Toko Jepang Menerjang

Orang-orang Jepang datang ke Indonesia untuk berdagang. Awalnya untuk memenuhi kebutuhan para pekerja seks komersial. Setelah cukup modal, mereka mendirikan toko sendiri dan membangun jaringan.

OLEH:
Hendri F. Isnaeni
.
Toko Jepang MenerjangToko Jepang Menerjang
cover caption
Toko Jepang Nipponkang di Jalan Raya Pos, Bandung tahun 1930-an. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

TSUTSUMIBAYASHI Kazue telah berganti-ganti pekerjaan. Dari guru tidak tetap sampai sipir penjara. Perkenalannya dengan Kakushun, seorang pedagang Taiwan yang memiliki cabang di luar negeri, mendorongnya menjadi pedagang. Pada 1902, ia mandiri dengan membuka toko kelontong di Taipei.

Dalam perkembangannya, Tsutsumibayashi mengalami pergolakan jiwa. Ia kembali ke Jepang dan mendalami hal-hal religius, sampai akhirnya memutuskan untuk memeluk Kristen Protestan. Atas dasar keyakinan agamanya, ia terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi bangsanya, khususnya untuk mengembangkan jiwa dan semangat di kalangan kaum muda. Untuk itu, ia mengajak para pemuda gereja yang tertarik merantau ke daerah Lautan Selatan atau Nanyo, yaitu daerah Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik (Australia dan Selandia Baru). 200 pemuda gereja mendaftar, tapi hanya 15 orang yang dipilih.

TSUTSUMIBAYASHI Kazue telah berganti-ganti pekerjaan. Dari guru tidak tetap sampai sipir penjara. Perkenalannya dengan Kakushun, seorang pedagang Taiwan yang memiliki cabang di luar negeri, mendorongnya menjadi pedagang. Pada 1902, ia mandiri dengan membuka toko kelontong di Taipei.

Dalam perkembangannya, Tsutsumibayashi mengalami pergolakan jiwa. Ia kembali ke Jepang dan mendalami hal-hal religius, sampai akhirnya memutuskan untuk memeluk Kristen Protestan. Atas dasar keyakinan agamanya, ia terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi bangsanya, khususnya untuk mengembangkan jiwa dan semangat di kalangan kaum muda. Untuk itu, ia mengajak para pemuda gereja yang tertarik merantau ke daerah Lautan Selatan atau Nanyo, yaitu daerah Asia Tenggara dan Kepulauan Pasifik (Australia dan Selandia Baru). 200 pemuda gereja mendaftar, tapi hanya 15 orang yang dipilih.

Sebelum berangkat ke daerah Lautan Selatan, Tsutsumibayashi dan 15 pemuda berlatih berdagang keliling dari Tokyo sampai Osaka melalui Nagoya. Pada April 1909, mereka akhirnya berangkat dari pelabuhan Yokohama menuju Semarang di Pulau Jawa.

Dalam perjalanan, mereka melewati Kota Siji (Tiongkok), Shanghai, Hongkong, Singapura, dan lain-lainnya. Selama perjalanan ini, mereka juga berdagang keliling. Pada 3 Mei 1909, mereka tiba di Semarang.

Tsutsumibayashi Kazue, pemilik Nanyo Shokai (Toko Lautan Selatan) yang berpusat di Semarang, Jawa Tengah. (Repro Shasin de Tsudzuru ran in Seikatsu han Seiki Senzenki Indoneshia no Nihonjin Shakai).

Daya Tarik Karayuki-san

Jika Tsutsumibayashi berdagang di daerah Lautan Selatan karena keyakinan agamanya, para pedagang Jepang lain justru datang karena daya tarik karayuki-san, yaitu perempuan- perempuan Jepang yang jadi pekerja seks komersial (PSK) yang menyebar sejak Restorasi Meiji pada 1868.

Menurut Meta Sekar Puji Astuti, doktor lulusan Universitas Keio Jepang, karayuki-san secara harfiah berarti orang-orang (perempuan) yang pergi bekerja ke Tiongkok (kara: Tiongkok atau China; yuki: menuju atau pergi ke arah suatu tempat), biasanya di bidang prostitusi. Namun, mereka tidak hanya “pergi ke Tiongkok” tapi juga Siberia, India, Amerika, Afrika, dan Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda.

“Secara tidak langsung, karayuki-san yang mengundang dan menjadi daya tarik pedagang-pedagang laki-laki Jepang datang ke Hindia Belanda. Pedagang-pedagang laki-laki itu awalnya berkeliling menyediakan kebutuhan karayuki-san, terutama obat-obatan kebanyakan sejenis obat refreshing bernama Jintan, dan juga aksesori,” ujar Meta, dosen Departemen Sastra Jepang Universitas Hasanuddin Makassar.

Kaitan antara kedatangan para pedagang dengan karayuki-san diceritakan oleh mantan germo, Okamura Iheiji, yang tinggal di Hindia Belanda: “Seberapa jauh terpencilnya desa-desa di negara-negara Lautan Selatan, di sana akan segera muncul para pelacur (joshigun atau karayuki-san) yang segera disusul didirikannya toko kelontong. Para pedagang dari Jepang akan datang. Setelah mereka mandiri mereka akan mendirikan tokonya sendiri. Kemudian mereka akan membuat kantor-kantor pusat (toko Jepang). Pimpinan pelacur pun, karena tidak suka dipanggil dengan istilah pinpu (germo), maka mereka mengelola toko Jepang,” kata Iheiji, dikutip Yano Toru dalam Nanshin no Keifu (Silsilah Pergerakan ke Selatan).

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Karayuki-san menjadi daya tarik pedagang-pedagang laki-laki Jepang datang ke Hindia Belanda.</div>

Sejak pemerintah Hindia Belanda melarang PSK sejalan dengan adanya konvensi dunia antiperdagangan perempuan dan anak pada 1912, yang juga ditandatangani Jepang, terjadi perubahan orientasi imigran Jepang yang datang ke Hindia Belanda. Mereka datang bukan lagi karena karayuki-san, tetapi potensi pasar. Sementara itu, para pedagang Jepang yang telah berada di Hindia Belanda mengalihkan sasaran pembelinya ke masyarakat bumiputra yang cukup potensial.

Menurut Gusti Asnan, Guru Besar Sejarah Universitas Andalas Padang, dalam Penetrasi Lewat Laut: Kapal-kapal Jepang di Indonesia Sebelum 1942, pada mulanya, lelaki Jepang yang berdagang keliling atau saudagar kecil bisa eksis di negeri ini karena barang-barang yang mereka jual umumnya dibutuhkan para karayuki-san.

Pada perkembangan selanjutnya, barang-barang dagangan mereka terdiri dari hasil pabrik, berupa barang pecah belah dan kelontong, yang mutunya relatif bagus namun harganya terjangkau. Barang-barang ini diantar langsung para penjual ke “depan pintu” rumah pembeli, dijual dengan menggelarnya di pasar-pasar tradisional, atau di toko-toko yang bernuansa timur di daerah perkotaan.

“Toko Jepang merupakan sebuah fenomena dalam sejarah kehadiran orang Jepang di Indonesia pada awal abad ke-20,” tulis Gusti Asnan.

Toko Jepang Nanyo & Co. di Jalan Pekojan, Semarang, Jawa Tengah tahun 1930. (KILTV).

Berdagang Keliling

Awalnya para pedagang Jepang berkeliling membawa pikulan berisi berbagai barang dagangan sampai ke pelosok-pelosok. Mereka memilih berkeliling karena jika menyewa warung kecil akan menambah biaya dan berdampak naiknya harga barang dagangan mereka. Setelah mampu mengumpulkan uang dari hasil berdagang keliling, biasanya mereka membuka toko, yang dikenal dengan toko Jepang.

“Disebut toko Jepang karena pengelola toko ini adalah orang-orang Jepang. Istilah ini umum dipakai dan penyebutan ini membedakannya dengan toko-toko yang dikelola imigran Tiongkok atau lainnya,” ujar Meta.

Inilah yang dijalani Tsutsumibayashi. Untuk mengumpulkan modal, ia berdagang keliling dengan para pemuda yang diajaknya dari Jepang. Mereka hidup disiplin dan seadanya dengan sebuah ceret dan cangkir, serta makan nasi dan sayuran sekali sehari.

Setelah cukup modal, Tsutsumibayashi membuka toko dengan nama Nanyo Shokai (Toko Lautan Selatan) yang berpusat di Semarang. Pada 1912, jaringan dagangnya mampu membuka cabang di sembilan tempat seperti Batavia, Bandung, Cilacap, Purworejo, dan Blitar. Antara 1916–1918, ia membuka gudang untuk menimbun stok barang dari Tokyo, membuka anak cabang usaha ekspor impor hasil bumi, dan membeli tanah seluas 3.000 hektar. Pada saat itu, aset perusahaannya mencapai 15 juta yen dengan 38 toko Jepang yang tergabung dalam Nanyo Shokai.

“Toko Nanyo waktu itu bisa dikatakan salah satu contoh toko Jepang yang berhasil di Jawa,” kata Meta. Barang dagangan yang dijual di Nanyo Shokai berupa hasil kerajinan keramik, obat- obatan, kain, dan benda-benda produk tekstil.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Disebut toko Jepang karena pengelola toko ini adalah orang-orang Jepang.</div>

Jaringan lainnya, Toko Kaneko milik Kaneko Kenji, menyebar hampir di semua kota kecil di Jawa Tengah, bahkan cabangnya ada di Makassar dan Manado. Mertua Kenko Kenji, Sawabe Masao, memiliki Fuji Yoko, toko Jepang terbesar di Yogyakarta dan cabangnya di Surakarta populer di kalangan aristokrat. Pemilik toko Jepang lainnya antara lain Otomo Shintaro (Toko Otomo di Tegal), Tamaki Choichi (Toko Daruma di Jakarta), Kida Eiji (Toko Kida di Bandung), dan Nakagawa Anjiro (Toko Okazaki di Malang).

Menurut Nawiyanto, Guru Besar Sejarah Universitas Jember, dalam Matahari Terbit dan Tirai Bambu: Persaingan Dagang Jepang-Cina, sangat mungkin bahwa ada peningkatan populasi Jepang di Hindia Belanda akibat tumbuhnya toko-toko Jepang di Pulau Jawa. Pada 1914 terdapat 74 pemilik toko dan 144 orang Jepang bekerja sebagai penjaga toko, selain itu 56 berdagang keliling. Pada 1933 pemilik toko Jepang meningkat jadi 543 orang di Jawa, sebagian besar berada di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

“Laporan kolonial 1935 mengungkapkan bahwa toko-toko Jepang terus menjamur di seluruh pulau,” tulis Nawiyanto.

Sampai awal 1940-an, menurut Meta, jaringan toko Jepang berkembang cukup pesat. Ini mendorong berdirinya Asosiasi Masyarakat Jepang (Nihonjinkai) pada 1913 di Batavia. Pada tahun ini tercatat 296 anggota asosiasi yang kebanyakan pemilik atau pengelola toko Jepang.

Toko India dan Jepang di Jalan Pasar Baru, Batavia, antara tahun 1915 dan 1925. (Tropenmuseum/Wikimedia Commons).

Keunggulan dan Persaingan

Tidak seperti konsumen di Jawa yang memandang barang-barang Jepang membantu meringankan beban pada masa krisis karena harganya murah, para pedagang Tionghoa menganggapnya sebagai ancaman besar. Sebelum krisis ekonomi dunia tahun 1929, orang-orang Tionghoa memainkan peran utama dalam perdagangan. Namun, setelah masa depresi besar, pedagang Jepang menggesernya. Bagi pedagang Tionghoa, pedagang Jepang merupakan pesaing lebih berbahaya ketimbang pedagang Eropa dan bumiputra.

Menurut Meta, persaingan dengan pedagang Tionghoa dimenangkan pedagang Jepang karena produknya murah tapi kualitasnya baik, tokonya bersih, dan pelayanan lebih sopan.

Mohammad Hoesni Thamrin, dalam beberapa sidang Volksraad (Dewan Rakyat) Hindia Belanda, mengatakan toko Jepang disukai karena selama sekitar 20 tahun mereka bekerja keras untuk menjadikan toko mereka yang terbaik. Mereka meneliti dan meriset kebutuhan masyarakat dan membuat terobosan marketing yang cukup inovatif, misalnya menyediakan layanan kredit bagi pembeli, bahkan sejak mereka berdagang keliling.

“Hoesni Thamrin bicara tentang toko Jepang dan komunitas Jepang dalam konteks membandingkan kesombongan orang Belanda dengan orang Jepang yang lebih santun,” kata Meta. “Ia juga memberikan pandangan bahwa Jepang adalah salah satu negara asing yang patut ditiru perjuangannya.”

Menurut Bob Hering dalam biografi Mohammad Hoesni Thamrin, sejak serbuan depresi ekonomi global, Thamrin bersama ribuan saudara setanah air berusaha melindungi kehidupan ekonomi mereka. Caranya mereka mempertahankan hubungan dengan para pemasok dan pedagang Jepang untuk mendapatkan tekstil yang lebih murah, peralatan sehari-hari, dan barang impor lainnya.

“Barang-barang di toko-toko Jepang, berlainan dengan kebiasaan Timur, dijual dengan harga pasti, tapi kenyataan yang lebih penting dan bukannya tanpa reaksi politik... bahwa anak negeri yang tidak dapat menemukan tempat dalam perdagangan modern kini telah dibukakan oleh orang Jepang,” tulis Bob Hering.

Salah satu “anak negeri” yang menjajaki perdagangan dengan Jepang adalah Mohammad Hatta, yang kelak akan menjadi proklamator dan wakil presiden Indonesia. Pada 1933, Hatta pergi ke Jepang untuk keperluan bisnis atas nama pamannya, Mak Etek Ayub Rais, kuasa dari firma Djohar/Djohor. Rais dikenal sebagai pedagang barang-barang Jepang di Hindia Belanda dengan keuntungan besar.

Hatta pun terkesan dengan Jepang. Dalam koran Oetoesan Indonesia, 1 Maret 1933, ia menulis: “Indonesia akan mengikuti contoh Jepang dan membangun industrinya sendiri guna mencapai kemerdekaan politik dan kemerdekaan ekonomi.”

Tentu saja bukan hanya Hatta dan Thamrin yang bersimpati pada orang-orang Jepang. Beberapa tokoh pergerakan juga menjalin hubungan akrab dengan Saudara Tua, baik dalam ekonomi maupun politik.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">Bagi pedagang Tionghoa, pedagang Jepang merupakan pesaing lebih berbahaya ketimbang pedagang Eropa dan bumiputra.</div>

Menurut Nawiyanto, toko Jepang dapat menjual produk dengan harga kompetitif karena biaya tenaga kerja di Jepang lebih rendah. Pada 1930-an biaya produksi di Jepang semakin menurun dengan meningkatnya produktivitas sebagai dampak langkah-langkah rasionalisasi yang diambil selama periode antara 1927 dan 1931, dari devaluasi yen hingga penurunan biaya angkutan.

Para pedagang Jepang juga membangun jaringan bisnis mereka sendiri yang menangani impor dan distribusi. Jaringan mereka meliputi organisasi pelayaran, angkutan, pembiayaan bank, dan grosir, serta pedagang pengecer. Sampai-sampai seorang negosiator dagang Jepang-Hindia Belanda, J. van Gelderen mengatakan, “mata rantai Jepang membentang dari Yokohama ke desa pribumi.”

Menurut Nawiyanto, mereka sering mengiklankan produk mereka sebagai yang paling murah di seantero dunia. Mereka juga gigih dalam merengkuh hati pembeli potensial. Para agen penjualan aktif menanyakan apa yang pembeli inginkan. Sesudah mengamati contoh yang ditunjukkan pemilik toko, agen penjualan akan mendatangi pembeli dan meyakinkan bahwa pabrik mereka di Jepang mampu menghasilkan barang yang sama dengan harga jauh lebih murah. Tidak mengherankan di negara-negara Barat orang Jepang dikenal sebagai “penjiplak ulung”.

Merasa terancam oleh para pedagang Jepang, pedagang Tionghoa melakukan boikot. “Terjadi beberapa pemboikotan produk Jepang. Ini berkaitan dengan boikot produk Jepang di Tiongkok dan berkepanjangan juga di Hindia Belanda,” kata Meta.

Menurut Nawiyanto, boikot produk-produk Jepang meningkat skala dan intensitasnya karena ketegangan politik antara Jepang dan Tiongkok pada 1930-an. Para pedagang Tionghoa memboikot produk-produk Jepang sebagai bentuk perlawanan atas ekspansi Jepang ke Manchuria. Para pedagang Tionghoa di Hindia Belanda juga mengikutinya.

Namun, Nawiyanto lebih melihat boikot produk Jepang sebagai “manifestasi nasionalisme ekonomi saat bisnis Tiongkok terganggu oleh Jepang yang merongrong posisi dagang mereka. Sebab, boikot produk Jepang bukan hal baru, sebagian pedagang Tiongkok telah melakukannya misalnya pada 1915. Aksi demikian cukup lazim di kalangan orang Tiongkok perantauan termasuk Indonesia sebelum depresi 1929.”

Pada 1930-an, muncul juga seruan untuk menutup toko-toko kecil dan grosir yang terkait dengan Jepang dan untuk menggunakan barang-barang buatan Tiongkok, bahkan surat kabar milik orang Tionghoa di Hindia Belanda berperan aktif dalam menyerukan aksi boikot produk Jepang.

Selain boikot, ketidaksenangan terhadap toko Jepang juga dilakukan dalam bentuk teror, seperti sebuah toko Jepang di Yogyakarta dicorat-coret cat hitam, bahkan dilempar kotoran manusia.

“Namun peristiwa yang kurang bersahabat tersebut tidak sepenuhnya menyurutkan sejumlah pedagang Tionghoa di Jawa untuk melanjutkan hubungan bisnis dengan Jepang karena dipandang menguntungkan,” tulis Nawiyanto.

Fuji Maru, kapal terakhir yang mengangkut orang Jepang dari Hindia Belanda. (Repro Shasin de Tsudzuru ran in Seikatsu han Seiki Senzenki Indoneshia no Nihonjin Shakai).

Pulang ke Jepang

Pemerintah Jepang mengumumkan pecahnya Perang Pasifik. Orang-orang Jepang di Hindia Belanda diberi tahu bahwa perang dengan Belanda tidak terhindarkan lagi. Pada 1941, melalui kedutaan dan konsulat jenderalnya, pemerintah Jepang membujuk orang-orang Jepang yang tinggal di daerah selatan untuk kembali ke Jepang.

Secara bertahap orang-orang Jepang pulang dengan kapal-kapal yang mengadakan pelayaran secara rutin ke Hindia Belanda. Kapal pertama bernama Kitano Maru mengangkut perempuan dan anak-anak pulang ke Jepang. Kapal terakhir adalah Fuji Maru. Berlabuh di Batavia pada 22 November 1941, kemudian ke Semarang, Surabaya, Kalimantan, Banjarmasin, Makassar, dan meninggalkan Indonesia melalui pelabuhan Gorontalo pada 2 Desember 1941 dengan penumpang sekira 5.000 orang. Pada 10 Desember 1941, kapal sampai di pelabuhan Kota Nagasaki di Pulau Kyushu.

“Toko Jepang pada prinsipnya terbengkalai atau dibeli pedagang Tionghoa. Ada sebagian diklaim pemerintah militer Jepang,” kata Meta. “Tetapi, banyak sumber menyebutkan terbengkalai.”

Pada 8 Desember 1941 melalui siaran radio diumumkan perang antara Belanda dan Jepang. Pada 9 Januari 1942, Belanda menangkap sekira 2.093 orang Jepang –hampir semuanya laki-laki– yang masih berada di Hindia Belanda dan mengasingkannya ke Australia. Dalam dokumen tentang kegiatan spionase orang-orang Jepang, Ten Years Japanese Toil in The Netherlands East Indies, disebutkan bahwa mereka yang diasingkan ke Australia merupakan penjahat politik dan beberapa di antara mereka mata-mata Angkatan Laut.

Jepang mengambil alih pendudukan pada Maret 1942. “Sejarah toko Jepang ini bisa dikatakan terhapus dari Hindia Belanda yang kemudian digantikan sejarah pendudukan Jepang di Hindia Belanda,” kata Meta.

Meskipun sebagian besar pemilik dan pengelola toko Jepang kembali ke Jepang, namun sekira 707 orang Jepang kembali ke Indonesia.

Menurut Meta, kembalinya mereka sebagai pegawai pemerintah militer Jepang menguatkan dugaan bahwa semua mantan pemilik dan pengelola toko Jepang itu adalah kaki tangan atau mata-mata Jepang di Indonesia.

Tsutsumibayashi sendiri sudah pulang jauh sebelum masa perang karena alasan kesehatan. Dalam perjalanan, ia meninggal di pulau kecil Ogasawara, dekat Tokyo pada 1935 karena kanker paru-paru. Jaringan tokonya, Nanyo Shokai, kemudian diambil alih para pegawainya. Namun, mereka pun harus kembali ke Jepang begitu pecah perang Jepang dan Belanda.*

Tulisan ini telah dimuat di majalah Historia No. 13 Tahun II 2013.

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
6417f16761e2de2b3d215e03