Tuba Bukan Tuba

Demi aksi bela negara, ia berada di Lubang Buaya dan menyaksikan kejadian mengerikan yang dialami para jenderal.

OLEH:
Martin Sitompul
.
Tuba Bukan TubaTuba Bukan Tuba
cover caption
Illustrasi: Awaludin Yusuf

Tiga jemari kuku tangannya menghitam; kedua jempol dan jari manis sebelah kiri. Sementara jari tengah kiri melengkung ke atas. Kadangkala jempolnya mengeluarkan bau busuk. Semuanya akibat getokan palu tentara yang memeriksanya berpuluh tahun silam.

“Baunya enggak karu-karuan. Sudah 47 tahun masih bau aja,” katanya. Ia menduga jari yang menghitam itu lantaran darah beku yang tidak keluar.  

Bekas luka itu membawa ingatan Pak Tuba kembali pada peristiwa 1965. Ia diciduk lantaran tercatat sebagai anggota Pemuda Rakyat yang berada di Lubang Buaya saat terjadi Gerakan 30 September (G30S). 

Sebagai tahanan politik (tapol), siksaan demi siksaan menderanya. Ia mendekam dari penjara ke penjara hingga dibuang ke Pulau Buru. Setelah bebas, ia tak lepas begitu saja dari rundungan sebagai mantan tahanan politik (tapol). 

Tuba kini berusia 78 tahun. Ia tinggal bersama istri, anak, menantu dan cucunya di gang sempit Jalan Jembatan Tiga, Penjaringan, Jakarta Utara. Secara intelegensi, ia sehat. Ingatannya masih tajam. Namun, imbas penyiksaan semasa menjadi tapol tetap melekat pada raganya. Napasnya kerap kali sesak serta nyeri pada mata dan telinga. Kalau melangkah, jalannya terlihat sempoyongan. 

“Sudah saya ceritakan di Komnas HAM,” ujarnya. Ia lakukan itu agar mendapat Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH). “Tapi ya cuma cerita doang. Penyelesaiannya ndak ada,” ujarnya lirih. 

Pak Tuba menuturkan pengalaman pahitnya dengan penuh kesabaran. Kadang-kadang jenaka. Sesekali ia menyanyikan lagu-lagu yang diciptakan kawan-kawan sesama tapol dalam penjara. 

Tiga jemari kuku tangannya menghitam; kedua jempol dan jari manis sebelah kiri. Sementara jari tengah kiri melengkung ke atas. Kadangkala jempolnya mengeluarkan bau busuk. Semuanya akibat getokan palu tentara yang memeriksanya berpuluh tahun silam.

“Baunya enggak karu-karuan. Sudah 47 tahun masih bau aja,” katanya. Ia menduga jari yang menghitam itu lantaran darah beku yang tidak keluar.  

Bekas luka itu membawa ingatan Pak Tuba kembali pada peristiwa 1965. Ia diciduk lantaran tercatat sebagai anggota Pemuda Rakyat yang berada di Lubang Buaya saat terjadi Gerakan 30 September (G30S). 

Sebagai tahanan politik (tapol), siksaan demi siksaan menderanya. Ia mendekam dari penjara ke penjara hingga dibuang ke Pulau Buru. Setelah bebas, ia tak lepas begitu saja dari rundungan sebagai mantan tahanan politik (tapol). 

Tuba kini berusia 78 tahun. Ia tinggal bersama istri, anak, menantu dan cucunya di gang sempit Jalan Jembatan Tiga, Penjaringan, Jakarta Utara. Secara intelegensi, ia sehat. Ingatannya masih tajam. Namun, imbas penyiksaan semasa menjadi tapol tetap melekat pada raganya. Napasnya kerap kali sesak serta nyeri pada mata dan telinga. Kalau melangkah, jalannya terlihat sempoyongan. 

<div class="img-right podcast-image"><div class="podcast-container "><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/633d9cc77319975e4d66bf8e_Tuba-Abdurahim1%20Large.jpeg"><div class="audio-podcast"><h3>Podcast Tuba pengenalan</h3><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/32-tuba/1-podcast-Tuba-Pengenalan.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><figcaption>Tuba bin Abdurahim di depan halaman rumahnya kawasan Penjaringan Jakarta Utara. (Historia/Fernando Randy)</figcaption></div>

“Sudah saya ceritakan di Komnas HAM,” ujarnya. Ia lakukan itu agar mendapat Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH). “Tapi ya cuma cerita doang. Penyelesaiannya ndak ada,” ujarnya lirih. 

Pak Tuba menuturkan pengalaman pahitnya dengan penuh kesabaran. Kadang-kadang jenaka. Sesekali ia menyanyikan lagu-lagu yang diciptakan kawan-kawan sesama tapol dalam penjara. 

Tukang Catut

Tuba bin Abdurahim lahir di Brebes, sebuah kabupaten di Jawa Tengah, pada 14 April 1944. Ayahnya bekerja sebagai tukang reparasi arloji sedangkan ibunya pedagang kecil-kecilan. Entah apa alasan mereka sehingga anak ketiganya dinamai Tuba. Tuba adalah tumbuhan dengan akar beracun yang biasa digunakan untuk memabukkan ikan. Secara sederhana, tuba berarti racun.

“Saya berpikir apakah dosa kami sampai kami miskin. Apakah karena itu nama saya Tuba,” ujarnya. “Dalam ajaran Marxis, orang yang hidup tertindas perlu ada perubahan, perubahan itu ada kalau ada perjuangan.”

Demi mengubah nasib, pada usia 18 tahun Tuba merantau ke Jakarta. Modalnya ijazah sekolah rakyat, ijazah kursus montir enam bulan, dan beberapa potong pakaian. Setiba di Jakarta, ia menemui kakak pertamanya, Tohar, di tempat kerjanya yang bersebelahan dengan Gedung Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC PKI) di Jalan Kramat Raya 81. 

Tohar merupakan aktivis PKI. Ia diangkat menjadi wakil partai yang berkedudukan di Front Nasional tingkat Kecamatan Sawah Besar. Selain itu, Tohar bekerja sebagai staf di Universitas Rakyat (Unra) yang bertugas mencetak buku-buku pengajaran untuk kader-kader partai. 

Tampak gedung CC PKI kawasan Salemba yang dibakar oleh massa yang marah imbas dari peristiwa G30S di Lubang Buaya. Tempat dimana Tuba pertama kali menemui kakaknya ketika tiba di Jakarta. ( Geheugen Delpher )

Siswojo, anggota sekretariat CC PKI, dalam memoarnya, Siswojo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri, menyebut Unra menyediakan pendidikan bagi kader-kader partai, aktivis, dan massa rakyat (buruh tani). Unra didirikan akhir 1958 sebagai sekolah pengetahuan umum tingkat menengah atau setara sekolah menengah atas. Selain Siswojo, pendiri lainnya adalah Oey Hay Djoen, Mr. Prapto, Dr. Lie Chuan Sien, dan Rivai Apin.

Di Jakarta, Tuba tinggal bersama Tohar di rumah kosan di Jalan Krekot Bunder, Pasar Baru, Sawah Besar. Berkat koneksi Tohar, Tuba mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan teknik montir di Dinas Pekerjaan Umum di Jati Baru, Tanah Abang. Setiap dua minggu, ia mendapat jatah beras 40 kg. Di sela-sela waktu, Tuba cari uang tambahan dengan menjalankan pekerjaan sambilan. 

“Karena pengaruh lingkungan dan gaji yang minim, saya menjadi tukang catut karcis bioskop Cathay di Jalan Gunung Sahari,” ujarnya. Bioskop Cathay kini menjadi pertokoan Golden Truly.

Lazimnya bioskop yang tengah memutar film-film box office diserbu calon penonton. Mereka berdesak-desakan demi mendapatkan karcis. Pada momen inilah tukang catut alias calo beraksi. Muhammad Fauzi dalam “Jagoan Jakarta dan Penguasaan di Perkotaan, 1950-1966”, tesis pada Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia tahun 2010, menyebut tukang catut kerap melakukan pekerjaan di sekitar loket bioskop, pelabuhan, terminal atau stasiun. Kendati dilarang dan pelakunya bisa dihukum, barisan tukang catut tak kenal rasa takut. Operasi dan penangkapan yang dilakukan polisi pun tak bikin mereka jera. 

Sebagai pencatut, Tuba memborong karcis bioskop dan menjualnya dua kali lipat bahkan lebih kepada penonton. Aksinya terendus oleh polisi reserse yang menyamar jadi pembeli. Tuba digelandang ke Polsek Kemayoran. Setelah proses pengadilan dengan tuduhan sebagai pengacau ekonomi, Tuba divonis penjara 6 bulan 10 hari. Ia menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tangerang. 

<div class="img-right podcast-image"><div class="podcast-container "><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/633d9d1ca0a6e44aad1ca729_Tuba-Abdurahim2%20Large.jpeg"><div class="audio-podcast"><h3>Podcast Tuba keterlibatan G30S</h3><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/32-tuba/2-podcast-Tuba-Keterlibatan-g30s.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><figcaption>Tuba saat melihat ke dalam rumah tetangganya di kawasan Penjaringan Jakarta Utara. ( Historia/Fernando Randy )</figcaption></div>

“Setelah bebas saya dipecat. Pegawai negeri kalau sudah dipenjara diberhentikan secara tidak hormat”, tutur Tuba.

Bebas dari penjara, Tuba mencoba peruntungan sebagai juru parkir di Pasar Baru hingga pedagang kaki lima di Lapangan Banteng.

Pemuda Rakyat

Lagi-lagi Tohar-lah yang membantu Tuba terhubung dengan Bun Tan Cien Seng, pemilik agen koran Cucu Agency yang juga anggota PKI dan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Tuba kerasan bekerja sebagai loper koran. Selain memperoleh penghasilan, ia jadi melek politik melalui berita suratkabar. Tohar pula yang mendorong Tuba untuk bergabung dengan Pemuda Rakyat. 

Dari semua ormas yang dekat dengan PKI, Pemuda Rakyat memiliki hubungan paling kuat. Dalam Konstitusi PKI tahun 1959, Pemuda Rakyat termaktub dalam bab tersendiri. Keanggotaannya pada tahun yang sama diklaim mencapai 1.250.000 kader. Kendati demikian, Pemuda Rakyat tetap memiliki otonomi sendiri. 

<div class="quotes-center font-g text-align-center">“Secara organisasi, Pemuda Rakyat berdiri sendiri tetapi secara politik ia adalah pembantu setia dan terpercaya dari partai,” ujar Tuba.</div>

Pada 1963, Tuba resmi menjadi anggota Pemuda Rakyat. Pagi hari, ia bekerja sebagai loper koran. Setelahnya ia mengikuti kegiatan Pemuda Rakyat. Dari belajar menari dan main drumben hingga menghadiri rapat akbar atau meramaikan demonstrasi. Tuba masih ingat kegiatan bersih-bersih Jakarta, menyapu di Pasar Senen sambil mengibarkan bendera Pemuda Rakyat.  “Waktu itu gubernurnya Henk Ngantung,” ujarnya. 

Dalam organisasi, Tuba menjabat ketua ranting tingkat kampung di Jalan Lautze, Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Sawah Besar. “Kalau di partai itu setara ketua resort, tapi karena saya ormas jadi sebutannya ranting,” jelasnya. 

Presiden Sukarno dan Pimpinan PKI D.N. Aidit saat menghadiri hari ulang tahun PKI di Jakarta. Saat Sukarno memberi pidato adalah saat yang paling ditunggu oleh Tuba saat itu. ( Repro Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka )

Sebagai ketua ranting, Tuba membantu pemuda-pemuda pengangguran di lingkungannya. Mengkaryakan mereka menjadi penarik becak atau pedagang asongan, kemudian menghimpun mereka dalam Persatuan Pengendara Becak Seluruh Jakarta dan Persatuan Pengusaha Dagang Kecil (PPDK). 

“Persatuan Pengendara Becak dipimpin oleh Sakrib, anggota Pemuda Rakyat. PPDK dipimpin oleh Bapak Makdum, ketua I Comite Seksi Sawah Besar dan anggota DPRD Jakarta,” tukasnya. 

Momen Presiden Sukarno berpidato dalam rapat akbar adalah hari yang paling ditunggu Tuba. PKI biasanya mengerahkan Pemuda Rakyat untuk pawai massa. Pada kesempatan itulah Tuba dapat menyaksikan Sukarno dari jarak dekat. 

Tuba selalu memilih tempat duduk di depan jajaran para menteri agar pandangannya bisa mengarah langsung ke arah podium Bung Karno. Tapi ia tidak duduk di kursi, melainkan mengemper di bawah. Kalau sudah begitu, Brigjen Sabur, ajudan Bung Karno dengan sigap mengacung-acungkan telunjuknya, isyarat menyuruh pindah. Aksi itulah yang ia lakukan pada rapat akbar Hari Pahlawan 10 November 1963.

Suasana pembukaan Games of New Emerging Forces (Ganefo), pesta olahraga tandingan yang menyaingi pamor Olimpiade yang digagas Sukarno. Tuba saat itu sering ditugaskan untuk menjemput tamu-tamu negara peserta Ganefo. (wikimedia commons )

“Saya tetap duduk bersila sambil tepuk-tepuk tangan. Setelah pidato usai, saya ikut teriak, ‘hidup Bung Karno’, ‘hidup Ketua Front Nasional Soedibyo…,” kenangnya. Front Nasional adalah organisasi massa yang dibentuk untuk menyatukan kekuatan-kekuatan revolusioner untuk menyukseskan pembangunan nasional. 

Momentum Hari Pahlawan dipilih sebagai ajang pembukaan Games of New Emerging Forces (Ganefo), pesta olahraga tandingan yang menyaingi pamor Olimpiade yang digagas Sukarno. Sebanyak 51 negara yang melibatkan 2700 atlet menjadi partisipan untuk 20 cabang olahraga Ganefo. Di akhir kompetisi, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi juara sedangkan Indonesia menempati urutan ketiga

Tuba sering ditugaskan menjemput tamu-tamu asing dari negara peserta Ganefo atau sekadar memasang bendera negara peserta yang ditancapkan di Bandara Kemayoran. 

Aktif dalam Pemuda Rakyat tak serta merta menjadikan Tuba anggota partai. Menurutnya, sulit sekali untuk menjadi anggota PKI. “Susah, harus melalui sumpah dan sebagainya.” 

Dari Tohar, Tuba menerima banyak pendidikan politik. Pesan Tohar yang selalu diingatnya: kalau mau tahu Marxisme, kita harus tahu menganalisis keadaan sekitar. Tuba juga cukup mengetahui seluk-beluk partai. 

“Main catur itu dilarang kalau di partai,” katanya. “Padahal, catur itu kan strategi untuk bertempur tapi itu memakan waktu, lebih baik berpikir yang lain.” 

<div class="video-content"><video class="lazy entered loaded" controls="" controlsList="nodownload" data-src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/32-tuba/Tuba-ok.mp4" width="100%" data-ll-status="loaded" src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/32-tuba/Tuba-ok.mp4"></video></div>

Sukarelawan Dwikora 

Halaman Istana Merdeka dipadati massa pada 3 Mei 1964. Berbagai kelompok berkumpul menyaksi-dengarkan pidato Presiden Sukarno. Menurut arsip dokumenter Perusahaan Pembuat Film Negara (PPFN) koleksi Arsip Nasional (ANRI), lebih dari sejuta warga Jakarta hadir dalam acara bertajuk “Appel Besar Sekarelawan Pengganjangan Malaysia”. Tuba juga datang bersama rombongan Pemuda Rakyat. 

Dalam apel besar itu, Bung Karno menyerukan komando aksi “Ganyang Malaysia”. Pembentukan negara Federasi Malaysia disebutnya sebagai proyek neokolonialisme yang dapat membahayakan revolusi Indonesia. Ia sekaligus memaklumatkan pembentukan sukarelawan sebagai garda komando yang dinamainya Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Sepulangnya dari Istana Merdeka, spirit bela negara Tuba menyala-nyala.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">“Saya sebagai seorang Pemuda Rakyat yang ingin mendarmabaktikan jiwa dan raga untuk bangsa dan negara mendaftarkan diri jadi sukarelawan Dwikora yang dikomandoi oleh Bung Karno,” ujar Tuba penuh semangat.</div>

Di tengah sentimen anti-Barat, sebagai ketua ranting Pemuda Rakyat, Tuba terlibat dalam aksi corat-coret untuk kampanye pengganyangan film-film Amerika Serikat yang dilancarkan Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). 

Aksi lainnya adalah gerakan pengganyangan musik ngak-ngik-ngok, produk kebudayaan Barat yang ditentang oleh Bung Karno. Sementara pada waktu yang sama digalakkan musik-musik dari daerah seperti lagu “Genjer-Genjer”, “Tanduk Majeng”, dan “Perahu Layar”. 

Memasuki 1965, sukarelawan Dwikora dipersiapkan untuk operasi militer ke perbatasan Malaysia. Untuk itu, latihan-latihan milisi semakin digiatkan. Mereka diajarkan baris-berbaris, teori pertempuran, beladiri, serta latihan menembak di Cibubur dan Lubang Buaya, Jakarta Timur. 

Selama pelatihan, Tuba terampil menggunakan senapan laras panjang jenis Garand dan granat mortir. Namun, ada satu jenis senjata yang menarik perhatiannya tetapi tak sempat dipelajari: senapan pelontar jenis Recoilless buatan Swedia. Ia biasanya digunakan sebagai senjata antitank atau kendaraan lapis baja. 

“Recoilless itu kan antri yang mau belajar. Bawa pelurunya juga mesti digotong dan suaranya menggelegar,” kata Tuba.

Menjelang pemberangkatan sukarelawan, diadakan upacara di Stadion Gelora Bung Karno. Namun, atas pertimbangan ketua Pemuda Rakyat Jakarta Suyitno, sebagian besar anggotanya, termasuk Tuba, tak ikut diberangkatkan. Kepada yang aktif latihan drumben, Suyitno menginstruksikan supaya tetap digiatkan. Mereka dipersiapkan untuk mengisi acara Hari Ulang Tahun PKI ke-45 dan Proklamasi Kemerdekaan ke-20. 

Hari-hari Tuba pun diisi dengan latihan drumben. Ia berposisi sebagai penabuh genderang, kadang-kadang pemukul tenor. Seusai latihan, Tuba kerap kumpul di rumah bedeng hunian orang-orang Brebes perantauan yang juga anggota Pemuda Rakyat, bahkan anggota partai. Kecuali Tuba yang loper koran, mereka bekerja sebagai penarik becak dan pedagang asongan. Saban malam, mereka membicarakan situasi politik yang kian gawat sembari main kartu. Isu kudeta Dewan Jenderal yang akan dilancarkan pada Hari TNI 5 Oktober santer terdengar.    

“Walaupun sering dibicarakan di kelompok sambil main judi, saya kadang-kadang serius, kadang-kadang masa bodoh. Ah, masak iya sih. Tapi, kalau itu (Dewan Jenderal) memang terjadi ya berbahaya,” kata Tuba. 

Hajatan akbar ulang tahun PKI pada 23 Mei dan perayaan kemerdekaan Indonesia pada Agustus 1965 sukses dilakoni Tuba sebagai pemain drumben. 

Pada 28 September, Tuba menyambut panggilan untuk latihan kemiliteran di Lubang Buaya. Perintah itu datang dari Suyitno. Peleton Tuba memang telah diagendakan untuk giliran piket di Lubang Buaya. Menjelang matahari terbenam, Tuba berangkat bersama kawan-kawannya.

Diorama tentang para pendukung partai PKI saat mereka sedang berjaya di era 1960an. Saat itu Partai Komunis Indonesia (PKI) pernah menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia. Kadernya berjumlah sekitar 300.000. (Historia/Fernando Randy)


Di Lubang Buaya

Tiba di Lubang Buaya, hari sudah malam. Banyak anggota Pemuda Rakyat sudah datang lebih dulu. Tenda-tenda didirikan sebagai tempat beristirahat.  

Keesokan pagi, 29 September, Tuba mengikuti latihan sukarelawan Dwikora sebagaimana biasa di bawah pimpinan Sersan Mayor (AURI) Saleh. Namun, pada malam hari Tuba bersama peletonnya mendapat tugas mengambil senjata ke gudang AURI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

“Prosesnya sebentar saja karena kita sudah bekerja sama dengan petugas jaga. Ada macam-macam senjata kita masukan ke truk kemudian dibawa lagi ke Lubang Buaya,” tutur Tuba. 

Pada 30 September, Tuba diperintah oleh Sersan Mayor Saleh untuk piket. Tuba ditugasi sebagai komandan peleton dengan wakilnya Makrub yang lebih tua daripada Tuba. Menurut Tuba, dirinya diangkat jadi komandan peleton karena dianggap lebih gesit

“Piket sampai jam berapa,” tanya Tuba.

“Hari ini tak ada batas waktunya,” ujar Sersan Mayor Saleh.

Memasuki dini hari 1 Oktober, keadaan di Lubang Buaya hening. Bunyi cabang dan ranting pohon-pohon karet yang saling bergesek ditiup angin jelas terdengar. Sementara suara adzan pagi sayup-sayup dari masjid yang satu ke masjid yang lain. Menjelang pagi, Tuba dikejutkan suara gemuruh. Makin lama makin dekat. Ternyata iring-iringan tiga mobil truk. 

Begitu pintu bak truk dibuka, tentara-tentara berbaret turun berloncatan. Jumlahnya sekira 30 orang. Mereka kemudian membentuk lingkaran. Satu orang komandan di tengah mendengar laporan dari pasukannya. Setelah bubar barisan, komandan tentara itu memasuki markas komando untuk melapor ke atasannya. Sementara itu anak buahnya terlihat berbincang. Sependengaran Tuba, seorang di antara mereka berteriak, “Saya kan diperintah saja”. 

Seorang pengunjung saat melintas di depan salah satu rumah yang menjadi saksi bisu Gerakan 30 September di Lubang Buaya. Di kawasan inilah Tuba berada pada malam yang naas itu. (Historia/Fernando Randy)

“Mereka sendiri ada yang saling menyalahkan, ada yang manggut-manggut kepala tanda mendukung. Secara keseluruhan mereka saling tidak tahu menahu,” terang Tuba.   

Saat itu Tuba belum mengetahui dari kesatuan mana tentara tersebut. Namun, ketika matahari makin terang, jelaslah bahwa mereka tentara Tjakrabirawa berbaret merah tua. Tuba menyimpulkan telah terjadi gerakan militer yang tersembunyi, begitu bisiknya pada Makrub. Setelah para tentara Tjakrabirawa itu berlalu, Tuba dan Makrub meninjau ke dalam truk. 

Di dalam dua truk pertama terlihat beberapa orang tergeletak. Ada yang matanya ditutup kain; ada yang hanya pakai celana pendek; ada yang mengenakan pakaian dinas tentara lengkap; ada pula yang kakinya masih bergerak-gerak. Tiada seorang pun dari mereka yang dapat diidentifikasi oleh Tuba. 

Di truk terakhir, di bagian kolongnya, hanya ada seorang yang tergeletak mengenakan celana pendek selutut dan kaus oblong putih berstrip biru. Mukanya diselubungi selembar tikar rombeng. Ketika dibuka, lalat-lalat menghinggapi wajah yang berlumuran darah kering itu. Kali ini, Tuba merasa tak asing. Ia tercengang. 

“Orang tersebut adalah yang pernah saya lihat di koran waktu saya jadi loper koran,” ujar Tuba. Dia memastikan lagi pada Makrub, bahwa benar sosok terbujur yang mereka lihat ialah Letnan Jenderal Ahmad Yani, Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad). 

Sejurus kemudian terdengar bunyi letusan tembakan dari arah markas komando. Rasa penasaran menuntun Tuba bergerak menuju sumber letusan. Seingat Tuba, hari sudah pagi, sekira pukul 06.30. 

Di dalam markas komando, duduk seorang pria berpostur gempal sedang diinterogasi. Ia bungkam, tidak menjawab sepatah kata pun. Hanya sorot matanya yang tajam seolah-olah ingin melawan. Dia, kata Tuba, hanya mengenakan kain sarung dengan kaus kutang. Dari tentara-tentara di sekitarnya, Tuba mengetahui orang itu ialah Mayor Jenderal Soeprapto, Deputi II Menpangad yang membidangi administrasi.

<div class="quotes-center font-g text-align-center">“Saya kasihan melihat Pak Soeprapto diperlakukan seperti itu. Dia seorang jenderal. Melihat pemandangan seperti itu, saya kurang siap rasanya. Saya kemudian keluar meninggalkan tempat itu,” tutur Tuba.</div>

Di luar, Tuba melihat empat orang tentara berjalan. Dua orang menggandeng seseorang yang berseragam perwira lengkap dengan tanda bintang jenderal. Tangan sang jenderal diborgol ke depan sementara matanya ditutup. Satu orang lagi mengawal dari belakang sambil menenteng senjata laras panjang Garand. Sepuluh meter berjalan, mereka tiba di bibir sumur berukuran sempit. Tentara bersenapan Garand itu kemudian menodong si jenderal. Sebelum melepaskan tembakan, ia berujar, “Maaf, ya Pak. Demi revolusi.” Dua tembakan dilepaskan ke mata kanan, dua tembakan ke mata kiri, dari jarak sekira 20 cm. Setelah diperkirakan tak bernyawa, jasad sang jenderal dilemparkan ke lubang sumur. Kepalanya lebih dulu. 

“Jadi makanya mata itu hilang. Kalau katanya dicongkel itu enggak benar. Mata itu jatuh karena ditembak,” jelas Tuba. 

Bau anyir percikan darah bercampur asap mesiu bikin Tuba bergidik. Tuba sendiri tidak tahu persis siapa jenderal yang dieksekusi itu. Namun, ia memastikan bahwa sang jenderal mengenakan uniform militer serta topi pet. Ciri itu, seperti disebut dr. Soedjono dalam Monumen Pancasila Sakti, merujuk pada Mayor Jenderal S. Parman, Asisten I/Intelijen Menpangad.   

Diorama yang menceritakan penyiksaan para Jendral oleh Tjakrabirawa di Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya. (Historia/Fernando Randy)

Sepuluh menit berselang, seorang lagi dieksekusi dengan cara yang serupa. Tapi prosesnya lebih cepat. Di kemudian hari, Tuba mengetahui sosok itu bernama Lettu Pierre Tendean, ajudan Menteri Pertahanan Jenderal Abdul Haris Nasution. 

“Sesudah semua jatuh ke dalam sumur pun masih ditembak juga sampai asap itu mengepul di atas sumur sehingga tidak kelihatan lagi lubangnya,” kenang Tuba. 

Tuba menyingkir ke rumah tempat latihan di mana banyak orang mengamati radio transistor. Pada pukul 07.00, RRI menyiarkan berita mengenai Letkol Untung yang telah menyelamatkan Presiden Sukarno dari kudeta Dewan Jenderal. Gerakan itu dinamainya Gerakan 30 September (G30S). Namun, pada siang hari, pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menyerang Lubang Buaya, berhadapan dengan sekompi pasukan dari Batalion 454/Raiders. Sementara itu, para sukarelawan bertahan di Lubang Buaya sampai tanggal 2 Oktober. 

Sebelum membubarkan diri, para sukarelawan meletakkan perlengkapan mereka, termasuk pakaian dan senjata. Mereka kemudian menyelamatkan diri masing-masing. Sejak itu, Tuba keluar dari Lubang Buaya dan melarikan diri ke tempat asalnya, Brebes.   

<div class="quotes-center font-g text-align-center">“Saya jadi buron karena berada di ring-1 Lubang Buaya dan bersenjata. Padahal saya hanya seorang sukarelawan yang menjalankan tugas negara. Ini kan masalah politik. Saya tidak mengerti politik,” imbuhnya.</div>

Sampai sekarang, Tuba selalu terbayang peristiwa eksekusi di Lubang Buaya, seperti baru kejadian tadi pagi. Ingatan itu kerap muncul entah saat dirinya dalam keadaan senang atau susah. “Itu mengerikan,” katanya. “Saya selalu ingat sampai detik ini. Jangan sampai terjadi lagi.” 

Namun, Tuba membantah visualisasi kejadian di Lubang Buaya dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang mendiskreditkan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), organisasi perempuan yang dekat dengan PKI. Dalam film maupun narasi sejarah resmi, Gerwani digambarkan ikut menganiaya para jenderal, melakukan tarian harum bunga, bahkan melakukan pesta seks dengan sukarelawan. 

“Demi Tuhan saya bersaksi, selama saya berada di Lubang Buaya tidak ada yang namanya pesta Gerwani dan aksi bugil sambil menyilet-nyilet kemaluan para jenderal,” tegasnya.


Dari Penjara ke Penjara

Tanggal 16 November 1965 adalah hari ketika Tuba ditangkap polisi. Pagi itu, sekira pukul 10.00, empat tentara bersama Kapolres Brebes datang menjemput Tuba di rumahnya. Mereka dibantu Abdullah, tetangga Tuba di Krekot Bunder yang berperan sebagai cecunguk (tukang tunjuk). Sementara Tohar, sang kakak, terciduk dalam Operasi Kalong di Surabaya. 

Dari Polres Brebes, Tuba diangkut ke Jakarta dan ditahan di di kantor Koramil di Jalan Gunung Sahari –waktu itu namanya Bintara Urusan Teritorial dan Perlawanan Rakyat (Buterpa). Di sana, Tuba menjalani interogasi dan penyiksaan, yang bekas-bekasnya tak kunjung hilang sampai sekarang. Setelah itu ia diserahkan ke Kodim Jakarta Utara.

Sepekan kemudian, Tuba dipindahkan ke Rumah Tahanan Chusus (RTC) Salemba. Memasuki 1966, ia dipindahkan ke penjara Tangerang untuk dipekerjakan secara paksa. Tuba bolak-balik menghuni penjara Salemba dan Tangerang sebelum dikirim ke Pulau Nusakambangan dan akhirnya Pulau Buru.

Buku yang berisi lagu-lagu yang diciptakan oleh Tuba sewaktu menjalani hukuman penjara di Tangerang. Tuba mengatakan suatu saat nanti ingin membawakan semua lagu-lagunya di depan orang banyak. (Historia/Fernando Randy)

“Kalau dalam tahanan penjara kita bertahan dari siksaan, maka di Pulau Buru kita berjuang untuk bertahan hidup,” ujarnya.

Tuba menginjakkan kaki di Pulau Buru pada November 1976. Upacara sumpah setia pada 13 November 1979 di pusat kota Namlea menandai kebebasan Tuba bersama ribuan tapol lainnya dalam gelombang terakhir. Ia bebas setelah 14 tahun menghabiskan hidup dari penjara ke penjara tanpa sekalipun melalui proses pengadilan. 

Tuba (kiri) saat sedang membuat berbagai olahan pertanian saat menjalani masa pembuangan di Pulau Buru. ( Historia/Fernando Randy )

Menurut Gloria Truly Estrelita, kandidat doktor pada Centre Asie du Sud-Est (CASE)/École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS), kebanyakan tapol tidak begitu saja hidup normal ketika kembali ke masyarakat. Cap eks tahanan politik atau “ET” yang dicantumkan di Kartu Tanda Penduduk (KTP) membuat mereka kesulitan mendapatkan pekerjaan maupun dana pinjaman dari bank. Akibatnya, akses ekonomi dan sosial untuk mendapatkan kualitas hidup yang baik dikebiri. Tak jarang banyak mantan tapol dan keturunannya hidup dalam kemiskinan.

Tuba (Kiri) saat bekerja di perkebunan ketika menjalani masa pembuangan di Pulau Buru. Menurut Tuba saat itu Pulau Buru hanya berisi hutan yang lebat. (Historia/Fernando Randy)

“Kepala dilepas, tapi buntut dipegang terus. Mereka hidup di bawah pengawasan ketat,” kata Trully.

Tuba boleh jadi segelintir mantan tapol yang beruntung tidak mendapat label “ET” pada KTP-nya. Ketika mengurus surat kependudukan, di Kelurahan Pasar Baru sedang terjadi pergantian lurah. Keterangan diri Tuba sebagai eks tapol diabaikan oleh lurah baru, Pak Sukat, yang langsung menandatangani formulir KTP nya.  

“Selesai dari kelurahan saya buru-buru, takut dipanggil lagi, langsung naik becak,” Tuba mengenangnya sebagai pengalaman lucu sekaligus menegangkan.

Tuba muda menikah dengan sang istri Ngatemi usai bebas dari penjara di Pulau Buru 1980. (Historia/Fernando Randy)

Tuba kemudian menetap di gang sempit Jalan Jembatan Tiga, rumah yang ditempati orang tuanya sejak 1973 ketika hijrah dari Brebes. Pada 3 September 1980, Tuba menikahi Ngatemi, gadis asal Surabaya. Pernikahan itu dikaruniai dua orang anak.

Ketika anak keduanya lahir, acara syukuran digerebek oleh Sersan TNI Sumiran sang ketua RT. Tuba dilarang untuk mengundang banyak orang berkumpul di kediamannya.  “Di sini dari lembaga RT dan RW melakukan pengawasan yang melekat. Jadi apa yang kita lakukan selalu diawasi,” kata Tuba. 

Sejak 1980, Tuba bekerja sebagai tenaga honorer di Dinas Perikanan DKI Jakarta. Ia bertugas selaku pemelihara lingkungan di Pelabuhan Ikan Muara Angke. Dua tahun berselang ia diangkat menjadi petugas Trantib (Ketentraman dan Ketertiban) Dinas Perikanan DKI Jakarta. Ia bekerja sampai 2015.

Di masa tuanya, Tuba masih mengikuti kegiatan-kegiatan yang memperjuangkan nasib korban genosida 1965-1966. Ia tak jera menyuarakan nasib eks tapol 1965. Ia ingin masalah ‘65 diselesaikan dengan pengakuan negara bahwa dulu telah terjadi pelanggaran HAM berat. 

<div class="quotes-center font-g text-align-center">“Kita tinggal beberapa gelintir orang yang masih hidup. Berharap mendengar atau menerima setetes maaf dari penguasa kepada para korban,” katanya.</div>

Sebab, orang-orang seperti Tuba bukanlah tuba atau racun negara.*

<div class="img-right podcast-image"><div class="podcast-container "><img alt="person" class="entered loaded" data-ll-status="loaded" src="https://cdn.prod.website-files.com/61af270884f7a0580d35618e/633e82b5ca643e7ff0b3e4f0_Tuba-Abdurahim5.jpeg"><div class="audio-podcast"><h3>Podcast Tuba penangkapan</h3><audio controls controlsList="nodownload"><source src="https://d220hvstrn183r.cloudfront.net/premium/32-tuba/3-podcast-Tuba-Penangkapan.mp3" type="audio/mpeg">Your browser does not support the audio element.</audio></div></div><figcaption>Tuba saat mengikuti acara rutin Kamisan yang di gelar di depan Istana Negara Jakarta Pusat. Hingga kini Tuba masih terus menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tapol 1965. (Historia/Fernando Randy)</figcaption></div>

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
633d997f6f6af85c650c5179