Tiga Ledakan di Pusat Kota Jakarta

Jakarta mendapatkan serangan teror. Pelakunya orang Jepang. Butuh sepuluh tahun untuk meringkusnya.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Tiga Ledakan di Pusat Kota JakartaTiga Ledakan di Pusat Kota Jakarta
cover caption
Kedutaan Besar Jepang di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

SHUNSUKE Kikuchi, pemuda asal Yokohama, Jepang, cemas. Meski sudah lebih dari setahun, kunjungannya ke India pada 1984 masih menyisakan masalah. Tas dan uangnya hilang. Begitu pula paspornya.

Nun jauh di Jakarta, Edi Kosasih, sopir Kedutaan Besar (Kedubes) Kanada, tak punya kecemasan sedikitpun saat memarkirkan mobil Toyota Corona di Wisma Metropolitan, tempat kantor Kedubes Kanada berada. Sebuah sedan bernomor polisi B 1897 XG parkir di dekat mobilnya tak lama kemudian.

Sekira pukul 12.35, sedan itu meledak. Api menyambar lengan Edi. Dua muda-mudi di dekatnya, yang hendak memarkir mobil, juga mengalami luka bakar. Enam orang luka-luka. Enam mobil rusak. Sedangkan sedan yang menjadi sumber ledakan hancur tak berbentuk.

SHUNSUKE Kikuchi, pemuda asal Yokohama, Jepang, cemas. Meski sudah lebih dari setahun, kunjungannya ke India pada 1984 masih menyisakan masalah. Tas dan uangnya hilang. Begitu pula paspornya.

Nun jauh di Jakarta, Edi Kosasih, sopir Kedutaan Besar (Kedubes) Kanada, tak punya kecemasan sedikitpun saat memarkirkan mobil Toyota Corona di Wisma Metropolitan, tempat kantor Kedubes Kanada berada. Sebuah sedan bernomor polisi B 1897 XG parkir di dekat mobilnya tak lama kemudian.

Sekira pukul 12.35, sedan itu meledak. Api menyambar lengan Edi. Dua muda-mudi di dekatnya, yang hendak memarkir mobil, juga mengalami luka bakar. Enam orang luka-luka. Enam mobil rusak. Sedangkan sedan yang menjadi sumber ledakan hancur tak berbentuk.

Peristiwa pada 14 Mei 1986 itu sontak membuat polisi kelimpungan. Maklum, beberapa menit sebelumnya terjadi upaya teror yang gagal di dua tempat berbeda di Jakarta: pada pukul 11.55 terjadi di dekat pintu masuk timur arena Pekan Raya Jakarta dan menyasar Kedubes Amerika Serikat (AS) di Jalan Merdeka Selatan; pukul pukul 11.20 dengan sasaran Kedubes Jepang dan nyaris bersamaan dengan kebakaran di kamar nomor 827 President Hotel di Jalan Thamrin.  

Ibukota diserang!

Sebuah petunjuk diperoleh dari kamar nomor 827 President Hotel. Polisi menemukan tabung peluncur roket dan paspor atas nama Shunsuke Kikuchi.  

Panglima ABRI/Pangkopkamtib Jenderal TNI Benny Moerdani segera melapor ke Bina Graha. Keesokan harinya, dia memberikan pernyataan agar masyarakat tetap tenang sambil meningkatkan kewaspadaan. Menurutnya, rangkaian teror itu tak mungkin dilakukan satu orang. “Pasti ada yang membantu. Barangkali dia dibayar, atau karena apa,” ujarnya, dikutip Kompas 16 Mei 1986.  

Pemerintah belum bisa memastikan kelompok atau negara mana yang terlibat di balik teror tersebut. Namun, dia tak membantah keterlibatan orang Jepang. “Yaa… orang Jepang itu yang terutama,” ujar Moerdani.

Di Jepang, Kikuchi panik. “Kejadian di Jakarta itu membuat saya kikuk (embarassing) karena saya sendiri belum pernah ke Indonesia,” ujarnya dikutip Kompas.

Kepolisian Jepang juga dibuat bingung. Malam hari, beberapa jam usai teror Jakarta, kantor berita Jepang Kyodo di Tokyo mendapat telepon gelap dari seorang pria yang mengaku bertanggung jawab terhadap aksi-aksi teror di Jakarta dan merupakan anggota Brigade Internasional Anti-Imperialis (BIAI).

Dari hasil penyelidikan, BIAI ternyata adalah nama alias dari Japanese Red Army (JRA), sebuah kelompok di Jepang yang menebar teror di seantero jagat pada 1970-an hingga 1980-an.  

Poster pencarian buron Tsutomu Shirosaki oleh kepolisian Jepang.

Anak Kandung Perang Dingin

Terbentuknya JRA tak bisa dipisahkan dari situasi Perang Dingin, yang mempertemukan blok kapitalis melawan blok komunis. Di Jepang, kaum komunis terus menyusun perlawanan terhadap realitas dunia yang, dalam pandangan mereka, sarat ketidakadilan.

Perlawanan lebih militan muncul setelah Perang Korea dan kritik tajam Joseph Stalin terhadap Partai Komunis Jepang (PKJ) yang memilih berjuang lewat parlemen. Militan-militan dalam PKJ, kebanyakan mahasiswa, membentuk kelompok baru yang radikal.  

“Para mahasiswa tersebut makin tak puas dengan apa yang mereka anggap sebagai kegagalan Partai Komunis Jepang untuk mengambil tindakan revolusioner,” tulis Stephen Atkins dalam Encyclopedia of Modern Worldwide Extremists and Extremist Groups.

Pada 1957, mereka membentuk Nihon Kakumeiteki Kyosansugisha Domei atau Japan Revolutionary Communist League. Setelah Liga pecah, beberapa anggotanya mendirikan organisasi-organisasi baru.

Pada September 1969, Fusako Shigenobu (mahasiswi Meiji University) dan beberapa aktivis lain mendirikan Sekigun-ha atau Red Army Faction (RAF) yang menyatakan perang terhadap negara. Pada 31 Maret 1970, RAF membajak pesawat Japan Airlines dan memaksa pilot mendaratkan pesawatnya ke Pyongyang. Bersama Keihin Anti-Treaty Joint Struggle, RAF sempat membentuk United Red Army (URA) tapi bubar setelah tertangkapnya pemimpin mereka. Shigenobu dan beberapa temannya lalu mendirikan Japanese Red Army (JRA).  

Fusako memperluas jangkauan organisasinya hingga ke Timur Tengah dan mengadopsi tindakan terorisme sebagai bentuk gerakannya. Fusako lalu memindahkan markas JRA ke Lebanon. Di sana, di Lembah Bekka, anggota JRA diberi pelatihan teknis operasi teror dari Front Rakyat untuk Kemerdekaan Palestina (PFLP) pimpinan Wadi Haddad. Aksi-aksi teror pun digelar dengan menargetkan Israel, Amerika Serikat, dan negara Barat lainnya.  

Pada 30 Mei 1972, beberapa anggota JRA menggranat dan memberondong terminal kedatangan Bandara Lod, Tel Aviv, Israel, yang menewaskan sekira 24 jiwa dan melukai 80 orang. Teror-teror JRA lain kemudian menyusul selama 1970-an dan 1980-an.  

Jepang, sebagai negara asal mereka, tak luput dari sasaran.

Pada 4-6 Mei 1986, Tokyo menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-7 atau tujuh negara industri maju. Beberapa isu internasional dibahas, termasuk terorisme.  

JRA menganggap KTT itu sebagai wujud keangkuhan para kolonisator baru. Saat Economic Summit Meeting berlangsung, mereka menembakkan lima roket ke wisma tamu milik pemerintah di mana beberapa delegasi tamu menginap. Namun, tak satu pun roket mengenai sasaran.  

KTT tetap berjalan sesuai jadwal. Selain kecaman terhadap terorisme internasional, KTT menghasilkan beberapa kesepakatan mengenai terorisme. Antara lain tak mengekspor senjata ke negara-negara yang mensponsori atau mendukung terorisme internasional serta membatasi bahkan menutup misi diplomatik dan konsuler dan badan-badan resmi lain di negara-negara yang terlibat dalam terorisme.  

Keputusan itu membuat JRA kian berang dan merencanakan pembalasan.

President Hotel yang sekarang menjadi Hotel Pullman di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Teror di Jakarta

Tak lama setelah KTT G-7 di Tokyo, salah seorang anggota JRA tiba di Jakarta. Dia memesan kamar di President Hotel dengan menggunakan nama Shunsuke Kikuchi. Dia mendapatkan kamar nomor 827. Dari jendela kamarnya, gedung Kedubes Jepang terlihat jelas. Ia hanya dibatasi Jalan Thamrin. Hotel itu juga hanya beberapa blok dari Kedubes Amerika Serikat.  

Seminggu di Jakarta, dia mulai menjalankan rencananya. Jelang jam makan siang, dia mengambil sebatang besi panjang yang dirakitnya sendiri dan membawanya ke jendela kamar. Dia mengarahkan peluncur roket jinjing itu ke arah gedung Kedubes Jepang. Begitu Shirosaki menarik pelatuk, roket meluncur dan menghantam lantai 4, yang merupakan bagian ekonomi, gedung Kedubes Jepang. Namun, roket itu gagal meledak.  

Tak lama berselang, roket meluncur ke Kedubes Amerika Serikat dan jatuh di atap gedung tapi gagal meledak. Lalu, sebuah bom mobil meledak di Wisma Metropolitan.  

Usai beraksi, lelaki itu membakar kamar untuk menghilangkan jejak lalu kabur.  

Polisi yang datang kemudian berhasil memadamkan api, menemukan tabung peluncur roket rakitan dan paspor atas nama Shunsuke Kikuchi. Segera polisi memasukkan nama Shunsuke Kikuchi dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Imigrasi memperketat pintu keluar-masuk Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Setiap paspor diteliti, dicocokkan dengan wajah pemiliknya.  

Kepolisian Jepang menduga serangan di Jakarta dilakukan kelompok yang sama saat KTT G-7. Hal yang sama disampaikan Kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) Yoga Soegama. “Kegiatan semacam itu dengan pattern yang sama juga terjadi di tengah KTT Tokyo awal Mei lalu. Cara penembakannya juga tidak jauh berbeda,” ujar Soegama dilansir Kompas, 17 Mei 1986.  

Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja bertemu dan berkoordinasi dengan Duta Besar AS Paul Wolfowitz dan Wakil Menteri Luar Negeri Jepang Shinichi Yanai. Dia mengatakan, pemerintah Indonesia berusaha sekeras mungkin menemukan para pelaku dan memberikan perlindungan keamanan sebaik-baiknya kepada perwakilan asing, khususnya dari negara-negara yang bertemu di KTT G7 di Tokyo.  

Titik terang terkuak seminggu kemudian. Polisi mengidentifikasikan sidik jari pelaku dari sebuah kaleng dan sebuah lampu di kamar 827 sebagai milik Tsutomu Shirosaki. Kepolisian Jepang pun segera menyatakan bahwa Shunsuke Kikuchi, yang paspornya dipakai pelaku teror, tak terlibat.  

Pencarian dan pengejaran pun dilakukan untuk menangkap Tsutomu Shirosaki. Namun, Shirosaki sudah tak berjejak.

Tsutomu Shirosaki saat kembali ke Jepang tahun 2015. (The Japan Times).

Akhir Petualangan

Tsutomu Shirosaki, saat itu berusia 38 tahun, merupakan bekas anggota JRA. Pada 1971, dia pernah terlibat dalam aksi perampokan sebuah bank. Setelah tertangkap, dia dijatuhi hukuman penjara 10 tahun. Teman-temannya datang membantu.  

Pada 1977, di Bombay, anggota-anggota JRA membajak pesawat JAL dengan tujuan Tokyo dan memaksa pilot mendaratkan pesawat di Dhaka, Bangladesh. 159 penumpang disandera. Sebagai tebusan, para pembajak menuntut pemerintah Jepang membayar enam juta dolar dan melepaskan sembilan tahanan JRA, termasuk Shirosaki. Atas permintaan JRA pula, sembilan tahanan itu diterbangkan ke Aljazair yang juga menjadi basis kekuatan PFLP, sekutunya.  

Dari Aljazair, Shirosaki menjalin kontak dengan Muammar Gaddafi, pemimpin Libya, yang geram dan ingin membalas dendam atas serangan udara AS ke negerinya. JRA diminta mengeksekusi serangan terhadap AS dan Barat. Oleh karena itu JRA menggunakan alias Brigade Internasional Anti-Imperialis,” tulis buku Handbook of Terrorism in the Asia-Pacific. “BIAI meluncurkan serangan pertamanya pada Juni 1986, yang menargetkan kedutaan AS dan Jepang di Jakarta.”

Sebelum meneror Jakarta, Shirosaki antara lain terlibat dalam pengeboman sebuah pub di Berlin yang biasa dijadikan tempat berkumpul tentara Angkatan Laut AS, dan peroketan wisma tamu di Tokyo saat KTT G-7.  

Setelah aksinya di Tokyo gagal, dia melakukan aksi teror di Jakarta dengan menggunakan paspor palsu. Dari mana dia mendapatkan paspor itu, tidaklah jelas. Sama tidak jelasnya kenapa dia memilih Indonesia dan dengan siapa dia berhubungan selama di Indonesia.  

“Aktivitas-aktivitas JRA pada 1980-an dilakukan secara acak dan tak efektif,” tulis Allen Gallagher dalam The Japanese Red Army.  

Dari Jakarta, Shirosaki mencapai Asia Selatan dan tinggal berpindah-pindah tempat di berbagai negara di wilayah itu. Dari sana, dia kembali melakukan aksi-aksi teror. Misalnya, pada Juni 1987, dia terlibat dalam pengeboman Kedubes AS di Roma, Italia.  

Dia menjadi buruan interpol. Federal Bureau of Investigation (FBI), badan investigasi dari Departemen Keadilan AS, juga terus mengejarnya.

Petualangan Shirosaki akhirnya berakhir. Keberadannya diketahui saat dia menghubungi beberapa teman lewat telepon. Pada 21 September 1996, dia ditangkap polisi Nepal yang bekerjasama dengan FBI. Dia kemudian dibawa agen-agen FBI ke AS.  

Shirosaki diadili di pengadilan distrik Colombia atas dua dakwaan: penyerangan terhadap kepentingan AS dan terorisme. Dia dinyatakan bersalah dan mendekam di penjara selama 20 tahun di Yazoo City, Missouri.  

Pada Februari 2015, Shirosaki menghirup udara segar namun hanya sementara. Dia dibawa ke Jepang untuk diadili atas aksi terornya terhadap Kedubes Jepang di Jakarta. Meski membantah keterlibatannya dengan alibi berada di Lebanon saat kejadian, Pengadilan Distrik Tokyo menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara pada November 2016.  

Tak seperti AS dan Jepang, pemerintah Kanada tak menuntut Shirosaki diadili di negerinya. Tak jelas apa alasannya. Yang pasti, dengan hukuman dari AS dan Jepang saja, Tsutomu Shirosaki telah dan akan menghabiskan masa senjanya di penjara.*

Majalah Historia No. 36 Tahun III 2017

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
67160774f011a9c918538e99