Tubagus Alipan (paling kanan). (Dok. Keluarga Tubagus Alipan/Historia.ID).
Aa
Aa
Aa
Aa
SEBUAH kantor koperasi berdiri berimpit di depan rumah bercat putih kusam itu. Seekor burung bertengger di dalam kandangnya yang tergantung tak jauh dari kolam ikan yang airnya keruh kehijauan. Pagar samping rumah berbatasan langsung dengan trotoar jalan masuk ke kampung Kebon Cau (Kebun Pisang), Pandeglang, Banten. Siapa nyana rumah kecil itu pernah ditempati seorang pelaku sejarah penting yang mengguncang seantero jagat Hindia Belanda.
Tubagus Muslihat, sang tuan rumah tampak tergopoh-gopoh menyambut kami. Dia anak tertua Tubagus Alipan, empunya rumah yang berdiri di atas sebidang tanah milik pemerintah daerah Kabupaten Pandeglang itu. “Bapak dulu tidak meninggalkan warisan apa-apa, rumah ini pun berdiri di atas tanah Pemda. Dipinjamkan,” kata Muslihat sambil mempersilakan kami duduk.
Tak ada foto Tubagus Alipan di ruangan tamu seluas 3x2 meter itu. “Entah kemana fotonya. Kita cuma punya satu foto, itu juga sedang ramai-ramai,” kata Uki Akhmad Basuki, anak ketujuh Alipan, sembari menunjukan sebuah foto kusam dengan bingkai kayu yang hampir copot. Dalam foto itu Alipan berdiri paling kanan. Postur tubuhnya kecil, berkopiah mencong ke kiri, khas penampilan zaman pergerakan. “Bapak badannya pendek tapi kekar,” kata Uki menambahkan.
SEBUAH kantor koperasi berdiri berimpit di depan rumah bercat putih kusam itu. Seekor burung bertengger di dalam kandangnya yang tergantung tak jauh dari kolam ikan yang airnya keruh kehijauan. Pagar samping rumah berbatasan langsung dengan trotoar jalan masuk ke kampung Kebon Cau (Kebun Pisang), Pandeglang, Banten. Siapa nyana rumah kecil itu pernah ditempati seorang pelaku sejarah penting yang mengguncang seantero jagat Hindia Belanda.
Tubagus Muslihat, sang tuan rumah tampak tergopoh-gopoh menyambut kami. Dia anak tertua Tubagus Alipan, empunya rumah yang berdiri di atas sebidang tanah milik pemerintah daerah Kabupaten Pandeglang itu. “Bapak dulu tidak meninggalkan warisan apa-apa, rumah ini pun berdiri di atas tanah Pemda. Dipinjamkan,” kata Muslihat sambil mempersilakan kami duduk.
Tak ada foto Tubagus Alipan di ruangan tamu seluas 3x2 meter itu. “Entah kemana fotonya. Kita cuma punya satu foto, itu juga sedang ramai-ramai,” kata Uki Akhmad Basuki, anak ketujuh Alipan, sembari menunjukan sebuah foto kusam dengan bingkai kayu yang hampir copot. Dalam foto itu Alipan berdiri paling kanan. Postur tubuhnya kecil, berkopiah mencong ke kiri, khas penampilan zaman pergerakan. “Bapak badannya pendek tapi kekar,” kata Uki menambahkan.
Tubagus Alipan memang tak pernah disebut-sebut dalam buku sejarah. Mungkin namanya tak sebanding dengan kibaran nama Tan Malaka, Semaoen, dan tokoh lainnya dari periode pergerakan yang sama. Namun, dia memainkan peranan penting pada masanya.
Menurut Michaels C. Williams dalam Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, Alipan propagandis PKI seksi Banten yang memainkan peranan penting pada hari-hari persiapan pemberontakan PKI melawan pemerintah kolonial Belanda di Banten. Lahir pada 1902 di Pandeglang, Banten. Menempuh pendidikan Hollands Inlandse School (HIS) di kota kelahirannya. Pada 1917, dia merantau ke Temanggung, Jawa Tengah, di mana dia bekerja sebagai buruh percetakan.
Ketertarikannya pada politik telah dimulai sejak belia, terpikat oleh daya tarik HOS Tjokroaminoto yang datang bekunjung ke Pandeglang pada 1916. “Tjokroaminoto adalah manusia hebat dan menyimbolkan kebangkitan masyarakat Indonesia,” katanya kepada Williams yang mewawancarainya tahun 1976.
Pada 1921, Alipan jadi anggota PKI. Diserahi tanggung jawab sebagai agen propaganda dan kemudian aktif di Sarekat Dagang di Temanggung. Adalah Darsono, tokoh Sarekat Islam Semarang dan pemimpin PKI di era awal yang meminta Alipan pulang ke Banten untuk membangun cabang partai di tanah kelahiranya itu.
Alipan pulang ke Banten dengan perasaan yang mengganjal dalam hatinya. Dia seorang komunis yang merasa kikuk masuk lagi ke dalam masyarakat yang masih dikungkung nilai-nilai kolot. Bahkan saat kawannya, Achmad Bassaif memintanya untuk memasang gelar kebangsawanan Bantennya, tubagus, Alipan menolak. “Adalah hal aneh bagi saya kembali ke Banten setelah sekian tahun menghilang. Di Jawa pun saya tidak lagi menyandangkan gelar saya karena hal itu sangat feodal dan kolot,” katanya.
Achmad Bassaif seorang keturunan Arab-Banten. Fasih berbahasa Arab. Alipan, Bassaif bersama Puradisastra, seorang Sunda Ciamis beristrikan perempuan Menes, Banten, bahu-membahu membangun cabang partai mulai dari goresan kecil. Tiga serangkai inilah yang mengorganisir pertemuan, menggalang pengikut, dan menyebarkan agitasi.
Yang menarik, baik Alipan maupun Bassaif tak disebut namanya dalam buku Pemberontakan November 1926 yang diterbitkan resmi oleh Lembaga Sedjarah PKI pada 1961. Tidak jelas apa sebabnya kenapa nama Alipan dan Bassaif tak disebut-sebut di dalam buku tersebut.
Peran Alipan, Bassaif, dan Puradisastra terlalu penting untuk dilupakan begitu saja. Terlebih karena kemahiran mereka untuk membangkitkan kesadaran perlawanan kepada kalangan masyarakat Banten. Bassaif misalnya, selain tahu adat kebiasaan orang Banten, dia berhasil membuat PKI menjadi organisasi yang tidak terlihat antiagama.
Beberapa kali dia menyelamatkan wajah para propagandis lain yang hampir saja jadi bulan-bulanan warga Banten karena memamerkan kecongkakan mereka sebagai seorang komunis. Itu pernah terjadi pada Puradisastra yang menggembar-gemborkan dirinya seorang ateis dan secara sengaja minum kopi di muka umum saat bulan puasa.
Alipan yang mengikuti anjuran Bassaif untuk menggunakan kembali gelar kebangsawanannya pun menemukan faedahnya ketika menggalang solidaritas keluarga keturunan Kesultanan Banten. Alipan bersama Tubagus Hilman, juga seorang propagandis PKI Banten, bertugas menjalin kontak dengan para keturunan kesultanan.
Mereka dengan mudah diterima, selain karena gelar kebangsawanannya, juga karena keluarga keturunan Kesultanan Banten memiliki riwayat konflik dengan pemerintah kolonial yang jauh berakar ke masa lalu mereka. Kesultanan Banten dibubarkan oleh Herman Willem Daendels pada 1808 dan pada 1813, Kesultanan Banten dihapuskan sama sekali oleh Thomas Stamford Raffles.
Sekira 200-an keluarga besar kesultanan berhasil digalang oleh mereka berdua. Salah satu tuntutan yang diajukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda adalah mereka mendapatkan pensiun. Mereka berdua dengan cepat mendapatkan dukungan dari keluarga keturunan sultan Banten.
Alipan propagandis PKI seksi Banten yang memainkan peranan penting pada hari-hari persiapan pemberontakan PKI melawan pemerintah kolonial Belanda di Banten.
Alipan turut berperan dalam pendiran sebuah organisasi rahasia cikal-bakal basis massa PKI Banten. Williams mencatat nama organisasi itu bernama “Rukun Asli”, sementara menurut buku resmi Pemberontakan November 1926 terbitan Lembaga Sedjarah PKI organisasi itu disebut “Pirukun Pribumi”.
Ketika PKI seksi Banten terbentuk resmi pada September 1925, Alipan terpilih menjadi sekretarisnya. Bangunan kantor PKI Banten terletak di Pasar Lama Serang, milik Lee Eng Hock, juga anggota PKI. Semenjak berdiri sebagai organisasi yang terbuka, PKI semakin aktif melakukan propaganda dan agitasi.
Berdasarkan keputusan konferensi PKI di Prambanan, 25 Desember 1925 diputuskan agar seluruh cabang PKI mempersiapkan sebuah pemberontakan melawan pemerintah kolonial. Menurut Ruth McVey dalam Kemunculan Komunisme Indonesia, untuk mendukung rencana itu dibentuklah organisasi rahasia DO atau Dictatoriale Organisastie di bawah kepemimpinan Winanta, ketua PKI Batavia. Tugas DO merekrut tentara dan polisi untuk jadi tentara merah, mengumpulkan dana dan perbekalan.
Di Banten, Alipan terpilih menjadi anggota komite DO bersama tokoh Banten lainnya seperti Haji Achmad Chatib. Kelak Chatib jadi pemimpin pemberontakan yang utama dan memainkan peran sentral dalam revolusi sosial di Banten di pengujung 1945. Organisasi rahasia berhasil merangkul kelompok jawara dan ulama.
Kekecewaan terhadap Sarekat Islam yang gagal jadi tumpuan harapan perubahan membuat PKI mendapatkan tempat di hati masyarakat Banten. Berdasarkan laporan Residen Banten De Vries, pada pengujung 1925 anggota PKI di Banten mencapai 1.200 orang.
Dengan semakin aktifnya PKI, kecurigaan pemerintah kolonial semakin meninggi. Razia demi razia dilakukan. Penangkapan terhadap para pemimpin PKI makin gencar. Tidak seperti dua rekannya, Tubagus Hilman dan Ali Mamak, Alipan luput dari penangkapan. Ia masih leluasa bergerak menjadi propagandis PKI seksi Banten.
Ketika pemberontakan pecah pada 12 November 1926, lagi-lagi Alipan berhasil lolos dari kejaran polisi kolonial. Dia bersama Tje Mamat, ketua subseksi PKI Anyer melarikan diri ke Palembang, lantas ke Malaya (kini Singapura). Menurut sejarawan Harry Poeze, di Malaya Alipan dan Tje Mamat sempat ketemu Tan Malaka. Sassusnya, Alipan dan Tje Mamat akan pergi ke Moskow tapi dicegah oleh Tan Malaka.
Sejak saat itulah Alipan dan Tje Mamat menjadi simpatisan Tan Malaka dan bergabung dengan Partai Republik Indonesia (PARI). PARI didirikan Tan Malaka karena kecewa dengan keputusan pemimpin PKI yang terburu-buru melakukan pemberontakan.
Semasa persembunyiannya di Malaya, Alipan bekerja serabutan dan kemudian diterima bekerja pada sebuah percetakan. “Bapak dulu kerja di percetakan Al-Qur'an di Singapura,” kata Uki. Selain bekerja, Alipan juga belajar bahasa Mandarin dan memperlancar kemampuan bahasa Inggrisnya. “Bapak dulu kalau ke pasar ketemu orang Tionghoa dia pakai bahasa Mandarin. Bahasa Inggris dan Belandanya juga lancar,” kata Muslihat.
Anak-anak Alipan tak tahu kapan Alipan pulang ke Indonesia. Menurut Uki, ayahnya aktif di dalam berbagai kegiatan tak lama setelah Indonesia merdeka. Els Ensering dalam tulisannya “Banten in Time of Revolution” yang dimuat dalam jurnal Archipel Vol. 50/1995 menulis kedatangan Alipan dan Tje Mamat ke Indonesia diperkirakan pertengahan tahun 1930-an. Kemudian pada 1940-an mereka mendirikan organisasi bawah tanah dan menjalin kontak rahasia dengan para jawara dan buruh-buruh di Batavia.
Pada saat revolusi sosial terjadi di Banten sejak Oktober 1945–Januari 1946, Tje Mamat mendirikan Dewan Rakjat. Dewan inilah yang menggerakan revolusi sosial, mengambil alih kekuasaan lokal dari tangan priayi yang dianggap antek penjajah. Di Pandeglang, selain mengganti bupati setempat, Dewan Rakjat mendirikan Komite Revolusioner Indonesia (KRI), semacam parlemen di daerah.
Kendati berkawan dengan Tje Mamat, KH Achmad Chatib tetap pada posisinya sebagai residen Banten dan kontra Dewan Rakjat. Sejarawan Universitas Indonesia Suharto dalam disertasinya “Revolusi Sosial di Banten 1945–1946: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Dampaknya” menulis kabar tentang rencana menghidupkan kembali Kesultanan Banten dengan menobatkan Chatib sebagai sultannya. Namun, hal itu dapat dicegah melalui kunjungan Wakil Presiden Mohammad Hatta ke Banten. Dalam kunjungannya, Hatta memerintahkan agar sistem tata pemerintahan di Banten diperbaiki.
Karena pemerintah pusat menilai aksi Dewan Rakjat semakin mencemaskan, maka gerakan yang dipimpin oleh Tje Mamat ini pun segera dibubarkan. Menurut Suharto, Dewan Rakjat dilarang oleh pemerintah pada Januari 1946. Revolusi sosial di Banten berhenti.
Tak ada catatan mengenai keikutsertaan Alipan di dalam Dewan Rakjat yang dibentuk oleh Tje Mamat, sahabatnya selama pelarian ke Malaya itu. Namun, menurut Tubagus Said, 86 tahun, mantan pengurus PNI cabang Pandeglang, kolega dekat Alipan, menyebutkan kalau propagandis PKI itu jadi anggota Komite Nasional Indonesia Daerah Pandeglang (KNID). KNID dibentuk Ali Mamak, pelaku peristiwa 1926, menggantikan KRI bentukan Tje Mamat.
Beberapa organisasi lain pun melakukan berbagai langkah maju, mengikuti semangat revolusi. Pada 4 Maret 1947, Majelis Ulama Banten berkongres dan menyatakan kepada pemerintah pusat agar menempatkan pegawai-pegawai yang dicintai rakyatnya dan sesuai dengan situasi di Banten. Berangkat dari keputusan tersebut, Alipan diterima bekerja di jawatan pengairan (kini Dinas PU Pengairan), Pandeglang.
Selain jadi pegawai negeri, Alipan pun aktif mengembangkan koperasi dan pendidikan. Yang menarik, usai masa revolusi, Alipan justru menjadi simpatisan Sutan Sjahrir dan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI). Tubagus Said menduga kalau sebenarnya Alipan terjebak oleh penawaran yang datang dari kelompok Sjahrir. “Waktu itu dia memang jadi anggota PSI, tapi sepertinya terjebak. Saya juga pernah lihat lambang partai Sosialis di dekat kandang ayam di rumahnya,” kata Said saat ditemui di rumahnya di Pandeglang.
Said tidak menjelaskan kenapa Alipan “terjebak” di dalam PSI. Pasca peristiwa 1926, Alipan telah menjadi pengikut Tan Malaka. Keputusan untuk mengubah afiliasi politiknya dari seorang Tan Malakaist menjadi seorang Sjahririst bisa jadi karena adanya kabar yang menyebutkan kerja sama Tan Malaka dengan Sjahrir. Menurut sejarawan Harry Poeze, pihak Sjahrir memang pernah menawarkan posisi ketua Partai Sosialis kepada Tan Malaka. Namun, Tan Malaka menampiknya. Peristiwa itu terjadi di Serang, Banten, sekira Agustus 1945.
Pada 1964 Presiden Sukarno menerbitkan UU No. 5 Prps yang mengangkat para pelaku pemberontakan PKI 1926 sebagai perintis kemerdekaan. Menurut Uki, saat keputusan itu terbit, Achmad Chatib menyambangi Alipan, memintanya untuk mengajukan permohonan tunjangan perintis kemerdekaan. Chatib siap memberi jaminannya.
“Tapi bapak tidak mau. Ngapain dobel-dobel katanya. Saya mah kerja udah, dapat gaji setiap bulan. Peristiwa itu (pemberontakan 1926, red.) dulu memang sudah jadi tugas perjuangan saya, saya mah cuma menjalankannya saja,” pungkas Uki mengutip kata-kata ayahnya.*