Presiden AS Lyndon B. Johnson mengunjungi IRRI. Berdiri dari kiri ke kanan adalah Peter Jennings, Hank Beachel, dan Presiden Filipina Ferdinand Marcos. Duduk sebelah kiri adalah Robert Chandler, 26 Oktober 1966. (irri.org).
Aa
Aa
Aa
Aa
MUSIM kering 1966, S.K. De Datta, seorang agronomis muda India yang bergabung dengan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI), melakukan ujicoba penanaman IR8 dengan kondisi pupuk yang berbeda.
Ketika panen, De Datta terkagum-kagum karena IR8 menghasilkan sekira 5 ton per hektar tanpa pupuk dan hampir 10 ton dengan 120 kg nitrogen per hektar. Padahal hasil rata-rata di Filipina kala itu hanya sekitar 1 ton per hektar.
Dia kemudian menunjukkan data itu kepada Henry Beachell, kepala pemuliaan padi IRRI, yang langsung mengajaknya menemui Robert Candler, direktur IRRI.
Candler sedang memimpin sebuah seminar. Begitu rampung, dia melihat kegembiraan di wajah Beachell dan De Datta. Chandler mengajak mereka ke kantornya. Ketika De Datta menunjukkan datanya, Chandler bersemangat. “Seluruh dunia akan mendengar tentang hal ini,” kata Chandler. “Kita akan membuat sejarah!” Dia menjabat tangan dan mengucapkan selamat kepada Beachell dan De Datta.
Segera laporan serupa datang ke IRRI dari seluruh Asia, termasuk panen 11 ton di Pakistan.
MUSIM kering 1966, S.K. De Datta, seorang agronomis muda India yang bergabung dengan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI), melakukan ujicoba penanaman IR8 dengan kondisi pupuk yang berbeda.
Ketika panen, De Datta terkagum-kagum karena IR8 menghasilkan sekira 5 ton per hektar tanpa pupuk dan hampir 10 ton dengan 120 kg nitrogen per hektar. Padahal hasil rata-rata di Filipina kala itu hanya sekitar 1 ton per hektar.
Dia kemudian menunjukkan data itu kepada Henry Beachell, kepala pemuliaan padi IRRI, yang langsung mengajaknya menemui Robert Candler, direktur IRRI.
Candler sedang memimpin sebuah seminar. Begitu rampung, dia melihat kegembiraan di wajah Beachell dan De Datta. Chandler mengajak mereka ke kantornya. Ketika De Datta menunjukkan datanya, Chandler bersemangat. “Seluruh dunia akan mendengar tentang hal ini,” kata Chandler. “Kita akan membuat sejarah!” Dia menjabat tangan dan mengucapkan selamat kepada Beachell dan De Datta.
Segera laporan serupa datang ke IRRI dari seluruh Asia, termasuk panen 11 ton di Pakistan.
Kabar itu sampai ke telinga Presiden Filipina Ferdinand Marcos. Dengan helikopter dia pun terbang ke markas IRRI di Los Banos, Manila, Filipina. Mendengar penjelasan dari staf IRRI, Marcos langsung kepincut dan memerintahkan memperbanyak benih IR8 secepat mungkin. Dia ingin mewujudkan swasembada beras di Filipina selama masa pertama jabatannya.
Varietas baru ini menghasilkan panen berlimpah, tapi punya kelemahan. Terutama bulirnya besar dan berkapur serta memiliki kerusakan tinggi selama penggilingan. IR8 juga memiliki kandungan amilosa tinggi, yang membuatnya mengeras setelah pendinginan. Namun, dunia lagi kekurangan pangan. Komite benih IRRI memutuskan secara resmi menamai IR8-288-3 sebagai IR8 pada 14 November 1966. Kabar ini dirilis pada 28 November.
“IR8, dan IRRI, memang ‘membuat sejarah’. IR8 mengubah situasi pangan dunia dan mengawali apa yang sekarang disebut Revolusi Hijau di beras,” tulis Tom Hargrove dan W. Ronnie Coffman dalam “Breeding History”, dimuat Rice Today, Oktober-Desember 2006. Istilah Revolusi Hijau mengacu pada perbaikan produksi pangan dengan menggunakan varietas gandum dan padi unggul.
Indonesia termasuk negara yang mencicipi IR8. “Padi Ajaib”, begitu para ahli pertanian Indonesa menyebutnya.
Perkawinan Cebol dan Tinggi
IRRI didirikan tahun 1959 dengan bantuan Ford Foundation dan Yayasan Rockefeller, dengan harapan bisa melanjutkan kisah sukses pusat pemuliaan jagung dan gandum di Meksiko, Centro Internacional de Mejoramiento de Maíz y Trigo (CIMMYT), dua dekade sebelumnya. Robert Candler, direktur pertama IRRI, membentuk sebuah tim dengan misi: mengembangkan varietas padi unggul.
Peter Jennings bersama Sterling Wortman, dua peneliti IRRI, berkeliling Asia untuk mempelajari sekaligus mengumpulkan varietas padi. Setelah itu, Jennings membuat 38 persilangan dari berbagai varietas padi di IRRI pada 1962. Perkawinan dilakukan secara manual. Dengan mengambil benang sari untuk ditempelkan ke putik di gabah padi lainnya. Perkawinan yang dianggap paling bagus adalah padi Peta dengan Dee Geo Woo Gen (DGWG) dari Taiwan.
Peta, yang populer dan ditanam di Filipina, diciptakan Hadrian Siregar, pemulia padi asal Indonesia yang kemudian dijuluki Bapak Pemulia Padi, pada 1940. Selain Peta, dia menghasilkan beberapa varietas padi seperti Sigadis, Bengawan, dan Mas yang juga digunakan sebagai induk dari padi IR setelah IR8.
Hadrian mendeskripsikan kelebihan Peta. Peta tahan terhadap berbagai macam penyakit padi, memiliki batang yang kokoh, kondisi daun yang tegak lurus sehingga mempermudah proses photosintesis. Namun, Peta memiliki kekurangan dalam jumlah hasil panen. Selain itu, Peta yang memiliki batang tinggi akan bertambah tinggi jika tanahnya subur atau disuburkan dengan pupuk sehingga akan roboh jika terhempas angin.
Kelemahan Peta ditutupi DGWG, varietas padi berhasil panen tinggi, kuat, dan cebol. Maka, terciptalah padi pendek, kuat, berdaun tegak yang bisa menghasilkan panen melimpah, tahan hama, serta responsif terhadap pemupukan. Padi ini kemudian dirilis tahun 1966 dengan nama IR8. Di Indonesia, ia diperkenalkan dengan nama PB-8 atau Peta Baru 8.
“IR8 dianggap sebagai varietas padi indica tinggi unggul pertama yang sesuai dengan iklim tropis. Dengan manajemen yang baik beras kerdil seperti IR8 memiliki potensi besar untuk meningkatkan hasil panen padi di Asia,” tulis Shouichi Yoshida dalam Fundamentals of Rice Crop Science.
Untuk memperingati keberhasilan menciptakan IR8, setiap tahun IRRI menanam padi IR8, Peta, dan DGWG berdampingan.
Demi menghasilkan benih terbaik, IRRI terus melakukan penyilangan. Pada 2005, 82.354 penyilangan telah dilakukan di IRRI. Khusus untuk IR, sejarah mencatat, IRRI mengeluarkan 34 padi IR. IR74 menjadi varietas terakhir yang dikeluarkan IRRI, yakni tahun 1988. Data IRRI menyebut bahwa IR telah ditanam di 77 negara.
Pentingnya Rasa
Sebagai pusat pembudidayaan varietas padi, Jawa mulanya diplot sebagai pusat IRRI. Rencana itu batal karena alasan politik. “Pertama IRRI memilih Indonesia, tapi IRRI didukung oleh Amerika Serikat. Waktu itu pemerintahan Sukarno (dekat) ke China,” kata Zulkifli Zaini, liaisonscientist (penghubung peneliti) IRRI-Indonesia kepada Historia.
Indonesia mulai menjalin hubungan dengan IRRI setelah Sukarno tumbang. Pemerintah Orde Baru berharap mendapat ramuan mujarab untuk mengatasi kebutuhan pangan dalam negeri. Maka, sepaket dengan pengenalan pupuk dan pestisida, penanaman varietas padi IR digulirkan di Indonesia.
Program Bimbingan Massal (Bimas) yang gagal pada masa Sukarno dihidupkan kembali dengan nama Bimas Gotong Royong. Mereka mengajarkan panca usaha tani yang mencakup penyediaan air, penggunaan benih unggul, penyediaan pupuk kimia, pengendalian hama, dan cara bercocok tanam.
Di lapangan, Bimas mengalami kendala. Sebagian petani menjumpai IR tak cukup menjanjikan. Rasanya tak enak dan harga jualnya rendah. Ia juga butuh asupan air dan pupuk cukup banyak. Agar petani mau menanam, pemerintah memakai kekerasan.
Menurut Zulkifli Zaini, program benih unggul memang mengandung unsur paksaan. Semua perangkat daerah sudah dikondisikan. Bupati terjun langsung untuk memastikan petani menanam benih unggul, khusunya padi IR. “Petani yang tidak menggunakan padi unggul padinya akan dicabut,” kata Zulkifli.
Kelemahan IR bukanlah isapan jempol semata. Dan toh, paksaan itu tak menyurutkan langkah beberapa petani untuk menanam varietas lain, termasuk yang lokal.
Menurut Hadrian Siregar dkk., IR8 lebih rentan terhadap penyakit serta nasi yang dihasilkannya pera dan keras. Karenanya, petani Indonesia lebih memilih varietas lokal, Siampat.
“Petani Indonesia menerima varietas baru lebih dipengaruhi oleh kualitas masak dan beras daripada hasil panen,” tulis Hadrian dkk. dalam laporan berjudul “Breeding Rice Varieties for Indonesia” yang disampaikan pada Breeding Rice Symposium IRRI di Manila tahun 1974. Hadrian hadir bersama Zainuddin Harahap dan B.H. Siwi sebagai utusan Indonesia dari Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3).
Mengakali masalah rasa pada IR8, Hadrian dan Zainuddin menyilangkan IR8 dengan varietas lokal Shinta. Lahirlah Pelita I-1 dan Pelita I-2 tahun 1971, yang memiliki potensi hasil panen tinggi dan rasa nasi pulen. Kedua varietas itu tak bertahan lama karena rentan terhadap hama wereng coklat.
Sampai tahun 1974, varietas IR yang ditanam di Indonesia adalah IR5, IR8, IR20, dan IR22 –dua terakhir dirilis tahun 1969. Selain itu, ada jenis padi bukan IR yang ditanam seperti Dewi Ratih, Siampat atau C4-63, Pelita I-1, dan Pelita I-2.
IRRI sendiri terus memperbaiki varietas IR. Beachel dan kemudian koleganya, Gurdev Singh Khush, menyilangkan IR8 dengan setidaknya 13 varietas lain dari enam negara: India, Indonesia, China, Vietnam, Filipina, dan Amerika Serikat. Hasilnya, pada 1976 IRRI merilis IR36, yang tahan hama dengan beras yang disukai banyak orang di di sejumlah negara.
“Sejak 1976, ketika petani Filipina kali pertama menanam IR36, ia menjadi varietas yang paling banyak ditanam ketimbang jenis tanaman pangan manapun di dunia yang pernah diketahui,” tulis IRRI dalam IR36: The World’s Most Popular Rice.
“Selama 1980-an, IR36 menjadi varietas padi yang paling banyak ditanam di dunia. Ia ditanam di sekira 11 juta hektar lahan irigasi dan tadah hujan. Tak ada varietas padi atau tanaman pangan lainnya yang tumbuh seluas itu sebelumnya. Ia masih tumbuh di Filipina, Indonesia, dan India setelah 28 tahun dirilis,” tulis G.S. Khush and P.S. Virk dalam IR Varieties and Their Impact.
Di Indonesia, sekira 60% petani menanam IR36. IR meningkatkan produksi padi, bahkan ikut andil dalam mengantarkan Indonesia mewujudkan swasembada beras pada 1984.
Diserang Wereng
Meskipun banyak ditanam di Indonesia, bukan berarti IR tanpa cela. Pada pertengahan 1970-an, para petani dikejutkan dengan serangan hama besar-besaran yang belum pernah terjadi sebelumnya: wereng coklat (Nilaparvata Lugens). Wereng menghisap batang dan daun padi sampai kering, hingga batang padi yang sedang berbuah mati dan tumbang.
Wereng menyerang sebagian besar lahan pertanian di Indonesia. Thoyib Hadiwidjaya, menteri pertanian kala itu, melaporkan 48.866 hektar sawah terserang wereng. “Berarti 40 persen produksi padi,” kata Tayib dalam Kompas, 7 Maret 1975.
Wereng coklat bukanlah hama baru. Ia kali pertama diketahui tahun 1930 di Dermaga, Bogor. Sembilan tahun kemudian ia menyerang tanaman petani di Yogyakarta dan Mojokerto.
“Sebagai hama utama tanaman padi, wereng coklat adalah serangga dengan genetik plastisitas yang tinggi sehingga mampu beradaptasi pada berbagai lingkungan dalam waktu yang relatif singkat,” tulis Baehaki S.E. dari Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, dalam “Perkembangan Biotipe Hama Wereng Coklat pada Tanaman Padi,” diterbitkan Iptek Tanaman Pangan Vol. 7 No. 1 tahun 2012.
Hama wereng yang muncul di tahun 1930-an disebut sebagai Biotipe 0. Biotipe adalah sebutan untuk populasi hama dengan ciri-ciri tertentu. Ketika menjadi biotipe 0, wereng tidak menjadi masalah besar. Namun, karena terus beradaptasi bila dipelihara pada suatu varietas, ia mampu mematahkan ketahanan varietas serta menghilangkan daya seleksi varietas yang ditempatinya.
Populasi wereng coklat melonjak ketika IR8, IR5, dan Pelita ditanam. Selama 1960-1970 ia menyerang hingga 52 ribu hektar. Biotipe 0 telah berubah menjadi biotipe 1. Perubahan ditandai dengan patahnya ketahanan satu varietas terhadap hama wereng.
Agar padi tahan hama wereng, perlu varietas baru yang memiliki gen tahan terhadap biotipe 1. Diperkenalkanlah IR26 pada 1975. Tapi, cuma bertahan satu tahun, biotipe 1 berubah menjadi biotipe 2.
Pada 1980, IRRI memperkenalkan beberapa jenis IR yang mampu bertahan dari biotipe 2 seperti IR32, IR36, dan IR42. Namun serangan kembali datang. Biotipe 2 telah berubah menjadi biotipe 3. Untuk mengatasi biotipe 3 dikeluarkanlah IR56 pada 1983 dan IR64 pada 1986.
“Sejak saat itu, banyak varietas unggul padi nasional yang dilepas untuk mengantisipasi serangan wereng coklat,” tulis Baehaki.
Kendati IRRI memperkenalkan IR74 untuk mengantisipasi kelahiran biotipe 4, IR64 lebih disukai masyarakat Indonesia dengan alasan rasa. IR64 menjadi varietas yang cepat berkembang dan paling luas di tanam di Indonesia. Menurut Zulkifli, IR64 sudah mendekati keinginan Indonesia karena memiliki rasa enak, hasil tinggi, dan tahan hama. Dengan adanya IR64, biotipe 3 bisa bertahan lama.
“Yang kita takutkan kalau muncul biotipe 4 kita belum punya yang tahan,” kata Zulkifli.
Namun, karena ditanam terus-menerus dalam skala luas dalam kurang waktu yang sama, IR64 pun mulai rentan terhadap wereng coklat, bahkan mulai patah ketahanannya. Perbaikan genetik IR64 pun dilakukan dan menghasilkan sejumlah varietas.
Varietas Lokal
Kejatuhan rezim Orde Baru tak berdampak pada penurunan penanaman padi IR. Apa mau dikata, tanpa benih berlabel “unggul”, petani takut tak bisa ikut berpesta panen. Perusahaan benih juga lebih suka menyediakan benih “unggul”. Varietas lokal terabaikan, bahkan beberapa di antaranya punah.
Hanya segelintir petani yang menanam varietas lokal dan melakukan penyilangan. Upaya pengembangan varietas lokal terkendala banyak hal. Khazanah benih lokal hasil daya cipta petani sendiri kini telah beralih tangan. Sebelum Revolusi Hijau, petani menciptakan ribuan varietas. Selain banyak yang punah, yang tersisa tersimpan di IRRI tanpa bisa dijangkau pemanfaatannya. Kompas pada 16 September 2008 melaporkan sebanyak 9.000 aksesi duplikatnya tersimpan di Bank Genetik IRRI, Filipina.
Balai Besar Penelitian Padi di Subang dan Balai Besar Penelitian Biogen di Bogor (keduanya di Jawa Barat) menyimpan sekitar 11.000 aksesi padi berbagai jenis, termasuk padi lokal, bahkan padi liar. Semua aksesi tersebut dapat dimanfaatkan lembaga-lembaga penelitian di dunia, termasuk para pemulia di Indonesia. Namun upaya pemuliaan benih oleh petani terkendala Undang-undang (UU) No. 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU itu lebih memfasilitasi industri benih dan mengabaikan tradisi turun-temurun petani sebagai pemulia padi. Petani kian terdiskriminasi dengan diberlakukannya UU No. 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.
Karsinah, petani Indramayu, mengalaminya. Dia diintimidasi petugas Dinas Pertanian karena mempertahankan benih lokal dan melakukan persilangan tanaman. Dia dianggap melawan program pemerintah yang mengharuskan penggunaan benih bersertifikat atau yang diproduksi perusahaan benih. Hal yang sama dialami Kunoto, petani pemulia tanaman dari Kediri.
Pada September 2012, bersama sejumlah organisasi nonpemerintah, Karsinah dan Kunoto mengajukan permohonan judicial review UU No. 12/1992 ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan mereka dikabulkan. Dalam keputusan Mahkamah Konstitusi pada Juli 2013 disebutkan, pasal 9 ayat 3, pasal 12 ayat 1 dan 2, dan pasal 60 bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat alias tidak berlaku.
Para petani menyambut gembira. Mereka bisa mendapatkan varietas melalui pemuliaan tanaman sendiri. Komunitas petani juga bisa melakukan proses pengumpulan, pencarian, dan pendistribusian benih lokal dan atau plasma nutfah. Tak perlu sembunyi-sembunyi lagi.
Ika Suryanawati dari Cianjur, Jawa Barat, adalah segelintir petani yang memberi perhatian pada varietas lokal. Di desa Gasol, Cianjur, dia menanam beberapa padi jenis lokal yang sudah langka seperti Omyok, Beureum Seungit, Peuteuy, Cikur, dan Hawara Batu. Dia juga melakukan galur murni atau pemurnian varietas padi. Benih padi lokal terbaik ditanam ulang hingga menghasilkan tanaman yang bagus.
Dia tidak anti padi jenis IR. Baginya, IR memiliki keunggulan pada hasil pertanian. Namun, penanam padi varietas lokal memiliki keuntungan. Selain penanaman dilakukan secara organik, keragaman varietas merupakan hal penting. Dia ingat dulu ada varietas padi yang bisa tumbuh di tempat teduh atau padi tahan banjir.
“Makin beragam makin menguntungkan. Mungkin peneliti mau mengawinkan (padi), banyak pilihan,” kata Ika kepada Historia.
Zulkifli juga menganggap penting keragaman varietas. Penanaman varietas berbeda akan mengurangi risiko terkena hama. Zulkifli bilang pernah menantang pemulia padi untuk membuat varietas padi yang bisa ditanam sekali dalam satu tahun dan menghasilkan panen yang sama tingginya seperti IR.
“Kan akan untung, petani tanam satu kali, dan hasil pun dua kali lipat,” kata Zulkifli.
Jika IR8 dipakai sebagai penanda, varietas ini sudah berusia 50 tahun. Tapi ia masih tak tergantikan sepenuhnya. Hingga kini, beberapa jenis padi IR, terutama IR64, masih ditanam petani di sejumlah daerah di Indonesia.*