Safrudin Prawiranegara bersama para petinggi PRRI antara lain Kolonel Dahlan Djambek, Burhanuddin Harahap, Letnan Kolonel Ahmad Husein, dan Kolonel Maludin Simbolon. (Repro 30 Tahun Indonesia Merdeka).
Aa
Aa
Aa
Aa
DI rumahnya di dekat kota kecil Padang Panjang, Sjafruddin Prawiranegara tengah duduk di ruang tamunya yang berdebu. Dia belum bercukur. Mantel biru lusuh di atas piyama kusut membalut tubuhnya. “Dia tidak tampak sebagaimana layaknya seorang perdana menteri,” tulis James Mossman, wartawan Inggris untuk Daily Mail dan Sidney Moring Herald.
Mossman mewawancari Sjafruddin Prawiranegara, perdana menteri Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), sekira Maret 1958. “Jawabannya atas pertanyaan-pertanyaan kami tidak jelas dan agak emosional,” tulis Mossman, “Jatuhnya Pemberontakan di Sumatra”, dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid.
Sjafruddin bersama Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap, bergabung dengan gerakan protes para perwira militer di Sumatra yang tak puas atas kebijakan pemerintah pusat dalam soal militer dan ekonomi.
DI rumahnya di dekat kota kecil Padang Panjang, Sjafruddin Prawiranegara tengah duduk di ruang tamunya yang berdebu. Dia belum bercukur. Mantel biru lusuh di atas piyama kusut membalut tubuhnya. “Dia tidak tampak sebagaimana layaknya seorang perdana menteri,” tulis James Mossman, wartawan Inggris untuk Daily Mail dan Sidney Moring Herald.
Mossman mewawancari Sjafruddin Prawiranegara, perdana menteri Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), sekira Maret 1958. “Jawabannya atas pertanyaan-pertanyaan kami tidak jelas dan agak emosional,” tulis Mossman, “Jatuhnya Pemberontakan di Sumatra”, dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid.
Sjafruddin bersama Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap, bergabung dengan gerakan protes para perwira militer di Sumatra yang tak puas atas kebijakan pemerintah pusat dalam soal militer dan ekonomi.
Mereka melarikan diri ke Sumatra karena khawatir dengan keselamatan keluarga mereka. Di Jakarta, menurut Audrey R. Kahin dan George McTurnan Kahin dalam Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia, surat kabar yang dekat dengan Sukarno, PNI, dan PKI menyerang mereka dengan tuduhan terlibat dalam percobaan pembunuhan presiden di Perguruan Cikini. Mereka juga menerima ancaman melalui telepon. Elemen paramiliter mengejek mereka di jalan-jalan.
Menurut Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral, ancaman itu sulit dibuktikan. “Kekerasan yang mereka ungkapkan agaknya bersifat lebih psikologis dan terasa semakin mengganggu karena dikontraskan dengan situasi di Sumatra saat itu,” tulis Remy.
Di Sumatra, masing-masing menghabiskan waktu bersama keluarga. Lalu tanpa sengaja mereka bertemu di Padang pada pertengahan Januari 1958. “Sepertinya memang tak ada rencana khusus yang berniat mengumpulkan para pemimpin Masyumi untuk menyusun aksi bersama di Sumatra,” tulis Remy.
Menghindari Separatisme
Pada 9 dan 10 Februari 1958, di Sungai Dareh, sebuah kota kecil di Sumatra Tengah, Sjafruddin, Natsir, dan Burhanuddin, memenuhi undangan Letnan Kolonel Ahmad Husein, panglima Sumatra Barat. Hadir pula Sumitro Djojohadikusumo, anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang menyingkir ke Sumatra karena dituduh korupsi. Dari pihak militer, hampir semua perwira yang berseberangan dengan Nasution, ikut dalam pertemuan. Pertemuan membicarakan masalah pembentukan pemerintahan baru.
“Pandangan-pandangan Natsir, Sjafruddin, dan Burhanuddin sangat menentukan dalam menghalangi upaya separatisme itu,” tulis Audrey dan George Kahin.
Namun, Kolonel Zulkifli Lubis, mantan KSAD, dengan tegas menuntut pemerintahan yang dikendalikan militer. Sebagai kompromi, disepakati pembentukan Dewan Perjuangan, yang dipimpin Ahmad Husein. Dewan ini terdiri dari semua dewan yang dibentuk sebelumnya: Dewan Banteng (Sumatra Tengah), Dewan Garuda (Sumatra Selatan), dan Permesta (Sulawesi).
Di Jakarta, para tokoh Masyumi dan PSI berusaha membujuk para pemberontak agar tidak membentuk pemerintahan tandingan. Mohammad Roem berkali-kali melakukan kunjungan ke Padang untuk menemui Natsir, Sjafruddin, dan Burhanuddin.
Namun, sikap sejumlah perwira di Sumatra mulai keras. Bahkan, mereka mendorong Husein untuk mengultimatum pemerintah pusat. Didukung beberapa anggota Dewan Banteng, Sjafruddin berusaha mencegahnya. “Akhirnya dalam menghadapi penolakan Sjafruddin atas ultimatum itu, pada 10 Februari 1958, Husein mengeluarkan ultimatum yang ditandatanganinya sendiri,” tulis Audrey dan George Kahin.
Pandangan-pandangan Natsir, Sjafruddin, dan Burhanuddin sangat menentukan dalam menghalangi upaya separatisme itu.
Melalui corong radio, Husein membacakan ultimatum bahwa dalam waktu lima hari Sukarno harus kembali menjalankan fungsi konstitusionalnya dan membatalkan semua tindakan yang melanggar konstitusi selama setahun terakhir, Kabinet Djuanda mengembalikan mandat, serta menujuk Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk kabinet baru sampai pemilihan umum berikutnya.
Pemerintah pusat tak menggubris tuntutan itu. Tanpa menunggu Sukarno, Nasution memecat para perwira yang membangkang secara tidak hormat. Perintah penangkapan dikeluarkan dengan tuduhan percobaan pembunuhan terhadap presiden dan merongrong integrasi bangsa.
Ketika batas waktu ultimatum berakhir, pada 15 Februari 1958 mereka mengumumkan berdirinya PRRI. Sjafruddin menjadi perdana menteri merangkap menteri keuangan, Burhanuddin menjadi menteri pertahanan merangkap menteri kehakiman, dan Sumitro menjabat menteri penerangan. Natsir sendiri jadi juru bicara PRRI. Berdirinya PRRI sebagian didorong dukungan Amerika Serikat berupa bantuan dana, persenjatan dan peralatan, hingga pelatihan.
Sehari setelah deklarasi PRRI, Sukarno kembali dari lawatannya di luar negeri. Dalam pertemuan dengannya, Hatta berusaha mencegah intervensi militer dan mengusulkan penyelesaian yang komprehensif. Usulannya ditolak. Sukarno, Djuanda, dan Nasution memilih solusi militer.
Tak lebih dari empat bulan, pemberontakan dilumpuhkan. Singkatnya, waktu membuktikan ketidaksiapan dan kegagalan politik aliansi mereka, baik di dalam maupun luar negeri.
Tercerai-berai
Setelah kegagalan itu, para pemimpin Masyumi dalam PRRI kemudian menetapkan haluan gerakan melalui aliansi dengan Darul Islam dari Aceh sampai Sulawesi. Strategi ini memicu perseteruan. Sebagian perwira PRRI menentang. Toh, aliansi tetap terjadi. Pada 8 Februari 1960 dibentuk Republik Persatuan Islam (RPI).
Menurut Remy, RPI tak pelak hanya ilusi. Konstitusi yang diumumkan saat proklamasinya tak pernah dituliskan. Di luar presiden yang jatuh ke tangan Sjafruddin, tak ada lembaga lain yang dibentuk.
Di bulan-bulan awal 1961, para pemberontak semakin tercerai-berai. Sumitro lebih dulu meninggalkan rekan-rekannya dan mengurusi pengiriman senjata ke Sulawesi dari Singapura, lalu menjadi buron dengan berpindah-pindah tempat. Para perwira pembangkang di Sulawesi dan Sumatra akhirnya menyerahkan diri. Termasuk Zulkifli Lubis, yang menyerah pada 18 Agustus, sehari setelah pidato Sukarno yang menjanjikan amnesti bagi mereka yang kembali ke pangkuan ibu pertiwi sebelum 5 Oktober.
Kehilangan semua dukungan militer dan terancam milisi pro-PKI seperti Organisasi Pemuda Rakyat, Sjafruddin dan Burhanuddin menyerahkan diri pada akhir Agustus. Natsir menyerahkan diri pada 25 September dan dipenjara di Padang, lalu bersama para pemimpin PRRI lainnya, dipindahkan ke Jakarta.
Keterlibatan mereka dalam PRRI menempatkan partai mereka, Masyumi, di jurang kehancuran.*