-hal yang dianggap orang sebagai aib dan dosa.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
62e7042a977ab3025c574ba2