Villa Nova dan Entong Gendut

Rumah peristirahatan terbesar dan termewah di Condet, Jakarta Timur. Entong Gendut memimpin perlawanan terhadap pemiliknya orang Belanda.

OLEH:
M.F. Mukthi
.
Villa Nova dan Entong GendutVilla Nova dan Entong Gendut
cover caption
Landhuis Groeneveld yang dikenal dengan nama Villa Nova semasa berdiri dengan megah tahun 1930. (KITLV).

VILLA Nova menyisakan dinding-dinding yang sebagian mengelupas, retak, dan gompal. Kusennya hitam bekas dimakan api. Ia berdiri tanpa atap. Rapuh. Merana dan tak terawat.

Bangunan ini terletak di area asrama polisi lalu lintas, tak jauh dari gedung PT Pembangunan Perumahan (PP) dan markas Resimen Induk (Rindam) Jaya, di kawasan Kampung Gedong, Condet, Jakarta Timur. Agak sulit melihatnya dari jalan raya. Bangunan-bangunan di sekitarnya umumnya lebih tinggi. Pepohonan menghalangi keberadaannya. Satu-satunya petunjuk, sebuah papan nama, tertutup spanduk. Ia pun terpencil.

VILLA Nova menyisakan dinding-dinding yang sebagian mengelupas, retak, dan gompal. Kusennya hitam bekas dimakan api. Ia berdiri tanpa atap. Rapuh. Merana dan tak terawat.

Bangunan ini terletak di area asrama polisi lalu lintas, tak jauh dari gedung PT Pembangunan Perumahan (PP) dan markas Resimen Induk (Rindam) Jaya, di kawasan Kampung Gedong, Condet, Jakarta Timur. Agak sulit melihatnya dari jalan raya. Bangunan-bangunan di sekitarnya umumnya lebih tinggi. Pepohonan menghalangi keberadaannya. Satu-satunya petunjuk, sebuah papan nama, tertutup spanduk. Ia pun terpencil.

Dulu, Villa Nova merupakan bangunan terbesar dan termewah di kawasan itu. Saking mewahnya, nama kawasan di sana (Kampung Gedong) mengacu pada julukan masyarakat setempat terhadapnya: gedong atau gedung. “Tinggi! Ada tiga tingkat, empat (sama) ke bawah,” ujar Haji Udin, sesepuh Kampung Gedong.

Villa Nova atau Groeneveld merupakan bekas rumah peristirahatan sekaligus perkebunan (landhuis) yang didirikan anggota Dewan Hindia bernama Vincent Riemsdijk. Tahun berdirinya jarang yang tahu pasti. “Ibu saya saja umurnya 120 nggak ngalamin. Jadi tahu-tahu ada gedong itu,” ujar istri Haji Udin. Namun, menurut Alwi Shahab, penulis sejarah Jakarta, Villa Nova dibangun pada 1740.

Villa Nova pernah menjadi tempat pertemuan antara Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff dan Ratu Syarifah Fatimah, wali sultan Banten yang kemudian jadi penguasa, pada 1747. Pertemuan itu membicarakan rencana penggulingan sultan yang sedang berkuasa.

Kondisi Villa Nova saat ini. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Pembangunan landhuis mulai marak ketika kawasan tua Batavia yang dibangun dengan gaya Belanda lengkap dengan benteng, dinding kota, dan kanal makin tak kondusif karena padat, bau, dan penuh wabah penyakit. Banyak warganya memutuskan pindah ke pinggiran kota yang lebih sehat dan lapang. Rumah-rumah besar dan nyaman dibuat semirip mungkin dengan rumah mereka di negeri asal.

“Orang-orang Eropa bergerak ke selatan untuk menciptakan Batavia baru yang sesuai dengan gambaran mereka –sebuah daerah yang tak lagi hanya menjadi sebuah pelabuhan perdagangan, tetapi juga menjadi ibu kota koloni Eropa,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun.

Mereka membangun landhuis beserta perkebunan dan peternakan di daerah Cilincing, Cimanggis, Depok, Condet, Cililitan, dan sebagainya. Terlebih setelah pemerintah kolonial mengeluarkan izin pembukaan perkebunan swasta pada 1870-an. “Dulu daerah-daerah itu dijadikan oleh Belanda sebagai tempat-tempat peristirahatan mereka,” ujar Alwi Shahab.

Pada masa jayanya, Villa Nova menjadi perlambang kekayaan dan kekuasaan. Sepeninggal Vincent, anaknya, Daniel Cornelis Helvetius van Riemsdijk, mengurusinya. Dia mengendalikannya secara profesional. Sekira 6000 ekor sapi digembalakan di perkebunan yang membentang luas dari Tanjung Timur (Oost Tandjoeng) hingga ke tempat yang kini jadi Terminal Kampung Rambutan. “Malah sampai ke Cijantung,” ujar Alwi Shahab. Lahan yang kini jadi RS Kramat Jati dulu termasuk tanah Villa Nova.

Daniel Cornelis Helvetius van Riemsdijk, anak Vincent Riemsdijk, pendiri Villa Nova.

Kala Pesta Tari Topeng

Kebesaran Villa Nova beserta penghuninya, dan juga tuan tanah pada umumnya, membawa petaka bagi penduduk setempat yang umumnya petani. Pajak (belasting) yang dibebankan Kompeni kepada penduduk setempat sebesar 25 sen per pekan –harga beras waktu itu 4 sen per kilogram– memberatkan rakyat. Hasil yang didapat petani pun hanya beberapa persen. “Yang untung para tuan tanah yang hanya ongkang-ongkang kaki,” ujar Alwi Shahab.

Menurut Alwi Shahab, seluruh tanah di Condet, bahkan sampai Tanjung Timur (dekat terminal Kampung Rambutan) dan Tanjung Barat (dekat Lenteng Agung, Jakarta Selatan), dikuasai tuan tanah Belanda. “Waktu itu di Jakarta sebagian besar tanah milik tuan tanah,” ujar Alwi Shahab.

Para tuan tanah, termasuk Lady Rollinson, pemilik Villa Nova berikutnya, menggunakan mandor dan centeng untuk menarik pajak. Rakyat, yang kebanyakan petani penggarap di perkebunan-perkebunan tuan tanah, mulai tertekan. Bila tak sanggup membayar, mereka harus menjalani kerja paksa di kebun Kompeni selama sepekan sebagai tebusan. Menurut Sartono Kartodirdjo dalam Protest, Movements in Rural Java, dengan berpegang pada peraturan gubernemen pada 1912, tuan tanah sering mengadukan para petani yang gagal bayar pajak ke landraad (pengadilan).

Ketidakadilan ini memunculkan perlawanan, dan seorang pahlawan bernama Entong Gendut. Masa lalu Entong Gendut, begitu pula nama sebenarnya, belum pasti benar. Tak ada catatan yang merujuk masa lalunya. Sebagai penduduk asli Condet, ujar Alwi Shahab, dia hanyalah petani biasa yang menjalankan perintah agamanya dan ahli silat. Dia tumbuh ketika pergerakan nasionalisme mulai bersemi. Juga perlawanan terhadap tuan tanah kerap terjadi di Batavia, Tangerang, Bekasi, dan lainnya.

Salah satu perkara terjadi pada Februari 1916 dan membuat marah Entong Gendut. Pengadilan di Meester Cornelis menghukum petani bernama Taba sebesar 7,20 gulden. Taba juga terancam penyitaan harta bendanya bila tak patuh. Entong Gendut memaki aparat pengadilan. “Hatinya bergejolak,” ujar Alwi Shahab.

Pada Maret 1916, Asisten Wedana Pasar Rebo mendatangi Taba untuk melakukan eksekusi. Seluruh harta kekayaannya harus dia lego untuk membayar hutang sebesar 7,20 gulden. Para tetangga Taba berkumpul di sebuah kebun untuk menggagalkan eksekusi; berteriak-teriak sebagai bentuk protes. Entong Gendut juga hadir. Sayangnya, upaya mereka gagal. Tapi dari sinilah Entong Gendut mempersiapkan gerakan yang lebih besar.

Landhuis Groeneveld atau Villa Nova tahun 1880. (KITLV).

Entong Gendut mengatur siasat bersama warga setempat untuk melakukan perlawanan pada 5 April 1916, saat Lady Rollinson menghelat pesta tari topeng, salah satu hiburan yang populer di Batavia. Saat itulah Entong Gendut bersama sekitar 30 warga menyerbu Villa Nova. Mobil D.C. Ament, tuan tanah Tanjung Timur yang hadir dalam acara itu, kena timpuk batu anak buah Entong Gendut. Menjelang tengah malam, Entong Gendut menyabotase pesta dan menyulut kerusuhan. Pesta pun bubar.

Aksinya tak berhenti di sini. Empat hari kemudian, sesuai rencana awal, Entong Gendut menawan asisten wedana. Segera Entong Gendut jadi populer. Dalam sekejap, jumlah pendukungnya bertambah. Aksi-aksinya menimbulkan keresahan penguasa kolonial, termasuk asisten residen Jatinegara. Sehari setelah penangkapan asisten wedana, asisten residen berserta pasukannya mencoba menangkap Entong Gendut beserta 40 pengikutnya.

Namun tanpa diduga polisi yang mengepungnya, Entong Gendut dan anak buahnya menyerang mereka sembari meneriakkan sabilillah. Pihak tuan tanah mendapat bantuan dari pihak keamanan. Entong Gendut dan pengikutnya terus melawan. Perlawanan Entong Gendut dapat dipatahkan seketika. Dia akhirnya tewas setelah timah panas menembus tubuhnya.

Versi lain menyebutkan, Entong Gendut berhasil kabur setelah pemberontakan di Villa Nova itu. Dia jadi buron dan kemudian tewas lantaran kekurangan logistik. Satu versi lagi menyebutkan, setelah persembunyiannya ditemukan, dengan bantuan seorang wedana dari Jatinegara, polisi Belanda mengepung rumahnya di Batuampar (versi lain menyebutkan Balekambang). Entong Gendut dan pendukungnya melawan. Pertempuran kembali pecah. Wedana berhasil ditawan, namun Entong Gendut tewas akibat tertembak. Mayatnya ditemukan di Sungai Ciliwung, tak jauh dari Villa Nova, beberapa hari kemudian.

Setelah tewasnya Entong Gendut, pemerintah kolonial kian represif terhadap penduduk. Banyak warga Condet lalu meninggalkan kampungnya. “Setelah peristiwa itu, tidak ada satu pria dewasa pun yang berani tinggal di Condet. Bahkan di jalan-jalan, tak ada yang berani mengaku orang Condet,” ujar Haji Entong, saksi mata, sebagaimana disitir Alwi Shahab. Semisteri asal-usulnya, makam Entong Gendut pun tak diketahui.

Reruntuhan Villa Nova. (Micha Rainer Pali/Historia.ID).

Villa Nova Ambruk

Ketika mendarat di Jawa pada Maret 1942, tentara Jepang menawan banyak orang Belanda dan merampas harta benda mereka. Nasib Villa Nova jadi tak jelas. Berdasarkan keterangan Haji Udin, Villa Nova kemungkinan jatuh ke tangan Haji Sarmili, tuan tanah Betawi di Condet. Hingga kini nama Haji Sarmili selalu disebut-sebut. “Kan di sini punya HS, HS, HS, itu Haji Sarmili,” ujarnya.

Sepeninggal Haji Sarmili, Villa Nova terlantar. Negara lalu mengambil alih. Sempat dijadikan asrama karyawan Hotel Indonesia, Villa Nova lalu menjadi asrama Brimob pada 1960-an. Setelah itu pemerintah mempercayakan pengelolaan Villa Nova kepada tokoh setempat yang biasa disapa Pak Deklek. Kondisi Villa Nova pun tetap terjaga. Tembok mulus. Tangga utuh. Barang-barang peninggalan pemiliknya masih menghiasi interior.

Namun, menurut Haji Udin, para penghuni Villa Nova nakal. Banyak di antaranya menjadikan bekas landhuis itu sebagai tempat maksiat. Pada 1970-an, Villa Nova terbakar. Akibatnya, lantai tiga Villa Nova runtuh, sementara lantai satu dan duanya kehilangan pembatas. Villa Nova seperti bangunan satu lantai berdinding tinggi. “Setelah itu, satu per satu barang-barang di dalamnya hilang. Ada orang yang ngambil, nggak ketahuan,” ujar Haji Udin.

Pasca terbakar, Villa Nova jadi tak terurus. Tak ada upaya pemerintah memugarnya. Padahal di masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur No. CB. 11/1/12/1972 tanggal 19 Januari 1972, pemerintah menetapkan Villa Nova merupakan bangunan cagar budaya. Seiring perjalanan waktu, fisik Villa Nova kian rapuh. Satu ruangannya di depan sudah rata dengan tanah. “Menurut saya perlu direhab lagi,” ujar Shahab.*

Majalah Historia No. 5 Tahun I 2012

Buy Article
Punya usulan tema?
promo
Apa tema menarik yang menurut anda layak ditulis untuk Historia Premium
SUBSCRIBE TO GET MORE
If you have a topic that you would like to publish into the Historia Premium, write an abstract and propose it to the internal communication team!
Subscribe
61dd035df96feb03f800b713
645b83f72c2a716504766cd5