Terpukau Sosok Snouck

Menggunakan bahan-bahan yang melimpah. Menemukan sisi lain dari pribadi Snouck Hurgronje.

OLEH:
Yanti Mualim
.
Terpukau Sosok SnouckTerpukau Sosok Snouck
cover caption
Philip Dröge, penulis buku Pelgrim, Leven en reizen van Christiaan Snouck Hurgronje. (Yanti Mualim/Historia.ID).

“Hidupnya padat; ia seorang ilmuwan, tentara, mata-mata, melakukan intrik-intrik, menyidik seperti polisi. Semua itu dalam satu sosok! Itulah yang memukau saya,” ujar Philip Dröge, penulis buku Pelgrim, Leven en reizen van Christiaan Snouck Hurgronje.

Philip Dröge, berusia 56 tahun, adalah seorang wartawan Belanda. Baginya, menulis buku adalah perpanjangan dari kerja wartawan. Sebelumnya, ia menulis In de schaduw van Tambora (Di Bawah Bayangan Tambora), terbit tahun 2015, tentang letusan dahsyat Gunung Tambora pada 1815.

Philip Dröge punya perhatian khusus terhadap Indonesia, tanah kelahiran ibunya.

“Hidupnya padat; ia seorang ilmuwan, tentara, mata-mata, melakukan intrik-intrik, menyidik seperti polisi. Semua itu dalam satu sosok! Itulah yang memukau saya,” ujar Philip Dröge, penulis buku Pelgrim, Leven en reizen van Christiaan Snouck Hurgronje.

Philip Dröge, berusia 56 tahun, adalah seorang wartawan Belanda. Baginya, menulis buku adalah perpanjangan dari kerja wartawan. Sebelumnya, ia menulis In de schaduw van Tambora (Di Bawah Bayangan Tambora), terbit tahun 2015, tentang letusan dahsyat Gunung Tambora pada 1815.

Philip Dröge punya perhatian khusus terhadap Indonesia, tanah kelahiran ibunya.

“Ibu saya lahir di Buitenzorg (Bogor). Saya berdarah Indonesia, sepuluh sampai limabelas persen. Saya mencoba –garis bawahi mencoba– bicara bahasa Indonesia. Sedikit,” ujarnya. “Pertama kali saya pergi ke Indonesia tahun 1994 bersama ibu. Untuknya pertama kali sejak 1938.”

Philip Dröge menaruh minat pada sejarah, terutama abad ke-19 yang menurutnya kurang mendapat perhatian Belanda. Padahal banyak kisah menarik pada abad ini. Contohnya, Christiaan Snouck Hurgronje.

“Sosok yang memukau. Seorang yang melakukan begitu banyak hal. Sangat cerdas dan juga sering menjengkelkan orang di sekelilingnya. Mungkin ia seorang autis atau punya gangguan kepribadian yang di zaman itu belum diketahui betul,” kata Philip Dröge.

Buku Pelgrim, Leven en reizen van Christiaan Snouck Hurgronje, Wetenschapper, spion, avonturier karya Philip Dröge. (Den Haag: Spectrum, 2017).

Cinta Snouck

Mudah menemukan bahan penelitian untuk menulis buku tentang kehidupan Snouck Hurgronje, putra pendeta Belanda yang kemudian menjadi Abd al-Ghaffar. Ada sekitar 1.600 publikasi Snouck yang terdiri dari buku dan artikel serta ribuan surat.

Philip Dröge juga menelusuri tulisan-tulisan orang tentang Snouck. Untuk itu, ia membaca koran-koran dari masa itu dan dokumentasi yang banyak tersimpan di Arsip Nasional Belanda di Den Haag. Sekitar 80 persen bahan penelitian terdapat di Belanda, 20 persen di Indonesia.

Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta juga menyimpan dokumentasi berharga. Di situlah Philip Dröge menemukan antara lain berkas-berkas dan surat-menyurat semasa Snouck berada di Hindia Belanda. Dari dokumentasi itu, ia membaca pertengkarannya dengan hampir semua orang di pemerintahan Hindia Belanda.

“Pertengkaran adalah sumber informasi. Karena dalam kemarahan orang mengeluarkan informasi yang tidak akan tercetus kalau tidak dalam keadaan marah,” ujar Philip Dröge.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Jadi, siapakah Snouck Hurgronje yang pada usia dewasa memutuskan menjadi Abd al-Ghaffar: Islam sejati atau seorang mata-mata?</div>

Juga tercermin Snouck mencintai istrinya yang pribumi. Dalam surat-suratnya kepada segelintir teman dekat, ia mencurahkan kesedihannya setelah istri keduanya meninggal dunia. Ia memikirkan nasib anak-anaknya. Surat-surat itu menjelaskan ada cinta dalam pernikahan mereka. Tersimpan juga surat-menyurat dengan anak-anaknya dalam bahasa Sunda. Mereka sangat hormat pada sang ayah.

Saking banyak dokumentasi yang didapatkannya, Philip Dröge merasa kebanjiran informasi. “Masih cukup bahan untuk penelitian beberapa tahun lagi,” ujarnya.

“Berbeda ketika menulis tentang Tambora, saya harus mencari informasi lengkap, kali ini masalahnya bagaimana menyusun informasi yang melimpah ruah. Dan bagaimana melihat kaitan satu dengan lainnya.”

Tokoh Kompleks

Demi mendalami tokoh Snouck Hurgronje, Philip Dröge pergi ke Aceh, untuk melihat dan merasakan sendiri berada di tempat itu. Ia tidak menemukan bekas rumah tinggal Snouck; mungkin habis diterjang tsunami.

Philip Dröge mengatakan sering tertawa membaca permainan kata dalam tulisan-tulisan Snouck tentang Aceh. “Ia punya rasa humor. Orang ini lucu.” Sifat itu tidak dikenal banyak orang, karena tulisan-tulisannya bersifat lugas.

Anak-anaknya sudah meninggal dunia. Namun, Philip Dröge sempat menjumpai beberapa keturunan Snouck. Menurutnya, mereka mengenal cerita kakek moyang mereka dan menganggap itu biasa saja.

“Mereka adalah cermin kebalikan saya. Kakek moyang mereka orang Belanda. Kakek moyang saya orang Indonesia. Sekarang ada orang Belanda mencari informasi mengenai kakek moyang mereka,” ujar Philip Dröge.

Anak-anak Snouck Hurgronje dari istri pertama, Sangkana. Berdiri kiri-kanan: Ibrahim, Aminah, Salmah Emah, dan Umar. Duduk kiri-kanan: Raden Ayu Lasmitakusuma yang merawat keempat anak Snouck setelah Sangkana meninggal; Siti Sadijah, istri kedua Snouck asal Bandung, memangku anak laki-lakinya, Raden Jusuf. (Repro P. S.J. van Koningsveld dalam Snouck Hurgronje dan Islam).

Mengapa Snouck menyekolahkan anak-anaknya ke madrasah dan tidak mengecap sedikit pun pendidikan Belanda?

“Skandal. Kalau anak-anak itu ke Belanda menjadi aib besar. Rasisme di masa itu sangat jelas. Tidak pantas menikah dengan perempuan inlander dan punya anak,” ujar Philip Dröge. Karena itulah sisi kehidupan ini harus disembunyikan. Anak-anak Snouck dilarang ke Belanda. Di kemudian hari, ketika kembali ke Belanda, Snouck menikah secara Kristen dengan perempuan Belanda yang Kristen.

Jadi, siapakah Snouck Hurgronje yang pada usia dewasa memutuskan menjadi Abd al-Ghaffar: Islam sejati atau seorang mata-mata?

“Pertama-tama ia adalah dirinya sendiri. Ia seorang mata-mata, itu pasti! Ia membuat laporan-laporan untuk pemerintah Belanda mengenai ekstremis Islam, tentang Makkah, Jawa, Aceh. Ia penasihat militer. Ia yang membantu Van Heutsz menumpas Aceh,” kata Philip Dröge.

“Ia seorang ilmuwan. Ia juga seorang Islam, disunat, patuh beribadah dan hidup menurut Al-Qur’an. Tapi jika berada di kalangan orang Belanda, ia membuka tutup kepalanya dan minum alkohol, mungkin juga makan babi. Tidak beda dari yang lain.”

“Jadi siapa ia? Ia adalah keduanya. Ada satu sumber –saya tidak bisa periksa ulang kebenarannya– yang mengatakan bahwa ia dikebumikan secara Islam. Di batu nisan tertera Christiaan. Di bawah tanah, ia Abd al-Ghaffar.”

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
63f30e8f4ae743b7357d0b38