Sebuah revolusi mengubah pertanian Indonesia. Khazanah benih padi lokal terpinggirkan. Timbunan pupuk dan pestisida menjenuhkan sawah. Para petani pun menjadi ketergantungan yang memiskinkan.
Presiden Soeharto memulai panen raya Gogo Rancah di Desa Roi, Bima, Nusa Tenggara Barat. (Perpusnas RI).
Aa
Aa
Aa
Aa
PADA 14 November 1985 pukul 10.45, konferensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Roma, Italia, dibuka. Sekira 165 negara anggota mengirimkan wakilnya. Konferensi kali ini dikhususkan untuk memperingati 40 tahun FAO. J.B. Yonke, ketua konferensi FAO, membuka acara. Setelah memuji keberhasilan Indonesia dalam bidang pertanian dan swasembada beras sebagai “kinerja yang menakjubkan”, Yonke mempersilakan Presiden Soeharto untuk memberikan pidato. Tepuk tangan membahana.
Berpidato dengan teks dan dalam bahasa Indonesia, Soeharto menguraikan perjalanan Indonesia menuju swasembada beras. “Hari ini, setelah melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun III… kami telah mampu meningkatkan kesejahteraan kami. Dari negara yang beberapa tahun lalu menjadi pengimpor beras terbesar di dunia, dengan total impor 2 juta ton per tahun, sekarang kami menjadi mandiri,” katanya.
Soeharto juga menjelaskan kunci sukses peningkatan produksi pangan, khususnya beras, melalui intensifikasi dan ekstensifikasi; pembangunan pabrik pupuk, pemberian kredit lunak, penelitian dan penyuluhan, penetapan harga dasar gabah, hingga penerapan program Bimbingan Massal (Bimas). Sebagai tanda terima kasih, para petani Indonesia mengumpulkan 100.000 ton padi kering untuk negara-negara yang terkena kelaparan, terutama di Afrika.
PADA 14 November 1985 pukul 10.45, konferensi ke-23 Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) di Roma, Italia, dibuka. Sekira 165 negara anggota mengirimkan wakilnya. Konferensi kali ini dikhususkan untuk memperingati 40 tahun FAO. J.B. Yonke, ketua konferensi FAO, membuka acara. Setelah memuji keberhasilan Indonesia dalam bidang pertanian dan swasembada beras sebagai “kinerja yang menakjubkan”, Yonke mempersilakan Presiden Soeharto untuk memberikan pidato. Tepuk tangan membahana.
Berpidato dengan teks dan dalam bahasa Indonesia, Soeharto menguraikan perjalanan Indonesia menuju swasembada beras. “Hari ini, setelah melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun III… kami telah mampu meningkatkan kesejahteraan kami. Dari negara yang beberapa tahun lalu menjadi pengimpor beras terbesar di dunia, dengan total impor 2 juta ton per tahun, sekarang kami menjadi mandiri,” katanya.
Soeharto juga menjelaskan kunci sukses peningkatan produksi pangan, khususnya beras, melalui intensifikasi dan ekstensifikasi; pembangunan pabrik pupuk, pemberian kredit lunak, penelitian dan penyuluhan, penetapan harga dasar gabah, hingga penerapan program Bimbingan Massal (Bimas). Sebagai tanda terima kasih, para petani Indonesia mengumpulkan 100.000 ton padi kering untuk negara-negara yang terkena kelaparan, terutama di Afrika.
“Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil, maka itu merupakan ‘kerja raksasa’ dari seluruh bangsa Indonesia…,” tutur Soeharto.
Kisah sukses Indonesia dalam swasembada pangan menjadi perhatian dunia. Indonesia disebut-sebut mengalami swasembada pangan mulai 1984, dengan produksi padi mencapai 25,8 juta ton. Padahal, pada 1969, beras yang dihasilkan Indonesia hanya 12,2 juta ton sehingga memaksa pemerintah mengimpor beras. Keberhasilan ini tak lepas dari kebijakan bioteknologi, yang dikenal dengan Revolusi Hijau.
Pada Juli 1986, dalam kunjungannya ke Jakarta, Dirjen FAO Edouard Saouma menyerahkan penghargaan berupa medali emas. Gambar Soeharto dicetak timbul di medali itu, bersisian dengan gambar seorang petani tengah menanam padi, lengkap dengan tulisan “From Rice Importer to SelfSufficiency”.
Presiden Soeharto menerima penghargaan dari Direktur Jenderal FAO Edouard Saouma di Bina Graha, Jakarta, 21 Juli 1986. (Repro Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya).
Kelaparan
Di Indonesia, Revolusi Hijau dimulai ketika Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) dari University of Phillipines, mengeluarkan jenis-jenis padi hibrida baru. IRRI, didirikan pada 1959 dengan bantuan Ford Foundation dan Yayasan Rockefeller, merupakan lembaga nirlaba yang bergerak di bidang penelitian dan pelatihan. Kedua yayasan itu hendak melanjutkan kisah suksesnya mengembangkan pusat pemuliaan jagung dan gandum di Meksiko, CIMMYT (Centro Internacional de Mejoramiento de Maíz y Trigo), sejak dua dekade sebelumnya. Prinsip kerja IRRI sebangun dengan CIMMYT, yakni mengorganisasi para ahli untuk menghasilkan benih “padi super”.
Menurut Judy Rahardjo dalam Revolusi Hijau, Musuh Rakyat, semula IRRI akan dipusatkan di Jawa untuk mendekatkan pada pusat pembudidayaan beras varietas Javanica. Namun, Presiden Sukarno, yang kala itu diliputi semangat anti neo-kolonialisme dan imperialisme, mementahkan niatan itu. Akhirnya lokasi IRRI dipindah ke Los Banos, Filipina.
Presiden Sukarno sendiri, sejak awal 1950-an, berupaya menggenjot produksi beras. Pada 1952 pemerintah menggulirkan Program Kesejahteraan yang diinisiasi Menteri Urusan Bahan Makanan I.J. Kasimo. Program ini menekankan penanaman benih unggul, menanam tanaman pangan di luar Pulau Jawa, dan mendirikan kebun-kebun bibit di pedesaan. Program ini diikuti Program Padi Sentra 1956. Badan Padi Sentra –lembaga yang menggarap program ini– menyalurkan paket bantuan kredit berupa sarana produksi (benih, pupuk, pestisida) dan modal.
Namun, Padi Sentra dianggap gagal mengerek produksi beras. Bukan karena pemerintah tak punya teknologi atau kurang ilmuwan, namun, “kurangnya pengalaman untuk menerapkan program tersebut dalam skala luas, terutama para pelaksananya kurang mendapat pelatihan untuk melaksanakan berbagai aktivitas di lapangan,” sebut ahli pertanian A.T. Birowo dalam A Package of Program for Intensification of Food Crop Production in Indonesia.
Pada awal 1960-an pemerintah menerapkan program Bimas dengan Panca Usaha Tani-nya. Ini meliputi penggunaan varietas unggul, pupuk, pengendalian hama, irigasi, dan pengolahan tanah yang baik. Namun, program ini dinilai kurang berhasil untuk menggapai swasembada pangan. Kurangnya partisipasi petani disebut-sebut jadi sebabnya.
Indonesia pun masih terperangkap dalam kekurangan pangan. Media kala itu, nasional maupun internasional, melaporkan kelaparan melanda Indonesia yang dijawab pemerintah dengan represi. Misalnya, pada Mei 1962, koresponden Associated Press Peter Arnett diusir. Sebagaimana dikutip Pierre van der Eng dalam “All Lies? Famines in Sukarno’s Indonesia, 1950s–1960s”, Arnett menyinggung kunjungannya dengan Menteri Kesehatan Satrio ke Indramayu, Jawa Barat, pada pertengahan April.
Satrio mengatakan pemerintah setempat abai melaporkan terjadinya kelaparan karena takut disalahkan atas administrasi yang buruk. Arnett mencatat alasan utama bencana kelaparan ini adalah buruknya sarana transportasi, pemerasan, pengalihan makanan dan kapal-kapal ke front Papua Barat, bencana alam, pemberontakan, serta salah kelola perkebunan dan industri hasil dinasionalisasi.
Dalam konferensi pers Desember 1963, Presiden Sukarno membantah laporan soal kelaparan, menyebut mereka “bohong, semua bohong!” Namun, kabar soal kelaparan di sejumlah daerah terus muncul. Antre beras jadi pemandangan umum. Sehari-hari sebagian rakyat makan gaplek, tiwul, bahkan bulgur.
Presiden Soeharto, Widjojo Nitisastro, dan John Bresnan, 1972. (Repro Celebrating Indonesia: 50 Years With The Ford Foundation 1953–2003).
Kepincut Bioteknologi
Setelah Sukarno tumbang, pemerintah Orde Baru kepincut dengan teknologi bikinan IRRI. Orang yang bertanggung jawab membawa masuk IRRI ke Indonesia adalah John Bresnan, wakil senior Ford Foundation di Indonesia. Dalam buku Menyambut Indonesia: Lima Puluh Tahun dengan Ford Foundation 1953–2003 disebutkan, sebenarnya mantan atasan Bresnan di Ford Foundation New York, yang menjabat pemimpin IRRI, keberatan untuk memperluas kerja mereka di Indonesia akibat ketegangan antara Indonesia dan Amerika Serikat. Tapi Bresnan bersikukuh menyakinkan sang atasan bahwa Revolusi Hijau baik untuk Indonesia. Pandangannya itu kemudian diterima.
“Saya waktu itu tak tahu apapun tentang Revolusi Hijau tapi saya ingin hal itu terjadi,” kata Bresnan. Ketika program dianggap sukses, dengan adanya bibit unggul dan jutaan ton beras yang dihasilkan, Bresnan senang. “Keberhasilan ini sangat menyenangkan. Mungkin inilah usaha pribadi saya yang paling berpengaruh di Indonesia,” kata Bresnan.
Para ahli pertanian Indonesia dikirim ke Los Banos. Mereka bertanggung jawab memuliakan benih-benih lokal dari Indonesia yang banyak disumbangkan ke sana. Pemerintah berharap mereka memberi ramuan mujarab untuk menguatkan ketahanan pangan di dalam negeri.
Sementara menunggu masukan teknologi dari IRRI, para teknokrat Indonesia menghidupkan kembali Program Bimas yang dianggap tak sukses pada masa Sukarno. Kali ini dengan nama program Bimas Gotong Royong (BGR).
Dalam Bimas Gotong Royong, hal yang mula-mula dirombak adalah penggunaan benih. Sesuai dengan apa yang ditekankan para ilmuwan di IRRI, produktivitas padi-padi varietas lokal di Indonesia tak memuaskan. Misalnya padi rojolele, ketan tawon, bengawan, cemporejo, dan ketan ireng. Batangnya yang panjang mudah rebah dihempas angin dan hujan. Karenanya perlu dikembangkan jenis padi yang berbatang cebol namun tanggap terhadap nitrogen yang mempercepat tumbuhnya batang, daun, dan akar tanaman.
Sejatinya, tak sepenuhnya benar kalau disebut semua varietas lokal berkualitas buruk. Barangkali masa tanam padi gandamana, mendali, sri wulan, dan kidang sari masa itu bisa sampai 5 bulan, lebih lama dari varietas IRRI. Namun demikian petani tak harus bayar untuk mendapatkan semua jenis benih itu, beda dari varietas IRRI yang harus dibeli petani (di kemudian hari setelah masa-masa perkenalan awal).
Namun, penanaman varietas bikinan IRRI tetap digulirkan. IRRI kali pertama merilis varietasnya pada 1966. Namanya IR8, persilangan padi Peta dari Indonesia dengan padi Dee Geo Woo Gen dari Taiwan. Dalam Bimas, ia diperkenalkan dengan nama PB8 atau Peta Baru 8.
Sepaket dengan benih unggul, Bimas memperkenalkan pupuk dan pestisida dalam berbagai jenis. Pupuk-pupuk utama yang diperkenalkan adalah urea, TSP, dan KCL. Sedangkan pestisida: DDT, Furadan, Carbofuran, Dieldrin, Heptachlor, dan lain-lain. Berbekal bantuan dana ratusan juta dolar dari Bank Dunia, pemerintah mensubsidi pupuk dan pestisida hingga 80 persen. Pabrik dibangun, perusahaan yang sudah lama berdiri seperti Pupuk Sriwijaya (Pusri) diperbesar kapasitas produksinya. Sedangkan stok pestisida dipenuhi dua perusahaan asing, Mitsubishi dan CIBA, anak perusahaan raksasa penghasil obat-obatan kimia BASF.
Staf IRRI memeriksa materi genetik padi di Los Banos, Laguna, Filipina, 2003. (Ariel Javellana/IRRI Images).
Dari Penyuluhan Hingga Pemaksaan
Di lapangan, Bimas mengalami kendala. Sebagian petani menjumpai PB8 tak cukup menjanjikan. Rasanya tak enak dan harga jualnya rendah. Asupan air dan pupuk juga cukup banyak. Lagi pula, seperti dikatakan Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian, petani cenderung kurang tanggap terhadap teknologi dan tak suka menghadapi risiko. Karenanya mereka memilih setia kepada jenis padi yang telah mereka akrabi.
Pemerintah pun memakai kekerasan. Seperti dilaporkan Kompas pada 25 September 1970, para petani dipaksa menanam bibit unggul yang disarankan pemerintah. Jika tidak, tanaman dicabuti karena dianggap mengganggu produktivitas pangan negara. Tindakan serupa dilakukan terhadap mereka yang enggan memakai pupuk dan pestisida. “Misalnya, kalau enggak mau pakai urea, nanti urusan jualan gabahnya dibikin susah,” ujar Isvasta Eka, dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang menulis buku Dilema Pestisida.
Celakanya, sanksi juga dikenakan kepada pejabat, dari gubernur hingga kepala desa. Jika target pemerintah tak terpenuhi, kedudukan mereka bisa terancam. Para pejabat pun menekan para petani.
Revolusi Hijau bukannya tanpa perlawanan. Guru Besar Institut Pertanian Bogor Sajogyo termasuk yang mula-mula menentangnya. Sekalipun almamaternya adalah pendukung Revolusi Hijau di masa-masa awal, dia kemudian jadi pemrotes. Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia ini, begitulah kelak orang menyebutnya, menuangkan kritiknya dalam sebuah karya klasik berjudul Modernization Without Development in Rural Java pada 1973.
Dalam makalahnya itu, Sajogyo mengkhawatirkan para petani miskin akan ketinggalan penguasaan teknologi dan akhirnya menggadaikan semua miliknya, termasuk modal penting berupa tanah. Alih-alih meningkatkan kemampuan petani miskin, lambat-laun jumlah mereka malah muncul lebih banyak. Tak heran jika Sajogyo menyebut keadaan ini sebagai upaya “modernisasi tanpa pembangunan”.
“... pertanian beras hasil Program Bimas lebih menguntungkan petani kaya,” urainya, “sementara petani kecil, kelompok yang paling lemah (cuma memiliki 0,5 hektar sawah atau kurang), ada dalam bahaya karena tak cukup mempunyai beras untuk memberi makan satu keluarga.”
Bimas Gotong Royong sendiri dihentikan pada 1970/1971 karena hasilnya kurang memuaskan. Gantinya adalah program Intensifikasi Massa (Inmas), Inmas Baru, dan Bimas yang disempurnakan, hingga Intensifikasi Khusus (Insus) dan Supra Insus. Penyuluhan dan bimbingan dilakukan lebih baik lagi. Untuk gawe semacam ini, Presiden Soeharto tak sungkan-sungkan turun ke lapangan. Sambil mempromosikan benih unggul, dia mengunjungi para petani di berbagai daerah, meninjau sawah-sawah yang subur, bercengkerama dengan petani, sampai ikut panen raya.
Pemerintah juga membentuk berbagai lembaga pendukungnya seperti Koperasi Unit Desa. Kredit untuk petani dibuka lebar-lebar dengan menggaet Bank Rakyat Indonesia sebagai mitra. Semua upaya yang dilakukan itu beroleh ganjaran pada 1984 ketika Indonesia ditabalkan sebagai negara berswasembada pangan.
Prof. Sajogyo lewat karyanya turut menentang Revolusi Hijau.
Serangan Balik Hama
Tak ada yang meragukan prestasi Indonesia meraih swasembada beras. Penerapan paket teknologi yang dipatuhi petani selama bertahun-tahun menghasilkan panen yang berlimpah. Tapi ada kisah yang tak boleh luput dari ingatan. Sekira sepuluh tahun sebelum swasembada diraih, petani dibikin puyeng. Sawah-sawahnya dihumbalang pagebluk bernama wereng.
Populasi hama wereng cokelat (Nilaparvata lugens), yang sebelumnya tak berarti, melonjak. Di berbagai wilayah yang dikenal sebagai lumbung padi, wereng menyerbu, mengisap saripati padi hingga bijinya kering layaknya terbakar. Daunnya jadi bertotol-totol cokelat. Panen gagal dan wereng mendapat “kehormatan” dari IRRI sebagai hama paling merusak di Indonesia dan Asia Tenggara pada 1970-an.
Setelah sekian tahun dihalau, tampaknya mereka melancarkan serangan balik dengan dahsyatnya. Berpikir barikade pestisida yang disemprot masih kurang banyak, para petani menambah dosis. Anehnya, wereng enggan pergi. Usut punya usut, pemakaian varietas baru dan timbunan pestisida di sawah bukannya mengusir hama, malahan memicu kekebalan. Tak ayal jumlah mereka justru berlipat.
Untuk mengatasinya, IRRI memperkenalkan varietas benih baru secara berkala, seperti IR32, IR36, dan IR38. Golongan varietas ini kemudian dikenal dengan Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW). Namun. serbuan wereng tak kunjung mereda. Ia malah menyebarkan banyak virus seperti tungro yang tak kalah berbahaya. Keadaan itu bertahan bertahun-tahun setelahnya.
Pemerintah menyadari bahaya penggunaan pestisida. Pada 5 November 1986, Soeharto mengeluarkan Inpres 3/1986 yang membatasi pemakaian pestisida dan mempertimbangkan terjaganya populasi musuh alami hama. Dua tahun setelah Inpres tersebut, subsidi pestisida dihapus. Meski petani masih tertolong pupuk yang disubsidi, banyak jenis pestisida yang harganya tak terjangkau. Petani miskin terus was-was sawahnya diserang hama dan bertahan tanpa senjata. Sementara antara tahun 1986–1997, strategi pembangunan nasional bergeser ke arah industri, yang menyebabkan sektor pertanian terabaikan.
Pelan tapi pasti, petani kehilangan kepercayaan. Tanpa benih berlabel “unggul”, mereka takut panennya buruk. Menanam jenis padi yang sebelumnya dianjurkan sama saja bunuh diri, sebab terbukti tak tahan serangan hama. Jika muncul hama baru, para petani hanya bisa berharap munculnya varietas baru dari pemerintah yang dianggap lebih kebal. Banyak pula yang kembali memakai benih varietas lokal. Tapi lagi-lagi jadi dilema, sebab timbunan zat kimia kadung membuat tanah jenuh dan tak lagi cocok untuk padi varietas lokal.
Khazanah benih lokal hasil daya cipta petani sendiri kini telah beralih tangan. Sebelum Revolusi Hijau, petani menciptakan ribuan varietas. Selain banyak yang telah punah, yang tersisa semuanya tersimpan dalam IRRI tanpa bisa dijangkau pemanfaatannya. Kompas pada 16 September 2008 melaporkan sebanyak 9.000 aksesi duplikatnya tersimpan di Bank Genetik IRRI, Filipina.
Indonesia memang memiliki Balai Besar Penelitian Padi di Subang dan Balai Besar Penelitian Biogen di Bogor, keduanya di Jawa Barat, yang menyimpan sekitar 11.000 aksesi padi berbagai jenis, termasuk padi lokal, bahkan padi liar. Semua aksesi tersebut dapat dimanfaatkan lembaga-lembaga penelitian di dunia, termasuk para pemulia di Indonesia. Namun, upaya pemuliaan benih oleh petani terkendala Undang-Undang No. 12/1992 karena mesti mendapat izin pemerintah. Kalaupun ada satu-dua petani kreatif, mereka terkendala sertifikasi dari pemerintah dan khawatir terancam hukuman karena menyalahi paten. Revolusi Hijau telah menjerat para petani dalam ketergantungan yang memiskinkan.*