Tiga Zaman Kebun Binatang

Keberadaan kebun binatang di Jakarta bermula sejak zaman kolonial. Pindah ke Ragunan demi proyek pembangunan.

OLEH:
Annisa Mardiani
.
Tiga Zaman Kebun BinatangTiga Zaman Kebun Binatang
cover caption
Kebun Binatang Cikini di Batavia. (Tropenmuseum).

TAMAN margasatwa pertama di Jakarta adalah Taman Botani dan Zoologi Batavia (Batavia’s Planten en Dierentuin) yang didirikan pada 1864 di Cikini. Raden Saleh, sang empunya tanah partikelir luas di Cikini, menghibahkan pekarangan rumahnya untuk dijadikan Taman Botani dan Zoologi. 

Pekarangan rumah Raden Saleh digunakan sebagai taman yang dikenal sebagai wahana pengembangan tumbuhan, hewan, pertanian, holtikultura, dan perawatan hewan. Keasrian Taman Botani dan Zoologi jadi dambaan. “Para pelancong pasti tertarik pada Taman Botani dan Zoologi di Cikini,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun

TAMAN margasatwa pertama di Jakarta adalah Taman Botani dan Zoologi Batavia (Batavia’s Planten en Dierentuin) yang didirikan pada 1864 di Cikini. Raden Saleh, sang empunya tanah partikelir luas di Cikini, menghibahkan pekarangan rumahnya untuk dijadikan Taman Botani dan Zoologi. 

Pekarangan rumah Raden Saleh digunakan sebagai taman yang dikenal sebagai wahana pengembangan tumbuhan, hewan, pertanian, holtikultura, dan perawatan hewan. Keasrian Taman Botani dan Zoologi jadi dambaan. “Para pelancong pasti tertarik pada Taman Botani dan Zoologi di Cikini,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun

Siang hari para pelancong biasanya menikmati Taman Botani dan Zoologi dengan berjalan-jalan atau sekadar duduk di antara barisan pepohonan besar. Kala senja menyapa, lampu gas, yang sejak 1860-an berhasil mengusir gelap di Batavia, menerangi area Taman Botani dan Zoologi. Menurut tulisan pengunjung yang dikutip Susan Blackburn, malam hari di Taman Botani dan Zoologi hanya terdengar suara jangkrik, roda gerobak yang berputar, dan suara seruling. 

Selain Taman Botani dan Zoologi yang berfungsi sebagai tempat rekreasi, pekarangan rumah Raden Saleh juga memiliki fungsi sosial lain bagi masyarakat Batavia sebagai tempat berdansa, berpesta, dan tempat pameran. “Pada abad ke-19, sarana hiburan di Batavia dibuat sesuai dengan pembagian masyarakat dalam masyarakat kolonial yang terdiri dari lapisan atas (orang Eropa), lapisan tengah (orang Timur Asing), dan lapisan bawah (orang pribumi).” ujar Bondan Kanumoyoso, pengajar Departemen Sejarah Universitas Indonesia. 

Maka, bangunan tempat berdansa, berpesta, dan tempat pameran yang juga didirikan di pekarangan rumah Raden Saleh hanya bisa dikunjungi orang lapisan atas (orang Eropa) sebagai sarana hubungan societat, kaum sosialita Batavia pada zamannya.

Taman Botani dan Zoologi di Batavia. (KITLV).

Dari Penguasa ke Penguasa

Sepeninggal Belanda dari tanah Indonesia, Jepang tiba pada 1942. Pemerintah pendudukan berdiri, kemudian melakukan berbagai perubahan, termasuk perubahan nama tempat. Surat kabar Tjahaja, 2 Januari 1943, memberitakan Taman Botani dan Zoologi Batavia berubah nama menjadi Taman Raden Saleh.

Lokasi Taman Raden Saleh tak berubah. Para pengunjungnyalah yang berubah. Pada masa kolonial, hanya kebun binatang yang dapat dikunjungi orang pribumi. Pada masa pendudukan Jepang, sarana hiburan lainnya di kompleks tersebut bebas dinikmati siapa saja. Penggolongan lapisan masyarakat yang membatasi aktivitas, termasuk aktivitas rekreasi, orang pribumi tak berlaku lagi.

Taman Raden Saleh semasa Jepang tak hanya jadi tempat hiburan keluarga. Berbagai acara besar-besaran kerap diselenggarakan, misalnya perayaan setahun berdirinya tentara Peta (Pembela Tanah Air). Rosihan Anwar dalam surat kabar Asia Raya, 9 Oktober 1944, melaporkan acara ini sebagai hari memperingati kesukarelaan rakyat. Acara perayaan diakhiri dengan pertunjukan sandiwara, nyayian, serta pertunjukan hiburan lainnya.

Pihak militer pun sering mengadakan acara di sini lantaran tempatnya yang luas dan strategis. Tak heran jika pada akhir pendudukan Jepang hingga masa revolusi kemerdekaan Indonesia, Taman Raden Saleh digunakan sebagai bangsal militer. Barulah pada 1948, berdasarkan berita Pandji Ra’jat, 6 Juli 1948, taman ini dikembalikan fungsinya menjadi seperti semula. Taman berfungsi kembali sebagai kebun binatang dan tempat pertunjukan hiburan.

Pasca pengakuan kedaulatan Belanda atas Republik Indonesia, berbagai sarana ibu kota mulai dibenahi. Taman Raden Saleh kembali berganti nama. Pada 1949, pemerintah Indonesia meresmikannya sebagai Kebun Bintang Cikini.

Lutung Jawa di Taman Margasatwa Ragunan. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Kebun Binatang Cikini

“Kebun Binatang Cikini merupakan salah satu tempat rekreasi masa remaja saya,” kenang Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja. Menurutnya, tempat rekreasi di Jakarta pada 1950-an masih terbatas. Tempat paling populer, yang sering dikunjungi warga Jakarta dan sekitarnya ketika hari libur adalah Kebun Binatang Cikini, Museum Gajah, serta Pasar Ikan lama.

Kebun Binatang Cikini kerap digunakan sebagai sarana bermain anak-anak. Firman Lubis yang bersekolah di Sekolah Rakjat Tjikini dilanjutkan ke SMP Negeri 1 Cikini, tak jauh dari kebun binatang, memiliki ingatan yang kuat akan Kebun Binatang Cikini. “Saya sering pergi ke sini (Kebun Binatang Cikini), memungut buah kenari yang jatuh di tanah –banyak pohon kenari yang berdiri di sini waktu itu,” kata Firman. Ia pun mengenang bahwa di samping kebun binatang terdapat bioskop. 

Tempat hiburan lain pun terdapat di area Kebun Binatang Cikini. “Di tempat ini terdapat lapangan bola dan tenis. Sabtu dan minggu diputar film di bioskop. Ada pula ruangan berdansa,” tulis Abdul Hakim dalam Jakarta Tempo Doeloe.

Semakin banyak orang mengunjungi Kebun Binatang Cikini. Dalam Pedoman Tamasya Djakarta & Sekitarnya, R.O. Simatupang menyebutkan bahwa tiap bulan Kebun Binatang Cikini dikunjungi oleh 50.000 pengunjung dan memberikan penghasilan Rp35.000. Tarif masuk ke area hiburan ini kala itu relatif murah: orang dewasa membayar tiket seharga Rp3 dan Rp1,50 harga tiket untuk anak-anak. “Di kebun binatang ini terdapat 800 binatang dari 174 macam jenis,” tulis Simatupang.

Burung Merak di Taman Margasatwa Ragunan. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Ragunan

Sejak tahun 1964, 30 hektar tanah di Ragunan, Jakarta Selatan, telah dipersiapkan untuk memindahkan Kebun Binatang Cikini. Kawasan Ragunan dinilai cocok untuk pengembangan hewan dan tumbuhan lantaran berada di kawasan yang masih asri dan jauh dari kebisingan kota. Sementara itu, pada bekas lahan Kebun Binatang Cikini dibangun pusat kegiatan seniman, Taman Ismail Marzuki (TIM).

Taman Margasatwa Ragunan dibangun dengan tujuan menciptakan iklim yang menggairahkan bagi usaha dan jasa pariwisata di Jakarta. Menurut Ali Sadikin dalam Gita Jaya: Catatan H. Ali Sadikin, Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1966–1977, bukan hanya untuk keuntungan ekonomis semata, Taman Margasatwa Ragunan menjadi sarana pendidikan, media penelitian, sarana rekreasi, konservasi alam, pembiakan dan karantina binatang serta tanaman yang memungkinkan tumbuh alami di wilayah pinggiran Jakarta.

“Kebun binatang ini saya arahkan juga, agar menjadi ciri khas untuk kota Jakarta,” tulis Ali Sadikin yang semasa kepemimpinannya sebagai gubernur DKI Jakarta banyak melakukan terobosan dalam pembangunan ibu kota menuju kota metropolitan.

Setelah melalui proses pembangunan, tanggal 22 Juni 1966, saat Jakarta berulang tahun ke-439 kebun binatang ini diresmikan. “Tempat ini diresmikan Gubernur Ali Sadikin dengan nama Taman Marga Satwa Ragunan Jakarta,” tulis Ismu Sutanto Suwelo dalam Bertamasya ke Kebun Binatang Ragunan Jakarta

Sejak pindah dari Cikini ke Ragunan, kebun binatang semakin diminati. Di area yang semakin luas, hewan dan tumbuhan yang dipelihara pun semakin banyak. Pengunjung Taman Margasatwa Ragunan pada 1980-an berjumlah 1.400.000 orang setiap tahunnya. Kini kompleks Taman Margasatwa Ragunan memiliki luas 200 hektar, termasuk bangunan lain di dalamnya, seperti Taman Anggrek, tempat pembibitan tanaman Dinas Pertamanan DKI Jakarta, dan Gelanggang Olahraga Jayakarta.

Warga Jakarta sehari-harinya selalu tenggelam dalam kesibukan. Di akhir pekan, Jakarta sebagai kota perdagangan, bisnis, dan pusat pemerintahan harus mampu pula menjadi kota hiburan. Tak hanya ke pusat-pusat perbelanjaan, melancong ke Taman Margasatwa Ragunan pun bisa jadi pilihan untuk mengisi akhir pekan.*

Majalah Historia No. 8 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64942501a9a36e1830c7d2ad