Sabung ayam di Bali, 1920. (Wereldmuseum Amsterdam).
Aa
Aa
Aa
Aa
DUA perempuan Bali berdiri menatap kamera. Mereka bertelanjang dada; yang satu memegang bejana di atas kepala, satunya lagi berkerudung kain batik. Pose gadis itu dan tubuhnya yang telanjang jauh dari kesan erotis. Foto yang dipotret sekitar 1922 itu merupakan salah satu karya dari Margarethe Mathilde Weissenborn.
Margarethe Mathilde Weissenborn, atau lebih dikenal dengan nama Thilly Weissenborn, adalah fotografer perempuan profesional pertama di Hindia Belanda. Mengutip data dari Netherland Institute for Art History, Thilly dilahirkan di Surabaya pada 22 Maret 1889. Namun, ada pula yang menyebut Thilly lahir di Kediri tahun 1883. Thilly anak dari Herman Weissenborn dan Paula Roessner; keduanya keturunan Jerman yang menjadi warga negara Belanda. Mereka memiliki perkebunan kopi di Kediri.
DUA perempuan Bali berdiri menatap kamera. Mereka bertelanjang dada; yang satu memegang bejana di atas kepala, satunya lagi berkerudung kain batik. Pose gadis itu dan tubuhnya yang telanjang jauh dari kesan erotis. Foto yang dipotret sekitar 1922 itu merupakan salah satu karya dari Margarethe Mathilde Weissenborn.
Margarethe Mathilde Weissenborn, atau lebih dikenal dengan nama Thilly Weissenborn, adalah fotografer perempuan profesional pertama di Hindia Belanda. Mengutip data dari Netherland Institute for Art History, Thilly dilahirkan di Surabaya pada 22 Maret 1889. Namun, ada pula yang menyebut Thilly lahir di Kediri tahun 1883. Thilly anak dari Herman Weissenborn dan Paula Roessner; keduanya keturunan Jerman yang menjadi warga negara Belanda. Mereka memiliki perkebunan kopi di Kediri.
Pada 1892, keluarga Thilly kembali ke Belanda dan bermukim di Den Haag. Lima tahun kemudian, ayah dan kakak tertuanya pergi ke Tanganyika, Tanzania, untuk memulai usaha perkebunan. Sementara seorang kakaknya yang lain, yang mendapat pendidikan fotografi di Paris, membuka studio foto di Den Haag pada 1903. Thilly mulai mengenal dan belajar memotret.
Thilly kembali ke Hindia Belanda pada 1903. Mula-mula tinggal di Bandung lalu pindah ke Surabaya. Studio foto terkenal di Surabaya, Atelier O. Kurkdjian, yang didirikan fotografer Armenia bernama Onnes Kurkdjian, menerima Thilly untuk bekerja sebagai asisten fotografer. Setelah kematian Kurkdjian, studio dikelola seorang Inggris bernama George P. Lewis. Atelier O. Kurkdjian kerap memotret lanskap pemandangan Jawa. Sejumlah koleksi studio foto ini diterbitkan sebagai buku panduan wisata oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1922 dengan judul Come to Java.
Karier Thilly sebagai fotografer profesional melesat saat dia pindah ke Garut pada 1917. Di kota sejuk itu, dia membuka studio foto Lux sebagai bagian dari apotek, NV Garoetsche Apotheek en Handersonderneming, milik Dr. Denis G. Mulder yang juga seorang fotografer amatir fanatik. Ketika Mulder pindah ke Bandung tiga tahun kemudian, Thilly dipercaya mengelola studio. Thilly kemudian mendirikan studio foto sendiri, N.V. Lux Fotograaf Atelier, pada 1930.
Thilly kerap memotret pemandangan dan suasana kota Garut. Salah satu karyanya yang terkenal adalah foto Teluk Pameungpeuk, yang dipotret sekitar 1925. Hasil jepretan Thilly dipakai untuk kartu pos dan beredar di Eropa. Dia juga memotret daerah-daerah lain di Hindia Belanda, di antaranya Sukabumi, Tasikmalaya, Bogor, Bandung, hingga Bali.
Dari karya-karya fotonya tahun 1917–1942, Thilly terlihat konsisten pada pilihan objeknya. Kebanyakan menampilkan keindahan alam dan bangunan-bangunan bersejarah. Selain itu, Thilly dikenal dengan foto-foto human interest. Thilly memotret wajah-wajah penduduk dengan pose menatap kamera.
Foto-foto Thilly di Bali dimuat di berbagai majalah, buku, dan pamflet yang dibuat otoritas wisata dan penulis perjalanan. Hal itu dilakukan untuk menarik wisatawan dengan menunjukkan budaya eksotis dari pulau-pulau yang dikuasai oleh kolonialisme sebagai kampanye perlindungan budaya pribumi dari dunia modern.
“Meski awalnya tak dianggap penting dalam rencana pariwisata, Bali tumbuh menjadi salah satu kunci industri tersebut, dan foto Thilly membantu memberikan aura khusus dengan menghadirkan budaya yang eksotis,” tulis Adrian Vickers, dosen Sejarah Asia Tenggara di University of Wollongong, Australia, dalam artikelnya di asia-pacific-photography.com.
Bagi kebanyakan fotografer di zaman itu, memotret Bali mesti lengkap dengan eksotisme perempuan bertelanjang dada. Namun, Thilly tak melakukannya. Dia tetap mengedepankan alam Bali yang eksotis dan sedikit mengesampingkan sisi erotis perempuan Bali. Dia memang memotret kegiatan mandi perempuan Bali, tapi dia menyembunyikan ketelanjangan, hal yang tak dilakukan fotografer lain. Sangat sedikit pula fotonya yang memperlihatkan perempuan tanpa penutup dada. Mungkin itu disebabkan karena dia seorang perempuan.
“Berbeda dari rekan-rekannya, yang sering menunjukkan Bali dalam konteks kolonialisme yang baik hati serta perempuan Bali yang erotis nan eksotis, Weissenborn memperkenalkan sebuah transformasi mendasar dalam cara pandang Eropa terhadap wilayah tersebut. Foto artistiknya, terutama mengenai gadis yang menari, menunjukkan betapa berbeda citranya dari foto yang beredar saat itu,” tulis Jojor Ria Sitompul dalam tesisnya “Visual and Textual Images of Women: 1930s Representations of Colonial Bali as Produced by Men and Women Travellers” di Universitas Warwick.
Pendudukan Jepang mengakhiri kariernya. Thilly harus mendekam di kamp interniran di Karees, Bandung, pada 1943. Studio foto Lux miliknya terbengkalai dan akhirnya rata dengan tanah di masa agresi militer Belanda.
Pada 1947, Thilly menikah dengan Nico Wijnmalen dan menetap di Bandung hingga mereka memutuskan kembali ke Belanda pada 1956. Thilly meninggal dunia di Baarn pada 28 Oktober 1964.
Kumpulan foto-foto Thilly diterbitkan dalam buku setebal 151 halaman berjudul Vastgelegd voor Later. Indische Foto’s (1917–1942) van Thilly Weissenborn. Buku ini diterbitkan tahun 1983 oleh penerbit Sijthoff, Amsterdam.*