Lukisan Badak Jawa karya Joseph Wolf. Lukisan dibuat tahun 1874 dari spesimen badak Jawa dari Batavia. (P.L. Schlater, "On The Rhinoceros Now or Lately Living in The Society's Menagerie", 1876).
Aa
Aa
Aa
Aa
BADAK jawa (Rhinoceros sondaicus), atau kadang disebut badak cula satu, adalah salah satu mamalia yang paling terancam punah. Habitatnya kini hanya tersisa di Ujung Kulon, area konservasi di ujung barat Pulau Jawa. Mereka hidup liar di hutan-hutan yang lebat dan dijaga dari perburuan. Namun, mereka terus diintai kepunahan.
Badak adalah binatang purba. Leluhur keluarga besar badak, Rhinocerotoidea, telah berevolusi dari nenek moyang yang sama dengan kuda dan tapir sekitar 50 juta tahun yang lalu. Keluarga tersebut kemudian berkembang menjadi setidaknya 100 spesies yang tersebar di Afrika, Eurasia, Amerika Utara dan Tengah. Sebagian besar spesies punah sebelum zaman Pleistosen dengan hanya sembilan spesies yang bertahan hingga Pleistosen Akhir. Dari sembilan spesies tersebut, kini hanya tersisa lima spesies badak di dunia. Salah satunya adalah badak jawa.
BADAK jawa (Rhinoceros sondaicus), atau kadang disebut badak cula satu, adalah salah satu mamalia yang paling terancam punah. Habitatnya kini hanya tersisa di Ujung Kulon, area konservasi di ujung barat Pulau Jawa. Mereka hidup liar di hutan-hutan yang lebat dan dijaga dari perburuan. Namun, mereka terus diintai kepunahan.
Badak adalah binatang purba. Leluhur keluarga besar badak, Rhinocerotoidea, telah berevolusi dari nenek moyang yang sama dengan kuda dan tapir sekitar 50 juta tahun yang lalu. Keluarga tersebut kemudian berkembang menjadi setidaknya 100 spesies yang tersebar di Afrika, Eurasia, Amerika Utara dan Tengah. Sebagian besar spesies punah sebelum zaman Pleistosen dengan hanya sembilan spesies yang bertahan hingga Pleistosen Akhir. Dari sembilan spesies tersebut, kini hanya tersisa lima spesies badak di dunia. Salah satunya adalah badak jawa.
Berdasarkan penemuan fosil dan subfosil di beberapa wilayah, badak jawa tersebar luas di daratan Asia Tenggara, bahkan sebagian India.
Badak jawa tadinya terdiri atas tiga subspesies, yakni badak myanmar (Rhinoceros sondaicus inermis), badak vietnam (Rhinoceros sondaicus annamiticus), dan badak banten (Rhinoceros sondaicus sondaicus). Pada 1920 badak myanmar mengalami kepunahan, disusul badak vietnam 90 tahun kemudian. Hanya tersisa subspesies badak banten yang kini tinggal di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten.
Kendaraan Perang Para Dewa
Sejak ratusan tahun lalu, badak jawa telah menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat setempat. Di Kamboja, ia terpahat dalam relief candi Angkor Wat, digambarkan sebagai kendaraan perang para dewa. Di Indonesia, relief badak bisa ditemukan di Candi Borobudur, Candi Surowono, dan Candi Sukuh.
Ironisnya, sejak lama badak pun juga diburu dan diperdagangkan. Kitab Ling-wai-tai-ta yang disusun oleh Chou Ku-fei, pengelana Tiongkok, tahun 1178 menyebut cula badak sebagai barang dagangan di Kediri. Sementara Kakawin Negarakertagama karya Mpu Prapanca tahun 1365 menggambarkan Raja Majapahit Hayam Wuruk berburu binatang di hutan, termasuk badak.
Dalam literatur klasik Eropa, keberadaan hewan besar dengan satu cula di Jawa dilaporkan oleh Jakob de Bondt, ahli bedah Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC), dalam Historiae Naturalis et Medicae Indiae Orientalis (1658). Adanya satu cula di kepala, dan tubuhnya yang digambarkan memiliki zirah, membuat badak jawa dianggap sebagai perwujudan legenda unicorn oleh orang-orang Eropa.
Eksotisme badak jawa menarik orang-orang Eropa. Badak ditangkap dan dikirim ke Eropa dan sebagian besar lalu menghuni kebun-kebun binatang. Badak sangat berharga. Kebun Binatang Royal Zoological Society of London membayar £800 (dengan nilai tukar AS saat ini setara $77.800) untuk seekor badak jawa jantan dari Batavia pada 1874.
Badak jawa juga mulai diteliti oleh para zoologi dan naturalis pada awal abad 19. Anselme-Gaëtan Desmarest, profesor zoologi Prancis, mendeskripsikan badak jawa sebagai spesies tersendiri. Dalam publikasinya, Mammalogieou Description des especes de mammiferes (1820), ia menggunakan nama ilmiah Rhinoceros sondaicus untuk mendeskripsikan badak dari Jawa yang dikirim ke Museum Nasional Sejarah Alam di Prancis.
Perburuan Badak
Di Pulau Jawa, badak jawa lebih banyak terdapat di hutan-hutan di area barat pulau (Banten dan Jawa Barat kini), terutama di kawasan dataran rendah dekat pesisir.Populasinya mulai menurun pada akhir abad ke-19. Penyebabnya, pertumbuhan penduduk yang pesat serta alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian. Dengan karakternya yang nomaden, badak jawa pun akhirnya kerap bersinggungan dan berkonflik dengan petani. Badak kemudian kerap dianggap sebagai hama yang layak dibasmi.
Badak jawa juga berkeliaran di belantara Sumatra. Berdasarkan pengalamannya, seorang pemburu Eropa, J.C. Hazewinkel, menyebut penduduk setempat takut pada badak karena dianggap agresif dan suka membunuh binatang ternak.
“Betapa sedikitnya kesadaran sebagian besar masyarakat mengenai kehidupan satwa liar terlihat dari fakta bahwa mereka salah mengira badak sebagai hewan karnivora,” tulisnya dalam “Rhinoceros sondaicus in Zuid-Sumatra”, Tropische Natuur, Vol. 22, No. 6, 1933.
Padahal, badak biasanya mencari makanan berupa dedaunan, ranting, dan potongan kulit kayu. Badak juga lebih memilih menyingkir ketika bertemu manusia. Persepsi keliru itu mendorong perburuan dan pembunuhan badak.
Ada penyebab lainnya. Dicatat K.W. Dammerman, pegiat konservasi di masa kolonial, dalam Preservation of Wild Life and Nature Reserves in The Netherlands Indies (1929), badak jawa menjadi korban bagi aktivitas olahraga berburu elite kolonial dan perburuan cula untuk memenuhi permintaan pasar obat tradisional.
“Populasi badak jawa telah menurun secara signifikan hingga jumlahnya diperkirakan hanya 30-40 ekor,” catat Dammerman.
Hazewinkel tahu nilai komersial dari badak jawa. Dalam tulisannya “A Rhino-hunt in Sumatra” di Java Gazette, Vol. 1, No. 5, 1932, ia menyebut cula dan anggota badan badak jawa dihargai jauh lebih tinggi daripada badak Sumatra. Jika satu cula badak jawa dapat dihargai hingga 4000 guilders, cula badak Sumatra hanya sekitar sepersepuluhnya.
Tidak hanya cula. Darah, isi perut yang belum tercerna, bagian dalam (terutama embrio), beberapa tulang, singkatnya, semuanya berharga bagi apoteker tradisional Tiongkok.
“Tak heran, meski dengan harga lokal, perburuan badak cula satu selalu menarik,” catatnya dalam tulisan tahun 1933.
Penyelamatan
Sejak 1890-an, muncul suara-suara keresahan tentang langkanya beberapa spesies mamalia dan burung. Setelah proses panjang,pemerintah kolonial mengesahkan Ordonansi Perlindungan Binatang Liar dan Perburuan 1909 (Staatsblad 1909 no. 497). Ordonansi ini diperbaiki pada 1924 (Staatsblad 1924 no. 234) dan tahun 1931 (Staatsblad 1931 no. 134). Badak jawa menjadi salah satu hewan yang mendapat perlindungan. Memburu, memelihara, menyimpan, menjual, dan mengekspor produk badak jawa dilarang.
Namun demikian, “pada praktiknya semua ordonansi tersebut hanya menjadi kertas kosong yang hampa,” tulis Dammerman.
Andries Hoogerwerf, pegiat konservasi badak, dalam tulisannya Udjung Kulon: The Land of The Last Java Rhinoceros (1970) menyebut pelanggaran kerap diabaikan. Sedikit sekali pejabat kolonial di tingkat lapangan yang benar-benar sadar dan peduli gerakan konservasi alam.
Hoogerwerf mencontohkan bagaimana pada 1913 seorang jaksa yang mengunjungi Ujung Kulon mengetahui bahwa seorang pemandunya membunuh dan menjual 11 ekor badak jawa. Namun, “tanpa terlintas dalam pikiran si jaksa untuk mengadili orang tersebut.”
Iklan produk dari cula badak juga tersebar di mana-mana dan tanpa ditertibkan. Hoogerwerf menceritakan bagaimana “Di Batavia pada 1938, ada seorang pedagang yang menjual obat dari cula badak yang tanpa berusaha sedikit pun menyembunyikan usaha dagangnya, dengan menyebarkan selebaran iklan ke orang-orang.”
Makin dilarang makin dicari. Tak sedikit orang yang mengklaim menjual “obat badak” asli seperti dilakukan oleh seorang warga Padang yang tinggal di Medan. Ia menjual salep dan minyak dalam kemasan botol dan toples. Dilansir DeSumatra Post edisi 25 Agustus 1938, polisi pun menyelidiki kasus ini dan menyatakan pria tersebut bersalah atas bisnis ilegal ini. Namun, suratkabar ini pun menyebut: “mustahil sepenuhnya mencegah perburuan badak.”
Badak jawa terus terpojok. Hingga 1935 keberadaannya hanya tersisa di suatu kawasan hutan terpencil yang sulit ditembus di Banten: Ujung Kulon.
Ujung Kulon
Lewat Keputusan (Besluit)Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 16 November 1921 Nomor 60 (Staatsblad 1921 no. 683), Ujung Kulon ditetapkan sebagai area konservasi khusus bagi badak jawa. Namun, aktivitas konservasi secara nyata baru dilakukan pada 1930-an.
Pada 1935, untuk pertama kalinya suatu jabatan yang mengurus urusan konservasi alam di Hindia Belanda diadakan. Andries Hoogerwerf diangkat untuk mengisi posisi tersebut sebagai Pegawai Perlindungan Alam. Tugas utamanya mengumpulkan dan membuat laporan mengenai program konservasi, termasuk –dan terutama terkait– badak jawa. Hoogerwerf tetap diperkerjakan oleh pemerintah Indonesia setelah masa kemerdekaan. Upaya rehabilitasi dan pengelolaan kawasan konservasi terus dilakukan. Patroli dipergiat. Namun, kepulangan Hoogerwerf ke Belanda pada 1957 mengendurkan upaya konservasi. Sekitar sepuluh tahun setelahnya, keadaan Ujung Kulon memburuk.
Pada 1964, International Union for Conservation of Nature (IUCN) bersama organisasi konservasi internasional World Wildlife Fund (WWF) melakukan perbaikan program konservasi di Ujung Kulon. Penjagaan kembali dihidupkan. Menyusul kemudian penambahan gaji bagi petugas, hibah peralatan patroli, renovasi pondok penjaga, hingga pelatihan menembak bagi para petugas.
Sejak 1967 hingga 1975, survei untuk mengestimasi populasi badak jawa dilakukan setiap tahun (kecuali 1970). Hasilnya, catat laporan tahunan WWF World Wildlife Fund Yearbook 1977-1978, terdapat kenaikan dua kali lipat populasi dari sekitar 20 ekor pada 1967 menjadi setidaknya 45 ekor pada 1975.
Di akhir 1970-an, pegiat konservasi juga mulai menyadari bahwa kepadatan populasi badak jawa di Ujung Kulon sudah terlalu tinggi. Indikasinya, beberapa badak mencari wilayah baru untuk mencari makan. Sejak itu, muncul suara perlunya membangun habitat baru bagi badak jawa. Lebih-lebih setelah lima badak ditemukan mati secara misterius pada awal 1982, yang mengindikasikan adanya wabah endemik yang bisa mengancam populasi badak jawa.
Selain itu, membiarkan badak jawa hidup bersama di tempat yang sempit dapat menimbulkan kawin sedarah yang menghasilkan keturunan yang sakit-sakitan. Gempa dan tsunami dari anak Krakatau juga dapat muncul sewaktu-waktu, yang berpotensi menghabisi seluruh populasi badak.
Sejak 1980-an, berbagai penelitian untuk menghitung populasi badak jawa menunjukkan angka yang stabil: sekitar 50 hingga 60 ekor di Ujung Kulon. Hasil ini juga didapatkan setelah penggunaan kamera jebak pada 1994. Sejak itu, bayi badak baru kerap terdeteksi oleh kamera jebak hampir setiap tahun. Selama tiga dekade, tak ada petunjuk adanya perburuan.
Namun, setidaknya sejak akhir 2010-an, mulai terdapat tanda-tanda perburuan badak. Auriga Nusantara, suatu yayasan yang bergerak di bidang konservasi, tergerak untuk mengumpulkan informasi. Pada 2023, mereka merilis laporan berjudul Badak Jawa di Ujung Tanduk: Langkah Mundur Konservasi di Ujung Kulon yang menyita perhatian publik.
Laporan itu memberikan alarm terhadap kondisi badak di Ujung Kulon. Dari sejumlah temuan, ada indikasi terdapatnya perburuan, penuruan populasi, rentetan kematian badak jawa yang tak diusut tuntas, serta pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon yang salah arah.
Pukulan telak pun didapatkan pada 2024: suatu kasus perburuan badak jawa di Ujung Kulon terkuak. Polisi menangkap sebagian dari 14 tersangka perburuan dan seorang penadah dari Jakarta. Yang paling mengejutkan, berdasarkan pengakuan para pemburu tersebut, terdapat 26 ekor badak jawa Ujung Kulon yang dihabisi oleh mereka dari 2019 hingga 2023. Ini berarti sekitar sepertiga populasi badak jawa di Ujung Kulon.
Sampai kapan badak jawa bertahan dari kepunahan?*
Penulis adalah lulusan Program Studi Sejarah S1 Universitas Gadjah Mada. Membangun bisnis dari karya senirupa sembari tetap membaca dan menulis sejarah konservasi alam. Penulis tinggal di Sleman, DI Yogyakarta.