Teror dari Asia

Asian Flu menyebar dari Asia ke seluruh dunia. Hampir dua juta jiwa melayang. Berhasil diatasi dengan vaksinasi.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Teror dari AsiaTeror dari Asia
cover caption
Pasien Asian Flu ditampung di gedung olahraga di Luleå, Swedia, 1957. (Wikimedia Commons).

SEWAKTU dalam perjalanan ke New York untuk menjalani tugas barunya sebagai kepala Perwakilan Tetap RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ali Sastroamidjojo menyempatkan diri mampir ke Kairo pada awal Juni 1957. Dia hendak menyambangi Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir. 

Sesaat sebelum memasuki Terusan Suez, kapal Neptunus berhenti. Namun, seluruh penumpang kapal tak bisa turun karena adanya larangan yang dikeluarkan dokter kepala karantina Mesir. 

Ali segera meminta Mahmud Latjuba, duta besar Indonesia di Kairo yang menjemputnya, memberi tahu si dokter supaya memberi pengecualian. Si dokter menolak. Latjuba akhirnya mengontak ajudan Nasser. Tak berapa lama, perintah Nasser datang untuk memberi dispensasi kepada Ali dan rombongan. 

Di Kairo, Nasser sudah menunggu lama. Ali menceritakan kejadian yang dialaminya. “Ia tertawa dan secara berkelakar minta maaf bahwa saya telah ‘menjadi korban daripada disiplin dan efisiensi dinas kesehatan Mesir’,” tulis Ali dalam memoarnya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku

Biang keladi tertahannya Ali tadi ternyata Asian Flu. “Pada waktu itu dianggap sangat berbahaya sebab lekas sekali bisa menular,” tulis Ali. 

SEWAKTU dalam perjalanan ke New York untuk menjalani tugas barunya sebagai kepala Perwakilan Tetap RI di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Ali Sastroamidjojo menyempatkan diri mampir ke Kairo pada awal Juni 1957. Dia hendak menyambangi Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir. 

Sesaat sebelum memasuki Terusan Suez, kapal Neptunus berhenti. Namun, seluruh penumpang kapal tak bisa turun karena adanya larangan yang dikeluarkan dokter kepala karantina Mesir. 

Ali segera meminta Mahmud Latjuba, duta besar Indonesia di Kairo yang menjemputnya, memberi tahu si dokter supaya memberi pengecualian. Si dokter menolak. Latjuba akhirnya mengontak ajudan Nasser. Tak berapa lama, perintah Nasser datang untuk memberi dispensasi kepada Ali dan rombongan. 

Di Kairo, Nasser sudah menunggu lama. Ali menceritakan kejadian yang dialaminya. “Ia tertawa dan secara berkelakar minta maaf bahwa saya telah ‘menjadi korban daripada disiplin dan efisiensi dinas kesehatan Mesir’,” tulis Ali dalam memoarnya, Tonggak-Tonggak di Perjalananku

Biang keladi tertahannya Ali tadi ternyata Asian Flu. “Pada waktu itu dianggap sangat berbahaya sebab lekas sekali bisa menular,” tulis Ali. 

Di Indonesia, wabah Asian Flu sudah menyerang bulan sebelumnya. Sumbernya dari Singapura. Pada 23 Mei 1957, dalam konferensi pers, Kementerian Kesehatan menyatakan daerah yang pertama terjangkiti adalah Bandung –meski kemudian diketahui Medan terserang lebih dulu. Menurut dr. Pirngadi, sekjen Kementerian Kesehatan, pembawa pandemi adalah dua anak dari Sumatra Utara. Sebelum datang ke Bandung, keduanya singgah di Singapura. Tiga hari di Bandung, keduanya menderita flu di asrama. Keesokannya, lima kawannya tertular. Pada 17 Mei, jumlah yang terjangkit mencapai 27 orang. 

Wabah juga menyerang Tanjung Pinang (Kepulauan Riau), Medan, Makassar, dan Sulawesi. Karenanya Kementerian Kesehatan mengimbau agar menghindari orang yang sudah terjangkit. Kementerian juga memberi informasi mengenai gejala Asian Flu: panas, tenggorokan sakit, pening, persendian sakit, dan batuk. “Kalau sudah sangat (parah, red.) penyakit itu akan menimbulkan komplikasi seperti long-ontsteking, dan komplikasi itu amat berbahaya dan dapat membunuh,” ujar Pirngadi, dikutip Harian Rakjat, 24 Mei 1957. 

Sebagai pencegahan, Kementeriaan Kesehatan bekerjasama dengan berbagai instansi. Di Medan, misalnya, pemda memerintahkan penutupan sekolah-sekolah, kolam renang, dan bioskop selama tujuh hari. Kementerian Kesehatan juga memberikan penisilin atau sulfa kepada si sakit. 

Di Negeri Belanda, virus Asian Flu yang kali pertama diisolasi di Eropa Barat dan dilaporkan ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berasal dari penumpang pesawat dari Jakarta yang tiba pada 4 Juni. Namun, kasus-kasus berikutnya tak punya kaitan dengan penumpang tersebut. “Tampaknya lebih mungkin bahwa infeksi tersebut diperkenalkan ke negara itu dari wabah di kapal-kapal yang tiba di Rotterdam dan Den Haag, dan menyebar luas pada Juli di kamp-kamp orang Indonesia di tempat-tempat berbeda di negara itu dengan sedikit menyebar ke populasi umum pada waktu itu,” tulis Dr. A.M.M. Payne, kepala epidemiologi WHO, dalam simposium mengenai epidemi Asian Flu pada 16 Mei 1958. 

Anggota International Ladies Garment Workers Union menerima vaksin Asian Flu tahun 1957. (Flickr Kheel Center).

Pandemi di Muka Bumi

Setelah berhasil mengidentifikasi penyebab Asian Flu pada akhir Februari 1957, para ahli menyimpulkan pandemi tersebut disebabkan virus H2N2 –tipe virus influenza A yang menjangkiti manusia dan binatang. Virus tersebut kali pertama berjangkit pada 1956 di Kweichow (Guizhou), barat daya Tiongkok. Setelah itu, virus menyebar ke Provinsi Yunan pada awal Maret 1957. Tak butuh waktu lama, pada pertengahan bulan itu juga seluruh negeri terjangkit. 

Di Tiongkok, ujar Payne, virus itu kali pertama diisolasi di Chanchung oleh C.M. Chu dkk. (1957) serta di Peking oleh F.F. Tang dan Y.K. Liang (1957); dan keduanya mengakui sebagian besar ciri virus itu yang dijelaskan di tempat lain. “Sayangnya informasi ini tak sampai ke seluruh dunia sampai epidemi menyebar luas. Seandainya sampai, kita punya waktu dua bulan untuk melakukan persiapan,” ujar Payne. 

Sebelum menyebar ke seluruh Tiongkok, Asian Flu menjangkiti Negeri Sakura pada akhir 1956. Menurut Hideo Fukumi, kepala Japanese Influenza Centre National Institute of Health, dalam “Summary Report on the Asian Influenza Epidemic in Japan, 1957” yang dimuat Bulletin World Health Organization 1959, sumbernya berasal dari Tiongkok tapi pola dan tempat-tempat penyebarannya tak diketahui pasti. Hanya saja, sekolah dan kamp militer menjadi tempat penting penyebaran, yang di Jepang disebabkan virus influenza A dan B. Dari temuan-temuan yang didapat, “penyebab utama kematian adalah pneumonia akut dan gagal jantung.” 

Dari Tiongkok pula, Asian Flu menyebar ke Hong Kong dan Singapura pada April. Dari Singapura-lah WHO menerima laporan pertama tentang Asian Flu. Pada 5 Mei 1957, Dr. Hale, anggota sistem pengawasan WHO di Singapura yang melakukan isolasi atas virus tersebut, mengirim telegram kepada Payne: “Wabah influenza meluas di Singapura. Stop. Belum ada yang harus dilaporkan, data pasti belum diketahui. Stop. Strain yang diisolasi akan diteruskan ke World Influenza Centre.” 

Iklan obat saat pandemi Asian Flu.

World Influenza Centre di London, Walter Reed Army Institute for Medical Research di Washington, dan Walter and Eliza Hall Institute di Melbourne kemudian mengidentifikasi bahwa virus itu adalah varian baru dari virus A. 

“Berita itu sampai ke WHO pada 23 Mei dan disiarkan melalui siaran epidemiologi di seluruh dunia milik WHO pada hari berikutnya,” tulis Payne. 

“Pandemi influenza 1957 adalah kali pertama belajar menggunakan teknik virologi modern di hampir seluruh jaringan laboratorium di seluruh dunia yang diorganisir Organisasi Kesehatan Dunia. Ironisnya, epidemi itu berasal dari area yang tidak tercakup oleh program tersebut.” 

Asian Flu lalu menyebar ke selatan: Filipina, Thailand, Indonesia (Kalimantan dan Sulawesi), dan Australia. Asian Flu menyasar India, Pakistan, Iran, Yaman, Mesir, Sudan, dan negara-negara Afrika lainnya, hingga Eropa. 

“Pada bulan Agustus dan September penyebaran berlanjut dan pada akhir bulan tampak jelas bahwa hampir seluruh dunia yang dihuni telah terinfeksi, atau setidaknya ditempati dengan virus, kecuali mungkin beberapa komunitas yang terisolasi,” tulis Payne. 

Data-data penyebaran pandemi menunjukkan bahwa virus baru yang tampaknya berasal di satu daerah di Tiongkok menyebar ke seluruh dunia dalam waktu sekitar tujuh bulan, tak secepat pandemi flu sebelumnya. Menurut Payne, ini mungkin disebabkan kurang efektifnya virus tersebut dan orang sudah punya pengalaman dari jenis antigenik ini. 

Di seluruh dunia, sepanjang kehadiran pandemi Asian Flu mulai 1957–1958, total kematian diperkirakan mencapai hampir dua juta orang. 

Vaksin untuk Asian Flu tahun 1957 tersimpan di National Museum of American History. (smithsonianmag.com).

Vaksinasi 

Pagi 17 April 1957, Maurice Hilleman, mikrobiolog-cum-ahli influenza yang menjabat direktur Central Laboratory of Viral Surveillance, badan kesehatan milik Angkatan Darat AS, sedang santai membaca New York Times di kantornya. Matanya tiba-tiba terpaku pada berita pendek empat paragraf bertajuk “Hong Kong Battling Influenza Epidemic”. Dia terkaget. “Oh Tuhan...ini pandemik. Sekarang di sini!” gumamnya, dikutip George Dehner dalam Influenza

Pandemi Asian Flu memasuki AS. Para pelaut AL AS diyakini membawanya sepulang tugas dari luar negeri. Hilleman langsung mengirim kawat ke pangkalan militer AS di Asia, meminta staf di sana mengumpulkan dan mengirimkan sampel ke Walter Reed Army Medical Center. 

Sampel tiba tak lama kemudian. Hilleman melakukan uji coba terhadap personel militer dan penduduk sipil. Tapi tak satu pun yang berhasil memproduksi antibodi. Dia segera mengeluarkan keterangan pers yang memprediksi AS bakal dilanda pandemi influenza pada musim gugur 1957. Dia juga mengirimkan sampel virus ke kantor WHO, Public Health Service AS, dan laboratorium-laboratorium militer. 

Saat itu, satu-satunya prosedur perlindungan terhadap flu adalah vaksinasi dengan vaksin influenza biasa –baru kemudian para ahli menemukan vaksin 200 CCA dan diganti 400 CCA pada Januari 1958. Karena kebutuhan vaksin begitu mendesak, Hilleman menghubungi enam perusahaan farmasi di AS untuk memproduksi vaksin. 

Pemerintah AS bersama berbagai pihak melakukan vaksinasi di berbagai tempat. Menurut Gerald F. Pyle dalam The Diffusion of Influenza: Patterns and Paradigms, program inokulasi yang diadakan pemerintah federal menyelamatkan ribuan nyawa. Vaksinasi dengan pola sama, dengan dua suntikan dalam rentang waktu kurang dari tiga pekan, juga menjadi pola penanganan Asian Flu di berbagai tempat. 

Di Jepang, para ahli segera mengisolasi virus pada Mei 1957. Bersamaan dengan itu mereka menghimbau perusahaan-perusahaan farmasi memproduksi vaksin. Namun produksi vaksin baru bisa berjalan dua bulan kemudian. Setelah lolos uji dari National Institute of Health of Japan, vaksinasi diberikan pada November ketika pandemi Asian Flu sudah mencapai puncaknya. 

Di Inggris, vaksinasi terhalang kemampuan produksi. Wright-Fleming Institute of Microbiology (WFIM), yang menjadi pusat produksi vaksin Asian Flu di Eropa, hanya memproduksi sekira 10 ribu selama dua bulan pertama. Ini jelas tak mencukupi. “Harapan para pemasok vaksin bisa mengobati 60 juta jiwa pada 1 Desember, masih kurang untuk mengobati seluruh penduduk,” tulis Life edisi 18 November 1957. 

Betapapun, pihak swasta memainkan peran penting bagi ketersediaan vaksin di berbagai tempat. Vaksin-vaksin itulah yang memberi perlindungan dan menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia. 

Pada Desember 1957, Asian Flu memasuki masa antiklimaks meski sebulan kemudian gelombang kedua yang lebih kecil datang dan merenggut banyak korban. Tapi gelombang kedua tak lama. Pada triwulan kedua 1958, Asian Flu praktis tak muncul.*

Infografis virus influenza. (Dhiet AM/Historia.ID).

Majalah Historia No. 19 Tahun II 2014

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
659604ee6b09ed7cc8aa2868
X

Pengumuman

Website Historia.ID Premium akan dinonaktifkan per akhir Februari 2025 karena kami sedang melakukan migrasi konten ke website Historia.ID

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya.

Terima kasih
Historia.ID