Tinju Srimulat yang Mengocok Perut

Tidak hanya di atas panggung, barisan pelawak Srimulat acap mengocok perut penontonnya di gelanggang tinju.

OLEH:
Randy Wirayudha
.
Tinju Srimulat yang Mengocok PerutTinju Srimulat yang Mengocok Perut
cover caption
Ilustrasi tinju Srimulat. (MA Yusuf/Historia.ID).

KOMBINASI olahraga dan hiburan (sportainment) sudah sangat lumrah dibuat sebagai tontonan untuk mengusir kebosanan. Di gelanggang tinju, Muhammad Ali sudah memulainya pada 1960-an. Sementara di Indonesia, grup Srimulat ikut meramaikannya sejak 1980-an.

Beberapa tahun belakangan, pentas tinju di tanah air diramaikan ajang-ajang duel antar-selebritas. Pada 2022, Holywings Sport Show sampai mewadahi sejumlah duel artis, seperti laga Roy Ricardo vs Mario Lawalata, Vicky Prasetyo vs Aldi Taher, dan Nikita Mirzani vs Dinar Candy.

Di tahun yang sama, pesulap-Youtuber Deddy Corbuzier menghelat duel antara putranya, Azka Corbuzier, melawan Vicky Prasetyo. Lalu, RANS Sportainment –anak perusahaan RANS Entertainment yang didirikan pasangan artis Raffi Ahmad dan Nagita Slavina– ikut menghelat laga-laga antar-selebritas pada November 2023, di antaranya duel El Rumi vs Jefri Nichol dan Adhisty Zara vs Lula Lahfah.

Wartawan senior cum pengamat tinju Mahfudin Nigara mengungkapkan sportainment, utamanya tinju, dirintis petinju legendaris Muhammad Ali pada 1960-an. Lambat laun, hal itu turut membangun ekosistem tinju yang tak hanya menghadirkan tontonan di luar ring tinju tapi juga jadi “cuan” buat banyak pihak.

KOMBINASI olahraga dan hiburan (sportainment) sudah sangat lumrah dibuat sebagai tontonan untuk mengusir kebosanan. Di gelanggang tinju, Muhammad Ali sudah memulainya pada 1960-an. Sementara di Indonesia, grup Srimulat ikut meramaikannya sejak 1980-an.

Beberapa tahun belakangan, pentas tinju di tanah air diramaikan ajang-ajang duel antar-selebritas. Pada 2022, Holywings Sport Show sampai mewadahi sejumlah duel artis, seperti laga Roy Ricardo vs Mario Lawalata, Vicky Prasetyo vs Aldi Taher, dan Nikita Mirzani vs Dinar Candy.

Di tahun yang sama, pesulap-Youtuber Deddy Corbuzier menghelat duel antara putranya, Azka Corbuzier, melawan Vicky Prasetyo. Lalu, RANS Sportainment –anak perusahaan RANS Entertainment yang didirikan pasangan artis Raffi Ahmad dan Nagita Slavina– ikut menghelat laga-laga antar-selebritas pada November 2023, di antaranya duel El Rumi vs Jefri Nichol dan Adhisty Zara vs Lula Lahfah.

Wartawan senior cum pengamat tinju Mahfudin Nigara mengungkapkan sportainment, utamanya tinju, dirintis petinju legendaris Muhammad Ali pada 1960-an. Lambat laun, hal itu turut membangun ekosistem tinju yang tak hanya menghadirkan tontonan di luar ring tinju tapi juga jadi “cuan” buat banyak pihak.

Sportainment itu mulai dari pra-penandatanganan (kontrak pertarungan, red.) sudah jadi bahan (komoditas). Muhammad Ali ini yang membuat rangkaian, dari mulai memilih calon lawan, tanda tangan kontrak, persiapan, sampai ke selesai laga, itu semua tontonan,” ujar Nigara kala ditemui Historia.ID, medio 2022 silam.

Nigara berharap tinju antar-selebritas bisa turut mendongkrak lagi animo publik terhadap tinju amatir dan profesional di Indonesia. Terlebih, sejak Chris John gantung sarung tinju (1998–2013) belum ada lagi petinju Indonesia yang mendunia.

“Nah, di sini harus bisa. Apa yang menarik di sini? Artis? Pergunakan itu dengan baik tapi sama-sama menguntungkan. Jangan untuk artisnya saja. Dunia tinju harus ikut terbawa. Kemas yang baik karena sebagai sportainment itu semua halal. Animo sesaat penting. Cermati untuk kita lanjutkan. Atmosfernya dibangun itu butuh uang. Dikemas sedemikian rupa dengan orang real sport duduk bareng dengan orang-orang enterpreneur kayak Raffi Ahmad, Atta Halilintar, Deddy Corbuzier juga boleh. Kalau enggak dikemas kayak sekarang inilah, (tinju) hidup segan mati tak mau,” tukasnya.

Bambang Tejo, manajer Srimulat Boxing Camp. (Tinju Indonesia edisi Desember ‘82/Januari ‘83).

Srimulat Merambah Tinju 

Srimulat mulanya merupakan kelompok seni keliling asal Solo yang didirikan pasangan seniman Kho Tjien Tiong alias Teguh Slamet Rahardjo dan Raden Ayu Srimulat pada 1950. Pada akhir 1960-an, kelompok ini baru menambah elemen komedi hingga akhirnya bisa menetap di Kompleks Taman Hiburan Rakyat (THR) Surabaya.

“Srimulat memang lahir di Solo tapi tumbuh kembangnya mereka di Surabaya. Waktu itu namanya (kelompok) masih Gema Malam Srimulat. Srimulat tumbuh menjadi skena seni budaya Surabaya yang awalnya keliling sampai akhirnya menetap di Surabaya,” ujar penggiat sejarah cum Cultural Program Assistant Wisma Jerman Dhahana Adi Pungkas alias Ipung kepada Historia.ID.

“Sejak 1968 resmi pindah ke Surabaya setelah sama Pak Soekotjo (Sastrodinoto) dibangunkan Kompleks THR. Setelah pertunjukan tahun 1973 namanya diubah menjadi Aneka Ria Srimulat karena enggak hanya musik tapi sudah ditambah komedi,” lanjut penulis buku Surabaya Punya Cerita tersebut.

Di salah satu asrama yang dihuni para kru dan seniman Aneka Ria Srimulat di THR itu pula unit yayasan Aneka Srimulat mendirikan sasana tinju Srimulat Boxing Camp pada medio 1982. Jadi, jauh sebelum Holywings atau RANS menggelar tinju, manajemen Srimulat sudah merambah gelanggang tinju.

Menurut majalah Tinju Indonesia edisi Desember ‘82/Januari ‘83, sasana tinju Srimulat Boxing Camp didirikan pimpinan unit yayasan Aneka Ria Srimulat, Bambang Tejo. Ia merupakan adik Djudjuk Djuariah, istri kedua Teguh Slamet Rahardjo, sepeninggal wafatnya R.A. Srimulat. 

“Karena anjuran pemerintah untuk ‘mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga’. Di samping saya sendiri memang senang dengan tinju, sekalipun tidak dapat main tinju. Hobby saya sebetulnya sepakbola, motor rally, dan melukis,” kata Bambang di majalah tersebut.

Akan tetapi, lanjut Bambang, sasana Srimulat Boxing Camp belum langsung menerjunkan petinju-petinjunya meski ada tawaran dari Persatuan Promotor Tinju Indonesia (PMTI). Karena keterbatasan ring set, sasana Srimulat masih sekadar menampung siapapun yang ingin latihan tinju setiap Selasa-Kamis-Jumat pukul 15.30.

“Sasananya dulu kalau latihan di samping gedung (THR) ada tanah kosong, terus dibuatkan kamp kecil-kecilan untuk teman-teman petinju. Pada saat itu yang memimpin Srimulat Surabaya Pak Bambang Tejo, paman saya sendiri atau adiknya ibu,” papar Eko Saputro, alias Koko, putra pasangan Djudjuk dan Teguh, saat dihubungi Historia.ID. 

Ya buat lucu-lucuan saja di ring. Kalau ada job di (perhelatan) tinju, kita melawaknya bukan dengan verbal tapi dengan (adegan) tinju.

Untuk “mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga”, lanjut Koko, tidak hanya kru dan pemain Srimulat yang berlatih adu jotos. Pemuda-pemuda di Kompleks THR dan sekitarnya juga ditampung sasana itu. Saat itu sedang booming petinju Indonesia yang mendunia baik di level amatir maupun profesional, mulai dari Wongso Suseno, Thomas Americo, Ellyas Pical, hingga Nico Thomas.

“Pemain Srimulat kan banyak cowoknya. Di sekitar THR juga banyak hunian asrama wayang, ketoprak, ludruk, keluarga suku Ambon yang berbaur. Awalnya kru dan hampir semua pemain yang latihan. Seingat saya ada (almarhum) Kenthus, Bambang Gentolet, Tikno, Bowo (Martopo Legowo), Sukar 141,” imbuh Koko.

Upaya Srimulat Boxing Camp mempopulerkan tinju mendapat angin segar lantaran ada anggotanya yang petinju. Ia mendukung upaya tersebut.

“Karena kebetulan ada petinju yang mau melatih anak-anak sekitar THR itu ya jadi latihan bareng, berbaur, anak-anak kampung Ngaglik, Ambengan, ya sekitar situ. Yang melatih Yongki Drakula. Dia anggota kita (Srimulat) tapi petinju juga. Awalnya amatir terus sempat pindah ke pro tapi enggak diteruskan karena waktu itu (tinju) pro belum menjanjikan,” terangnya.

Namun, niat Srimulat Boxing Camp untuk memunculkan petinju tak pernah tercapai. Antara lain karena dalam peralihan era 1980-an ke 1990-an, terjadi “perpindahan” budaya hiburan dari panggung ke layar kaca. Pamor Srimulat pun perlahan menurun pasca-banyak personelnya hijrah ke Jakarta.

“Mengenai (Srimulat) Boxing Camp jadi cuma untuk senang-senang saja. Seperti saat membentuk tim sepakbola. Jadi agar tetap eksis. Kehadiran tim sepakbola dan sasana tinju menjadi semacam anomali ketika Srimulat berada di posisi dilematis, utamanya karena Srimulat kan tidak pernah dibuatkan film komersil secara utuh seperti Warkop DKI,” sambung Ipung.

Olahraga yang yang sedang booming dijadikan semacam “jalan ninja” oleh Srimulat untuk tetap dicintai masyarakat. Ditambah, sebagai pembuktian bahwa Srimulat berusaha untuk bisa beradaptasi dengan menampilkan adegan-adegan bertema olahraga.

“Tahun 1980-an kan olahraga mencapai titik besar. Ada PON (Pekan Olahraga Nasional), SEA Games, Asian Games, Olimpiade. Srimulat menghadirkan olahraga yang bisa dicintai masyarakat. Apalagi di Surabaya olahraga tinju juga cukup moncer dengan adanya sasana Eddy Pirrih, ada juga Suryanaga dengan beragam olahraganya. Srimulat menangkap peluang itu untuk selling point,” urai Ipung.

Hal senada diungkapkan Koko. Srimulat Boxing Camp memang tidak pernah melahirkan petinju yang berkarier di level amatir maupun pro. Sasana itu jadi wadah untuk berolahraga, rekreasi, dan kesehatan, serta menggali materi-materi untuk mengocok perut penontonnya.

“Ya buat lucu-lucuan saja di ring. Kalau ada job di (perhelatan) tinju, kita melawaknya bukan dengan verbal tapi dengan (adegan) tinju. Jadi misalnya (adegan) tinju yang satu petinjunya ceking, yang satunya gendut. Nanti yang ribut malah pelatihnya, sedangkan petinjunya rokokan (merokok) di sudut, hahahaha…” Koko berkelakar.*

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
659e4b364f9865c70f5df31e