Tuntut Tanpa Rasa Takut

Para penyintas mengambil langkah hukum dengan membawa masalah ianfu ke pengadilan Jepang. Kelompok politik minoritas di Jepang pun menyiapkan RUU Ianfu.

OLEH:
Eka Hindra
.
Tuntut Tanpa Rasa TakutTuntut Tanpa Rasa Takut
cover caption
Aksi 1000 kali Aksi Setiap Hari Rabu di Seoul tahun 2010. (Korean Council).

SEJAK pengakuan Kim Hak-soon, perempuan asal Korea Selatan berusia 68 tahun, sejumlah mantan ianfu dari berbagai negara buka suara. Mereka bahkan menempuh langkah hukum ketika pemerintah Jepang tetap mengingkari keterlibatan militernya serta menolak tuntutan mereka soal permintaan maaf dan pemberian kompensasi. 

Sembilan mantan ianfu Korea memulainya pada 1991 dengan mengajukan tuntutan ke Mahkamah Agung untuk menuntut kompensasi. Meski ditolak, langkah ini tak menyurutkan mantan ianfu lain untuk mencobanya. Hingga 2001, tercatat beberapa mantan ianfu yang mengajukan gugatan, ke pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung: Filipina, Korea, Belanda, China, dan Taiwan.

SEJAK pengakuan Kim Hak-soon, perempuan asal Korea Selatan berusia 68 tahun, sejumlah mantan ianfu dari berbagai negara buka suara. Mereka bahkan menempuh langkah hukum ketika pemerintah Jepang tetap mengingkari keterlibatan militernya serta menolak tuntutan mereka soal permintaan maaf dan pemberian kompensasi. 

Sembilan mantan ianfu Korea memulainya pada 1991 dengan mengajukan tuntutan ke Mahkamah Agung untuk menuntut kompensasi. Meski ditolak, langkah ini tak menyurutkan mantan ianfu lain untuk mencobanya. Hingga 2001, tercatat beberapa mantan ianfu yang mengajukan gugatan, ke pengadilan negeri hingga Mahkamah Agung: Filipina, Korea, Belanda, China, dan Taiwan. 

Satu-satunya keputusan yang memberikan harapan adalah pengadilan negeri Shimonoseki di prefektur Yamaguchi pada April 1998. Pengadilan memutuskan pemerintah Jepang harus membayar kompensasi kepada tiga ianfu yang menjadi korban perbudakan seksual pasukan Kekaisaran Jepang selama perang 1931–1945. Pengadilan menganggap kegagalan kolektif anggota Diet (Parlemen Jepang) menjalankan tugas konstitusionalnya untuk membuat hukum kompensasi yang sesuai. 

Sekalipun keputusan itu akan dibatalkan di tingkat banding, namun keputusan ini memiliki dampak politik yang besar. Dengan legitimasi itu, kelompok kepentingan minoritas bisa memaksa Diet untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan.

Pada 30 Oktober 2000, sejumlah anggota Parlemen dari partai oposisi, Partai Demokrat, Partai Sosialis Demokrat, dan Partai Komunis, mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perkembangan Pemecahan Masalah mengenai Korban Tindakan Pemaksaan Seksual pada Masa Perang, yang lebih dikenal sebagai RUU Ianfu.

Pasal 3 RUU itu menyatakan: “Pemerintah harus menyatakan permintaan maaf atas pelanggaran kehormatan dan martabat korban dari paksaan seksual pada masa perang serta menerapkan ukuran yang diperlukan untuk membangun kembali penghormatan mereka secepat mungkin.” 

“Ukuran pada paragraf terdahulu seharusnya meliputi pembayaran ganti rugi kepada korban paksaan seksual pada masa perang.” 

Solidaritas Ianfu Indonesia dalam aksi Hari HAM Internasional di Jakarta tahun 2006. (Dok. Eka Hindra).

Untuk keperluan itu pula, empat senator dari partai koalisi yang semuanya perempuan berkunjung ke Indonesia pada Februari 2002. Mereka bertemu dengan Sekretaris Jenderal Departemen Sosial, meminta Indonesia menyelidiki persoalan ianfu dan menghitung jumlah korban. Mereka juga menemui mantan ianfu dan Heiho di kantor LBH Jakarta.

“Pemerintah Jepang selalu mengatakan bahwa persoalan jugun ianfu sudah selesai. Namun, kami akan terus memperjuangkan undang-undang ini,” ujar Tomiko Okazaki, senator dari Partai Demokrat, yang memimpin rombongan, seperti dikutip Kompas, 13 Februari 2002. 

Banyak orang pesimis RUU Ianfu bisa menjadi undang-undang karena pemerintah Jepang dikuasai Partai Liberal Demokratik (LDP), yang selalu menentang soal ianfu. Di Majelis Tinggi, LDP menguasai 56 persen. 

Pada 2009, angin politik berubah arah. Partai Demokrat, pengusul RUU itu, menang dalam pemilihan umum dan merebut lebih dari 50 persen kursi di Majelis Rendah. Sayangnya, setahun kemudian Partai Demokrat kalah dalam perebutan kursi di Majelis Tinggi. 

Dalam mekanisme politik di Jepang, RUU bisa diajukan atas inisiatif anggota (seperti dalam kasus RUU Ianfu), partai, maupun pemerintah. RUU akan diajukan lebih dulu ke Majelis Rendah untuk mendapat persetujuan. Jika disetujui, RUU diserahkan dan dibahas Majelis Tinggi. Jika Majelis Tinggi tak meloloskannya, RUU itu dikembalikan lagi ke Majelis Rendah namun tetap bisa disahkan menjadi undang-undang. Dengan perimbangan kursi Partai Demokrat di Majelis Rendah, peluang RUU Ianfu disetujui sangatlah besar. 

Nyatanya, begitu menjadi partai berkuasa, pandangan politik Partai Demokrat mengenai ianfu berubah. Anggota partai juga tak satu suara. Praktis, hingga kini RUU Ianfu belum sekalipun dibahas di Majelis Rendah, dianggap bukan prioritas. Tinggal menunggu gerakan masyarakat sipil untuk kembali menekannya.

Majalah Historia No. 3 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
64afc7a10cbe2f181d9b076e