Transs, Pengusik Lagu Cengeng

Sebuah grup fusion mendobrak dunia musik tanah air yang didominasi lagu melankolis. Personel grup musik pertama yang dibentuk Fariz RM ini sebagian besar anak sekolah menengah atas.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Transs, Pengusik Lagu CengengTranss, Pengusik Lagu Cengeng
cover caption
Promo album perdana Transs, Hotel San Vicente.

MUSISI Fariz RM tak nyaman bila mendengar kata “reuni”. “Saya tu trauma sama reuni,” ujarnya kepada Historia di sebuah studio musik di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan.

Perasaan itu muncul dari pengalaman. Rencana reuni tiga band terpenting yang pernah dibentuknya selalu menemui kegagalan. Salah satunya, Transs. Rencana reuni pernah dibicarakan dalam suatu pertemuan di antara mantan personel Transs di rumah Fariz di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan. “Eh Uce meninggal [tak lama kemudian]. Wibi meninggal juga, [karena] ginjal. Haduh… trauma kan aku.”

Transs merupakan grup musik pertama yang dibentuk Fariz. Band beraliran fusion itu beranggotakan Fariz RM (vokalis, gitar, keyboard, bass), Dandung Sadewa (vokal, gitar), Djundi Karjadi (keyboard), Eddy Harris (keyboard), Erwin Gutawa (bass), Hafil Perdanakusuma (flute, vokal), Uce Haryono (drum), dan Wibi AK (perkusi).

Transs dianggap membawa angin segar dalam blantika musik tanah air. Album perdananya, Hotel San Vicente, menurut pengamat musik Denny Sakrie dalam blognya, bisa dianggap sebagai salah satu cetak biru pergerakan musik fusion di Indonesia.

MUSISI Fariz RM tak nyaman bila mendengar kata “reuni”. “Saya tu trauma sama reuni,” ujarnya kepada Historia di sebuah studio musik di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan.

Perasaan itu muncul dari pengalaman. Rencana reuni tiga band terpenting yang pernah dibentuknya selalu menemui kegagalan. Salah satunya, Transs. Rencana reuni pernah dibicarakan dalam suatu pertemuan di antara mantan personel Transs di rumah Fariz di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan. “Eh Uce meninggal [tak lama kemudian]. Wibi meninggal juga, [karena] ginjal. Haduh… trauma kan aku.”

Transs merupakan grup musik pertama yang dibentuk Fariz. Band beraliran fusion itu beranggotakan Fariz RM (vokalis, gitar, keyboard, bass), Dandung Sadewa (vokal, gitar), Djundi Karjadi (keyboard), Eddy Harris (keyboard), Erwin Gutawa (bass), Hafil Perdanakusuma (flute, vokal), Uce Haryono (drum), dan Wibi AK (perkusi).

Transs dianggap membawa angin segar dalam blantika musik tanah air. Album perdananya, Hotel San Vicente, menurut pengamat musik Denny Sakrie dalam blognya, bisa dianggap sebagai salah satu cetak biru pergerakan musik fusion di Indonesia.

Fariz RM. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Anak Kandung Festival

Kelahiran Transs bermula dari Festival Band antar-SMA se-Jakarta pada 1981. Fariz RM, kala itu baru merilis album Sakura, jadi jurinya. Ada sekira 27 band yang ikut mewakili sekolah masing-masing.  

Banyak personel band-band SMA itu bertalenta. Band SMA 6 Bulungan punya Erwin Gutawa dan Dandung Sadewa, sementara SMA 11 punya Uce Haryono dan Hafil Perdanakusuma. Uce bahkan sudah membantu menggarap salah satu album milik Chaseiro, grup yang beranggotakan antara lain Candra Darusman, serta album Guruh Sukarnoputra dan Swara Mahardhika. Sementara Hafil tergabung dalam Swara Mahardhika.

Di festival itu, mereka tak hanya tampil bersama band sekolah masing-masing tapi juga unjuk kebolehan personal. Erwin Gutawa bersolo bas membawakan tembang milik Chick Corea berjudul “Spain”. Teknik slapping-nya menambah nilai lebih. Tapi bukan cuma itu yang jadi perhatian juri.  

“Aku pas lihat dia main, ini anak main basnya bagus. Tapi bukan hanya itu saja, dia kelihatan mengkoordinir tata aransemennya. Jadi ini anak punya kelebihan, aku tandai,” kenang Fariz.

Hafil Perdanakusuma tak kalah menarik. Dia satu-satunya pemain flute di festival itu. “Jarang ada anak muda, anak SMA, yang main flute dan jago pula. Kupikir ini menarik. [Maka aku] catat,” ujar Fariz. Di samping flute sebagai instrumen utama, Hafil mahir memainkan klarinet dan saksofon.  

Ada banyak penampil lain yang tak kalah menarik. Misalnya, kibordis Eddy Harris dan Djundi Karjadi dari SMA Kanisius, atau Wibi AK dari SMA Sunda Kelapa.  

Dalam festival itu, Erwin akhirnya terpilih sebagai bassis terbaik. Uce Haryono menjadi yang terbaik untuk kategori drummer. Sementara Eddy Harris kibordis terbaik, diikuti Djundi di urutan kedua.

Usai festival, muncul ide untuk main bareng. “Waktu itu dapat ide kalau juara-juara ini bikin band kayaknya bisa seru,” ujar Djundi kepada Historia. Setelah mengontak satu per satu, mulailah mereka latihan bareng. “Kami mulai latihan di studio rekaman orangtua saya [Gelora Seni].”

Pucuk dicinta ulam tiba. Tanpa disengaja, mereka bertemu Fariz yang bersama rekan-rekannya sedang latihan di Studio Gelora Seni. Rupanya, saat menjadi juri festival, Fariz berhasrat menyatukan para talenta berbakat itu ke dalam satu band. Klop. Fariz langsung menawarkan idenya kepada mereka.  

“Kubilang, kalian mau nggak aku produce jadi satu band, rekaman dan sebagainya,” kenang Fariz. Tawaran itu langsung mendapat sambutan. “Waktu itu aku kasih kepercayaan kepada Erwin untuk jadi koordinatornya.”  

Setelah Dandung Sadewa dan Wibi AK bergabung, band mereka resmi terbentuk. Fariz menamakan band itu Transs. “Transs itu sendiri singkatan dari transisi. Transisi mereka dari amatir ke profesional. [Transisi] ke pemain band beneran dari pemain band SMA. Itu idenya,” ujar Fariz.

Promo album perdana Transs, Hotel San Visente.

Naik Kelas

Rumah Fariz jadi tempat awal mereka latihan bareng sebelum akhirnya ke studio. Lewat Transs, Fariz ingin menawarkan sesuatu yang baru. Regenerasi, pasti. Tapi Transs menjadi wadah bagi impiannya mendobrak blantika musik tanah air yang kala itu didominasi lagu-lagu pop melankolis.  

“Kalau saya mem-produce sesuatu, saya harus mem-produce sesuatu yang saya tahu ini baru,” ujar Fariz.

Untuk itu, Fariz membawa Transs berjalan secara bertahap. Dia membangun semua lini, dari musikalitas hingga manajemen. “Aku tanganin satu-satu. Di Transs kami mencoba segala hal. Misalnya, manajemen yang baik. Jadi mereka belajar. Makanya kayak Erwin kemudian bisa bikin orkestra segala macam. Pelajaran utamanya, manajemen segala macam, dia dapat ketika di Transs,” ujar Fariz.

Pada tahap awal, Fariz menjadikan Transs sebagai band pengiringnya. Tur beberapa kota yang dilakoni Fariz menjadi ajang latihan para personel Transs. Meski masih sebatas membawakan lagu-lagunya, Fariz memberi kebebasan rekan-rekannya untuk membawakan dengan cara masing-masing.

Eksplorasi kreativitas menjadi andalan Fariz untuk mengembangkan musikalitas rekan-rekan Transs. Hal itu membuat masing-masing personel tak terkekang. Interpretasi mereka bebas bergerak, imajinasi mereka leluasa menjelajah. “Aku nggak pernah ngatur, sampai sekarang nggak pernah. ‘Elo tahu Sakura, elo mainin dengan cara lo’!” Kita yang menyesuaikan sendiri. Makanya jadi berbeda. Kreativitas [intinya],” ujar Fariz.

Penampilan ke beberapa kota itu menuai hasil baik. Banyak fans Fariz mulai kepincut band baru itu. Sukses itu membuat Fariz menantang para rekannya untuk menciptakan lagu. Dia membawa Transs lebih jauh: masuk dapur rekaman. “Aku tidak membatasi mereka mau bikin apa, silahkan. Yang penting berani dulu, itu yang aku cari,” kata Fariz.  

Djundi dan kawan-kawan menjawab tantangan itu dengan antusias. Entah kumpul bareng di rumah Fariz, di Studio Gelora Seni, atau tempat lain, mereka intens bicara musik dan bikin lagu. “Masing-masing berkontribusi entah dengan karangan lagu baru atau aransemen. Ada yang bareng-bareng, yang boleh dibilang spontanitas,” kata Djundi.  

Setiap karya yang muncul biasanya dibahas bareng-bareng terlebih dulu. Diskusi itulah yang memungkinkan mereka menemukan kelemahan-kelemahan dan mencari cara menutupinya. Fariz mencontohkan, salah satu personel Transs memintanya main gitar karena Transs tak punya gitaris. Tak langsung mengiyakan, Fariz membahas terlebih dulu hal itu. Setelah kesepakatan didapat, baru Fariz mengisi gitar. Diskusi semacam itu pula yang menghasilkan keputusan menggunakan Wiwiek Lismani sebagai additional player untuk backing vocal.

“Kita mau yang baru, nggak ingin pakai yang ternama. Kita ingin yang segar, baru, sebab yang kita suguhkan sesuatu yang baru,” ujar Fariz.  

Wiwiek Lesmani. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Wiwiek Lesmani tak tahu-menahu soal pemilihannya untuk mengisi beberapa lagu dalam album perdana Transs. Suatu hari, usai menyanyi di rumah pengusaha Benny Tengker, ayah musisi Gideon Tengker, dia ditawari temannya untuk menjadi backing vocal untuk album yang sedang digarap Transs. Wiwiek tak menolak. “Aku pokoknya tinggal take vokal,” ujar Wiwiek kepada Historia.

Proses penggarapan album pun berjalan. Wiwiek mendapat giliran take vokal setelah musik usai direkam. Sekira sebulan dia bolak-balik dari kantornya ke studio untuk take vokal. “Aku biasanya take setelah pulang kerja, sore sampai malam,” ujarnya, yang menjadi backing vocal untuk enam lagu.

Seingat Wiwiek, meski jarang bertemu personel Transs, mereka tak ada yang cerewet tapi jahil-jahil. “Pernah pas masuk studio rekaman, dimatikan lampunya. Padahal nggak mati lampu, aku tahu itu,” kenang Wiwiek.

Dua bulan berjalan, album perdana Transs berisi 11 lagu akhirnya lahir di Studio Gelora Seni pada 1981. Hotel San Vicente namanya. Tagline-nya: pembaharuan musik Indonesia dalam warna, personalitas, dan gaya.

Denny Sakrie pernah mengulas dengan apik album tersebut dalam blognya. Menurutnya, Transs amat terinspirasi musisi-musisi seperti Chick Corea, Gino Vannelli, Al Di Meola, Marcus Miller, Anthony Jackson, dan band funk Azymuth. Lagu instrumental “Transsession” dalam Hotel San Vicente, misalnya, dikemas dalam pola beat Samba dan kuat nuansa Brazillian Jazz-nya. “Ada pengaruh Return To Forever tapi kadang terbersit gaya trio fusion Azymuth,” tulisnya.

Akurama Records selaku label tak setengah-setengah memasarkan Hotel San Vicente. Cover album, yang dirancang seorang desainer di Bandung, tak umum pada masanya: seorang perempuan berbalut handuk merah bertuliskan Hotel San Vicente dan Transs.  

“Anakku sempat mengira itu aku,” kenang Wiwiek sambil tertawa.  

Sampul depan album perdana Transs, Hotel San Vicente.

Tur Terakhir

Sama seperti Akurama Records, Fariz juga tak ingin setengah-setengah membesarkan Transs. Dia membahas konsep show dengan personel Transs maupun Akurama. “Aku selalu membedakan antara rekaman dan pentas. Kalau rekaman, kita memikirkan orang akan mendengarkan rekaman itu berulang-ulang seumur hidup. Sedangkan kalau show, itu kan sekali dan orang nonton, ada sesuatu yang harus kita perbuat yang sifatnya memorable, jadi diingat orang,” kata Fariz.

Hal itu membuatnya mendorong para personel lain untuk bereksplorasi. Erwin, misalnya, mengusulkan agar Transs menggunakan brass section, yang kala itu belum umum dalam konser sebuah band, dan disetujui. Maka, dia membuat scoring-nya. “Tur itu kita beri nama Regenerasi, tur regenerasi musik Indonesia.”

Transs pentas di beberapa kota: Jakarta, Bandung, Semarang, hingga Surabaya. Nama besar Fariz memang berpengaruh terhadap tingginya animo masyarakat. Namun, para personel lainnya tak ingin mengekor. Mereka menjadikan Transs wadah kreativitas bermusik.  

Di Surabaya, mereka dapat sambutan luar biasa. Gitaris Dewa Budjana ingat betul konser itu. “Sekitar tahun 1981 waktu Transs (nama grup Fariz RM bareng Erwin Gutawa dan Uce Haryono) manggung di Surbaya, Squirrel jadi band pembukanya,” ujar Budjana yang menjadi pendiri sekaligus gitaris Squirrel dalam Gigi: Peace, Love & Respect.

Sambutan tak kalah meriah datang dari fans Fariz di Bandung ketika Transs pentas di GOR Saparua. “Turun manggung disambut sama Om Harry Roesli, idola saya. Sampai sekarang saya enggak lupa itu,” kenang Djundi.

Transs tak memainkan seluruh lagu dalam album Hotel San Vicente. Musababnya, Wiwiek tak bersedia ikut tur luar kota. Dia lebih memilih kariernya di sebuah perusahaan minyak milik asing di Jakarta. “Yang aku dengar, mereka tak mau memainkan lagu-lagu yang ada vokalku dalam tur,” ujarnya.

Tur Transs sekaligus menjadi “pesta” perpisahannya dengan para penggemar. “Transs bubar resmi nggak, tapi orang-orangnya jadi aktif sendiri-sendiri,” kata Fariz.

Fariz sendiri saat itu sibuk dengan album solo Panggung Perak. Erwin dan Uce ikut membantu Candra Darusman dan Aminoto Kosin membentuk band Karimata. Dandung dan Hafil mendirikan Shaggy. “Saya sendiri lulus SMA, dan juga Eddy, melanjutkan kuliah ke Amerika tahun 1982,” kata Djundi.  

Fariz mengatakan, ada keterburu-buruan yang dia lakukan saat itu sehingga menentukan akhir perjalanan Transs. “Waktu aku tinggal mereka, mungkin aku terlalu cepat melepas mereka. Aku percaya sekali pada kapabilitas mereka, sangat mumpuni. Tapi mungkin banyak hal lain yang mereka belum berpengalaman,” kata Fariz.  

Toh, meski sesaat, Transs yang pernah mengisi musik album kompilasi Tembang Remaja 1981 memberi pengaruh besar bagi dunia musik Indonesia. Transs menginspirasi lahirnya sejumlah grup serupa seperti Karimata, Krakatau, atau Halmahera.

“Aku cukup puas. Boleh dibilang Transs pionir di Indonesia. Waktu itu tidak ada orang di Indonesia yang main seperti itu,” kata Fariz.  

Fariz juga bangga beberapa rekannya di Transs kemudian menjadi nama besar dalam dunia musik tanah air. “Istilahnya, Transs itu jadi tolakan awal. Aku cukup puas dengan apa yang mereka akhirnya capai sebagai individu dengan karier masing-masing.”*

Majalah Historia No. 33 Tahun III 2016

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
67612a319a0ee232782c976a