Tewasnya Bir Ali

Pejuang ‘45 yang beralih haluan jadi penjahat. Dekade 1950-an hingga 1965 jadi masa kejayaannya.

OLEH:
Petrik Matanasi
.
Tewasnya Bir AliTewasnya Bir Ali
cover caption
Ilustrasi Bir Ali. (MA Yusuf/Historia.ID).

SENIN (14/6/1965) malam jelang pergantian hari ke tanggal 15 Juni, empat anggota reserse ditemani anggota CPM mendatangi sebuah rumah di Kampung Kawi-kawi Sawah, Jakarta. Berbekal informasi yang dimiliki, mereka hendak menyergap seorang narapidana yang amat meresahkan dan sudah dijadikan target.

Brigadir Polisi Sail bin Ismail lalu menerobos rumah tersebut. Ketika Sail masuk ke rumah, dia tertembak.

Bir Ali, orang yang dijadikan target, sebetulnya sedang tidur ketika para reserse datang. Entah karena terbiasa siaga untuk menghindari penangkapan atau terbangun karena suara berisik, dia pun terbangun. Ketimbang menyerah dan dikurung lagi, dia pilih melawan.

Kebanditan Bir Ali sudah dianggap sama legendarisnya dengan Kusni Kasdut. Deretan aksi kejahatannya membuatnya disebut media-media di zamannya sebagai “kenalan lama polisi ibukota”.

SENIN (14/6/1965) malam jelang pergantian hari ke tanggal 15 Juni, empat anggota reserse ditemani anggota CPM mendatangi sebuah rumah di Kampung Kawi-kawi Sawah, Jakarta. Berbekal informasi yang dimiliki, mereka hendak menyergap seorang narapidana yang amat meresahkan dan sudah dijadikan target.

Brigadir Polisi Sail bin Ismail lalu menerobos rumah tersebut. Ketika Sail masuk ke rumah, dia tertembak.

Bir Ali, orang yang dijadikan target, sebetulnya sedang tidur ketika para reserse datang. Entah karena terbiasa siaga untuk menghindari penangkapan atau terbangun karena suara berisik, dia pun terbangun. Ketimbang menyerah dan dikurung lagi, dia pilih melawan.

Kebanditan Bir Ali sudah dianggap sama legendarisnya dengan Kusni Kasdut. Deretan aksi kejahatannya membuatnya disebut media-media di zamannya sebagai “kenalan lama polisi ibukota”.

Zamannya beraksi sekitar awal 1950-an hingga 1965, tak lama setelah perang antara Indonesia dan Belanda rampung. Bir Ali sendiri ikut berjuang melawan tentara Belanda. Dia termasuk bekas laskar pejuang yang kemudian menjadi penjahat karena tak ada jalan baginya untuk menyambung hidup di Jakarta setelah Indonesia merdeka.

Ada yang menyebut nama aslinya Muhammad Ali. Tapi dia beken dengan aliasnya, Arsad alias Bir Ali. Nama Bir Ali konon karena dia suka minum bir.

Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi menyebut Bir Ali berasal dari Cikini Kecil. Banyak veteran pejuang seperti Kusni Kasdut dan dirinya tergolong juga sebagai jagoan. Muhamad Fauzi dalam Jagoan Jakarta dan Penguasaan di Perkotaan 1950–1966 menyebutkan, di Jakarta para era 1950-an muncul banyak organisasi keamanan yang menghimpun para bekas pejuang.

Mereka tergolong cukup sabar untuk tidak melakukan tindak kriminal. Mereka yang tidak sabar, menurut salah satu jagoan Jakarta bernama Irwan Syafei, akan melangkah seperti Bir Ali atau Kusni Kasdut. Bir Ali dan Kusni Kasdut dikenal karena aksi-aksi perampokannya. Jika orang yang dirampoknya melawan, mereka tak segan membunuh.

“...salah seorang murid Saman yang termuda usianya, yang boleh dikatakan sezaman dengan Saabun dari Kemayoran, dan Bir Ali dari Kampung Cikini. Mereka muncul pada dasawarsa 1940-an,” sebut buku yang diterbitkan Lembaga Kebudayaan Betawi, Betawi dalam Perspektif Kontemporer: Perkembangan, Potensi, dan Tantangannya.

Bir Ali, disebut koran Warta Bhakti tanggal 16 Juni 1965, telah melakukan kejahatan di sekitar Jakarta sejak tahun 1950. Mula-mula dia merampok mobil milik De Koning di Pasar Minggu. Perlawanan De Koning membuat Bir Ali menembaknya hingga tewas.

Bir Ali melanjutkan aksinya dengan menodong kasir bioskop Garden Hall yang hendak menyetor uang ke sebuah bank di Jalan Nusantara, Jakarta. Pemilik toko jam di Jalan Sabang dan Nusantara lalu juga ditodongnya.

Ilustrasi penjara Cipinang. (MA Yusuf/Historia.ID).

Aksi Bir Ali di era 1950-an itu akhirnya dijegal polisi. Bir Ali tertangkap dan dipenjara beberapa tahun.

Selain tak betah di dalam penjara, Bir Ali dapat kabar yang membuatnya terbakar sebagai lelaki. Istrinya dikabarkan dekat dengan seorang pria bernama Kun Utomo. Bir Ali yang panas hati pun nekat kabur dari penjara.

Setelah menemukan Kun Utomo dan istrinya di Pasar Boplo, Bir Ali memainkan pistol yang didapatnya setelah kabur. Kun Utomo ditembaknya hingga tewas. Dalam kejadian itu, istrinya juga hendak dibunuhnya, namun sang istri terhindar dari tembakan Bir Ali.

Bir Ali lalu kabur ke Sumatra Selatan. Di sana dia sempat menjadi ketua umum Badan Kesenian Sunda. Namun kebanditannya tetap berjalan. Bir Ali sempat merampok toko emas lalu hidup mewah dari hasil rampokannya. Alhasil di sana dia tetap mondar-mandir ke kantor polisi setempat.

Nama aslinya Muhammad Ali. Tapi beken dengan aliasnya Bir Ali. Nama Bir Ali konon karena dia suka minum bir.

Kiprahnya sebagai bandit berhenti setelah dia tertangkap. Bir Ali lalu divonis penjara seumur hidup dan dikurung di Penjara Cipinang, Jakarta. Tapi di penjara warisan Belanda itu Bir Ali disegani.

“Ketika saya masuk ke LP Cipinang, Bir Ali telah mendapat kepercayaan sebagai voorman ster, yaitu pemimpin napi yang diserahi mengawasi keamanan penjara,” kenang Tjetje Padmadinata dalam Setengah Abad Perlawanan, 1955–2005 Memoar Tjetje H. Padmadinata.

Posisi voorman ster yang disandang Bir Ali di dalam Cipinang merupakan posisi bergengsi. Tak setiap tahanan bisa mendapatkannya. Bir Ali pun mendapatkannya setelah menggantikan orang sebelumnya.

“Bir Ali baru saja duduk jadi voorman ster, menggantikan eks Mayor Munawar,” kenang Tatto Sugiarta ketika masuk jadi tahanan, dalam Perjalanan.

Terpilihnya Bir Ali sebagai voorman ster dilatarbelakangi konflik dalam penjara. Eks Mayor Munawar yang –bekas komandan Batalyon 426 yang terkait DI/TII– memegang posisi tersebut rupanya tak disukai kelompok tahanan di Cipinang yang bekas gerilyawan Merapi Merbabu Complex (MMC). Kelompok bekas MMC cukup kuat di Cipinang. Daripada Mayor Munawar, kelompok MMC lebih rela dengan orang seperti Bir Ali yang sama-sama veteran pejuang yang jadi perampok.

Namun, Bir Ali juga tak lama jadi voorman ster. Dia kabur dari penjara lantaran penjara memang bukan habitatnya.

Penjara Cipinang tahun 1947. (Nationaal Archief).

Sekeluar dari penjara, Bir Ali menyusun pasukan baru dan rencana aksi lagi. Untuk mendukung rencananya itu, Bir Ali juga berhasil mendapatkan pistol FN.

Tak hanya dengan pistol, aksi kelompoknya juga memakai kendaraan bermotor. Ketika Bir Ali berhasil kabur dari penjara, kasus perampokan di Pasar Baru, daerah niaga elite ibukota, meningkat. Warta Bhakti tanggal 15 Juni 1965 menyebut kenaikan itu terjadi antara Mei-Juni 1965.

Berbekal sebuah petunjuk, satuan Polsek (Komres III) Pasar Baru mengerahkan empat reserse ditemani seorang anggota CPM pun bergerak pada Senin malam jelang 15 Juni 1965. Sebuah rumah di Kampung Kawi-kawi Sawah sasarannya. Brigadir Polisi Sail bin Ismail yang menerobos rumah tersebut tertembak dan jatuh hingga akhirnya meninggal dunia. 

Dari luar rumah, anggota reserse lain dan anggota CPM tadi langsung membalas tembakan ke arah dalam rumah. Baku-tembak terjadi beberapa waktu. Aparat unggul jumlah peluru dalam baku tembak itu. Suara tembakan dari dalam rumah lalu terhenti.

Tak adanya suara tembakan itu mendorong aparat masuk ke rumah itu memeriksa. Di dalam, mereka menemukan satu orang tergeletak dengan tangan masih memegang pistol FN. Setelah diperiksa orang yang roboh itu adalah Bir Ali si “kenalan lama polisi ibukota”.

Di lokasi, polisi menemukan beberapa plat nomor kendaraan bermotor yang digunakan untuk melakukan penodongan di Tamansari. Tak hanya plat nomor atau seragam aparat yang dipakai kelompok Bir Ali, polisi juga menahan seorang perempuan yang di zaman itu cukup terkenal. Meskipun tak menyebut nama si biduan, Warta Bhakti tanggal 17 Juni 1965 menyebut perempuan itu seorang biduan terkenal yang telah membawakan lagu “Boneka dari India”.

Biduan yang merupakan istri dari kawan baik Bir Ali itu –tak jelas siapa nama suami Ellya tersebut– hampir bisa dipastikan adalah Siti Alya Husnah alias Ellya Alwi. Alwi adalah nama ayah Ellya. 

“Dikenal dengan berbagai nama seperti Ellya Agus, Ellya M. Harris, dan Ellya Alwi, Ellya Khadam berbusana India dan berusaha meniru tarian dan gerak wajah para bintang film India. Ia juga meniru gaya vokal dan ornamen yang terdengar dalam lagu-lagu film India. Ellya Khadam dianggap sebagai pionir genre dangdut. Dalam ‘Boneka dari India’, komposer dan vokalis Ellya Khadam mengatur panggung (bagi musik, red.) dangdut. Yang paling penting bagi masa depan dangdut adalah pengenalan dan selingan yang panjang, seruling yang dimainkan di sela-sela, serta pola gendang yang mengiringinya,” tulis Andrew N. Weintraub dalam Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia’s Most Popular Music.

Sejak kecil, dia tumbuh dan belajar menyanyi di Kawi-kawi. Bir Ali sering menginap di rumahnya di Kawi-kawi Sawah, termasuk ketika disergap oleh aparat. 

Setelah Bir Ali terbunuh dan Ellya bebas dari pemeriksaan polisi, dia tak hidup bersama suaminya lagi. Ellya lalu menikah dengan laki-laki lain bernama Khadam dan kariernya di era 1970-an lebih hebat dari era-era sebelumnya hingga dia dikenal sebagai Ellya Khadam. Sementara, Bir Ali kemudian menjadi legenda dunia hitam Jakarta.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6513c12adf1d1c211f7448fc